Membaca Gagasan Profesor Aksin Wijaya seputar Otonomisasi Islam Nusantara

461 kali dibaca

Profesor Aksin Wijaya memandang Islam harusnya menjadi agama yang otonom. Namun, bagaimana kalau Islam malah terbelenggu oleh Islam?

Otonomisasi Islam adalah satu gagasan yang diajukan oleh Profesor Aksin Wijaya, seorang intelektual Muslim yang merupakan akademisi dari IAIN Ponorogo. Pemikiran yang menjadi salah satu gagasan dalam diskursus Islam Nusantara ini, dia kenalkan dalam bukunya yang berjudul Menusantarakan Islam (Menelusuri Jejak Pergumulan Islam yang Tak Kunjung Usai di Nusantara).

Advertisements

Namun sebelum membicarakan otonomisasi Islam lebih jauh, kita mulai dulu dengan pembahasan soal Islam ideal dan Islam historis. Sebab, gagasan Islam Nusantara Profesor Aksin dimulainya dengan membedakan antara konteks Islam secara ideal dan Islam secara historis.

Antara Islam Ideal dan Islam Historis

Pemahaman Profesor Aksin Wijaya terkait term Islam ideal dan Islam historis, dapat kita lacak dalam karya-karyanya. Seperti penjelasan Profesor Aksin dalam bukunya yang berjudul Satu Islam, Ragam Epistemologi. Menurutnya, “Islam ideal bersifat abstrak, autentik, universal, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan hanya berada di haribaan Tuhan dan Nabi Muhammad Saw, sedangkan Islam historis bersifat realistis, relatif, partikular, terikat oleh ruang dan waktu, dan berada di haribaan manusia.”

Jadi, Islam ideal adalah Islam sebagai agama itu sendiri yang datang dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks agama ini, Islam hanya satu, tidak ada Islam yang lain. Ketika Islam masuk dalam ruang dan waktu kehidupan manusia, maksudnya diamalkan oleh umat Muslim, maka ia mengalami proses sejarah yang membuat tafsiran beragama Islam menjadi beragam. Inilah yang dimaksud Islam historis. Pada tataran Islam historis ini terdapat keragaman dalam berislam di kalangan umat Muslim, baik yang ada di Arab, Maroko, Libia, dan lainnya, termasuk di Nusantara.

Berdasarkan pandangan Profesor Aksin ini, Islam Nusantara adalah kekhasan Islam yang muncul dari historiositas pergumulan Islam di Nusantara. Sebagaimana juga ada kekhasan Islam yang muncul dari historiositas pergumulan Islam di Arab (yang Profesor Aksin sebut sebagai Islam Arab). Jadi, Islam Nusantara bukan suatu agama Islam baru yang lain, sebab Islam secara agama hanya satu, namun secara ekspresi beragama Islam itu beragam.

Kolonialisasi Budaya Islam Historis

Kolonialisasi budaya merupakan istilah yang Profesor Aksin gunakan dalam bukunya, Menusantarakan Islam, untuk menyebut keadaan pemaksaan Islam Arab, maupun belenggu wacana agama aliran, organisasi, dan lembaga keagamaan maenstream dalam keragaman wajah Islam historis, khususnya Islam Nusantara.

Menurut Profesor Aksin, dalam keberislaman di Nusantara telah terjadi kolonialisasi budaya Islam Arab, aliran, organisasi, dan lembaga keagamaan maenstream. Hal itu dikarenakan “…terjadi pembalikan cara berfikir di kalangan mereka (umat Muslim), antara Islam ideal dengan Islam historis.”

Islam ideal yang seharusnya tidak terikat oleh ruang dan waktu, sebab merupakan esensi agama Islam itu sendiri, menjadi terikat oleh ruang dan waktu. Sebaliknya, Islam historis yang terikat oleh ruang dan waktu, sebab bagian dari tafsir ajaran dalam beragama Islam di kehidupan manusia, malah menjadi tidak terikat oleh ruang dan waktu. Pergeseran cara berpikir ini menjadikan Islam historis, dalam hal ini Islam Arab, dipaksa untuk berperan sebagai Islam ideal yang absolut dan berlaku pada segala ruang dan waktu termasuk di Nusantara.

Kolonialisasi budaya Islam historis ini yang kerap memunculkan klaim sesat terhadap keragaman Islam Nusantara. Hal ini sebab menjadikan Islam Arab sebagai patokan absolut dalam beragama Islam, layaknya seakan itu adalah Islam ideal padahal merupakan Islam historis.

Otonomisasi Islam Nusantara

Tertukarnya posisi Islam yang seharusnya historis malah menjadi ideal, membuat Islam tidak lagi otonom dalam menghampiri umat Muslim di segala ruang dan waktu. Islam ideal menjadi terbelenggu oleh Islam historis. Oleh karena itu, perlu ada otonomisasi (pembebasan) Islam. Dalam hal ini, berdasarkan pandangan Profesor Aksin, Islam Nusantara tidak boleh terikat oleh bayang-bayang budaya Islam Arab, aliran seperti mazhab, organisasi seperti HTI, FPI, WI, termasuk NU dan Muhammadiyah, serta lembaga keagamaan maenstream seperti MUI dan lainnya.

Menurut Profesor Aksin, “Jika Islam dilepaskan dari bayang-bayang budaya Arab, maka budaya Nusantara dinilai absah merumuskan Islam yang khas Nusantara. Jika Islam dilepaskan dari aliran, organisasi dan lembaga keagamaan, maka setiap individu menjadi absah memahami Islam, tanpa terikat sedikitpun dengan aliran, organisasi dan lembaga keagamaan maenstream.”

Jadi otonomisasi Islam mengidealkan keadaan di mana budaya Nusantara dan setiap individu Muslim Nusantara terpandang absah dalam menafsirkan cara berislamnya. Dengan begitu potensi menusantarakan Islam menjadi lebih luas, sebab Islam Nusantara tidak terkolonialisasi oleh bayang-bayang budaya Islam Arab maupun wacana agama dari aliran, organisasi, dan lembaga keagamaan maenstream.

Dalam hal ini, kita perlu ingat juga kalau realitasnya tidak semua Muslim Nusantara punya kemampuan menalar cara beragama Islam (ini bukan berarti saya meremehkan tingkat pengetahuan orang lain). Dan, juga tidak selalu penggunaan produk Islam Arab itu menjadi belenggu Islam Nusantara.

Otonomisasi Islam sebagai satu upaya menusantarakan Islam, menurut saya, tidak lantas harus meniadakan sepenuhnya produk Islam Arab. Sebagaimana contoh pesantren yang mampu mermuskan cara berislam Nusantara mereka dengan khazanah kitab kuning yang adalah produk pengetahuan Islam Arab. Penggunaan kitab kuning oleh kalangan pesantren, sebenarnya sama saja dengan Prof. Aksin yang dalam membangun gagasan otonomisasi Islam mengutip (tidak otonom absolut) produk pengetahuan Barat dan pemikiran tokoh Muslim, seperti Mahmud Saltut, Muhammad Thaha, dan Abdul Karim Soros, yang dia sebut sebagai “pemikir individual”.

Begitu juga individu Muslim Nusantara tidak harus terdesak, atau tertekan, untuk merumuskan cara berislamnya sendiri. Sebab, tidak semua Muslim Nusantara punya kemampuan nalar sebagai “pemikir individual” Muslim yang mampu merumuskan cara beragama Islam sendiri. Maka, dalam ketidak-mampuan itu, tidak mengapa untuk mengikuti cara berislam yang dijelaskan oleh ulama berdasarkan aliran, organisasi, atau lembaga keagamaan yang diikuti.

Yang perlu kita catat adalah, otonomisasi Islam tidak menjadikan Islam Arab, aliran, organisasi, dan lembaga keagamaan sebagai ukuran absolut atau sebagai Islam ideal. Otonomisasi Islam melihat itu sebagai Islam historis. Sehingga, bagaimanapun cara berislam Nusantara, entah bebas dari Islam Arab atau menggunakan produk Islam Arab, entah mampu menafsirkan sendiri atau mengikuti ulama berdasarkan aliran, organisasi, atau lembaga keagamaan, tetap terpandang absah dan tidak harus dihakimi sesat. Sebab, ini bukan ranah Islam ideal yang absolut. Ini konteks Islam historis, maka menjadi hak masing-masing, al-haq al-lazim, Muslim Nusantara memilih caranya mengekspresikan Islam di Nusantara.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan