Membaca Feminisme dalam Al-Qur’an: Interpretasi yang Membebaskan Perempuan

49 views

Diskriminasi terhadap perempuan masih sering terjadi di banyak masyarakat, termasuk yang mengaku sebagai masyarakat Islam yang berpedoman pada Al-Qur’an. Namun, banyak interpretasi tradisional Al-Qur’an yang cenderung patriarkis dan membatasi peran perempuan. Sehingga dari sudut pandang Islam, perempuan memiliki keterbatasan untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya.

Dengan menginterpretasikan Al-Qur’an dari perspektif feminis, kita dapat mengungkap makna yang lebih inklusif dan mendukung keadilan gender. Interpretasi kembali kembali terhadap ayat ayat Al-Qur’an yang khususnya membahas perempuan dapat dijadikan sebagai alat untuk memahami hak-hak perempuan sebagai manusia seutuhnya.

Advertisements

Sebelum turunnya Al-Qur’an, perempuan seringkali dianggap seperti komoditas yang bisa ditransaksikan oleh siapa saja yang memilikinya. Perempuan tidak memiliki hak untuk bicara apalagi mengambil keputusan. Perempuan seringkali dijual sebagai budak atau dijadikan sebagai objek perdagangan.

Dalam budaya pada saat itu, perempuan dianggap rendah dan hanya berfungsi sebagai pabrik keturunan, pemuas berahi, dan pelayan rumah tangga. Mereka juga sering dipaksa menikah dengan laki-laki pilihan keluarga tanpa mempertimbangkan keinginan atau perasaan perempuan itu sendiri. Perempuan juga tidak memiliki hak atas harta atau warisan yang membuat mereka bergantung dalam hal finansial.

Islam yang hadir sebagai bentuk kasih sayang bagi semesta dan seisinya (rahmatan lil alamain), tidak mungkin mendukung dan berpartisipasi dalam melanggengkan ketidakadilan. Tauhid atau yang kita pahami sebagai peng-Esaan Allah menjadi dasar bagi pembebasan manusia dari segala bentuk ketundukan terhadap sesama manusia, sistem yang menindas, atau ketidakadilan struktural. Tauhid menuntut semua individu dihormati sebagai ciptaan Allah yang memiliki nilai dan hak yang setara.

Ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas perempuan bisa kita anggap revolusioner karena secara langsung menentang struktur sosial patriarki yang ada pada hampir seluruh masyarakat Arab sebelum turunnya Al-Qur’an. Dalam hal warisan, misalnya, Al-Qur’an memberikan perempuan hak atas bagian warisan yang sebelumnya tidak ada. Bahkan perempuan adalah sesuatu yang diwariskan.

Al-Qurthubi dan Ibn Katsir memberikan penekanan pada ayat ini sebagai revolusi besar dan merupakan manifestasi dari perhatian Allah terhadap perempuan dan merupakan bentuk keadilan yang harus diterima oleh masyarakat tanpa memandang jenis kelamin.

Dalam konteks ini, feminisme sebagai gerakan yang memperjuangkan keadilan gender dan hak-hak perempuan memiliki prinsip-prinsip yang sejalan dengan dengan ajaran Al-Qur’an. Hal ini bisa dilihat dari tuntutan terhadap keadilan, penghormatan terhadap manusia, dan juga pemberdayaan perempuan.

Tapi hal ini bukan berarti bahwa Islam dan feminisme tidak memiliki sisi-sisi yang tidak sejalan. Dari kerangka filosofisnya, feminisme berakar dari pengalaman Barat yang cenderung sekuler, individual, dan menjunjung hak asasi manusia universal. Sedangkan, Islam berbasis pada wahyu.

Namun, kebanyakan tafsir terhadap Al-Qur’an juga lahir di masa dominasi dan superioritas laki-laki terhadap perempuan, sehingga interpretasi yang lahir juga cenderung membatasi hak-hak perempuan dan melanggengkan hegemoni laki-laki atas perempuan. Karena itu Islam banyak dipahami sebagai ajaran yang mengunggulkan laki-laki daripada perempuan yang dianggap bertentangan dengan semangat feminisme.

Banyak budaya patriarki dalam masyarakat muslim yang sebenarnya bertentangan dengan Islam, namun dianggap sebagai bagian darinya sehingga feminisme dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Pendekatan interpretasi yang berfokus pada nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan empati dalam ajaran Islam dapat berperan signifikan dalam mengatasi isu-isu ketidakadilan, gender khususnya dalam masyarakat muslim. Hal ini dapat membongkar interpretasi patriarki yang digunakan untuk membatasi ak-hak perempuan seperti dalam pembagian peran domestik, kewajiban finansial, atau akses terhadap pendidikan dan pekerjaan.

Dengan menonjolkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjunjung tinggi keadilan dan martabat perempuan dapat membantu masyarakat untuk menyadari pentingnya keadilan gender untuk kemudian mendukung dan memperjuangkannya. Banyaknya praktik budaya patriarki yang merugikan perempuan arus dipisahkan dari ajaran Islam yang sesungguhnya.

Sebagai muslim yang sadar akan ketidakadilan ini, langkah pertama untuk mendorong keadilan adalah dengan mengedukasi diri dan memahami teks-teks Al-Qur’an dan hadis secara komprehensif. Selain itu, mengkaji tafsir-tafsir yang progresif dan membebaskan juga merupakan langkah untuk mewujudkan keadilan yang didambakan.

Pada masa kini, media digital akan menjadi sarana efektif untuk menyuarakan narasi keadilan gender ini. Orang-orang yang sadar juga perlu memberikan contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari, seperti mendukung pendidikan perempuan atau pembagian peran dalam keluarga yang mencerminkan keadilan gender sesuai ajaran Islam.

Kesadaran dan pemahaman tentang keadilan gender dalam Islam dapat memainkan peran strategis untuk mendorong perubahan. Begitu pula edukasi bagi diri sendiri dan masyarakat tentang hak-hak perempuan yang dijamin dalam ajaran Islam dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai keadilan dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang prinsip gender serta tindakan nyata seperti dakwah, pendidikan, dan advokasi akan tercipta masyarakat yang lebih inklusif, adil, dan harmonis.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan