Membaca Kembali Kritik Rendra dalam Puisi

233 kali dibaca

Membaca Kembali Kritik Rendra dalam Puisi
Khanafi

Demokrasi Indonesia yang pernah digambarkan wataknya oleh Mohammad Hatta dalam bukunya yang masyhur; Demokrasi Kita, memang sungguh mengkhawatirkan. Apalagi jika dibiarkan tanpa kritik.

Advertisements

Gejala yang pernah ditulis Mohammad Hatta dalam buku tersebut hampir serupa dengan apa yang terjadi di tahun-tahun terakhir ini. Karena itu, tentu saja kekuasaan membutuhkan “nasihat” dan “peringatan” agar bangsa Indonesia yang berada di arah yang benar dan tidak terjerumus ke lembah kehancuran.

Agaknya nasihat Mohammad Hatta ketika itu tidak didengar oleh penguasa, bahkan bukunya dilarang beredar. Seperti hari-hari ini, nasihat para guru besar dan budayawan-seniman tak didengar oleh penguasa. Keadaan ini mengkhawatirkan dan bisa menjadi bom waktu di masa depan.

Menyaksikan demokrasi kita yang semakin “membusuk” itu agaknya penting bagi kita untuk kembali mengingat nasihat lewat puisi-puisi kritis dari penyair besar WS Rendra.

Dengan membaca sajak-sajak pamflet Rendra, kiranya kita bisa lebih simpati dan malah justru (harus) empati kepada mereka yang menjadi korban kerusakan demokrasi. Dalam rangka “memulihkan kesadaran” dan “menumbuhkan jiwa yang penuh rasa empati” itulah artikel ini dimaksudkan, yaitu sebagai catatan kecil sekaligus upaya mengembalikan ingatan bangsa ini tentang betapa mengerikan dan mirisnya “efek pembangunan” seperti di masa Orde Baru itu.

Tidak ada kekuasaan yang abadi, apalagi kekuasaan yang menggunakan tangan besi. Maka, saya lebih percaya bila puisi memang (mesti) abadi lebih daripada tangan besi. Sebab, puisi mampu membawa nilai-nilai kemanusiaan yang tetap akan relevan untuk segala zaman. Terlebih jika puisi itu mengandung kritik kepada kekuasaan yang dianggap berlaku tidak adil dan sewenang-wenang. Padahal kekuasaan mereka toh hanya titipan rakyat yang mestinya dikelola dan dibagikan kembali untuk kesejahteraan rakyat, bukannya kepentingan pribadi atau segelintir elite.

WS Rendra menjadi salah satu penyair yang sajak-sajaknya (mesti) abadi. Selain sajak-sajaknya, jugalah tulisan-tulisan dan pemikirannya mesti dikenang dan dibaca kembali.

Sungguh sayang nama penyair besar ini tidak lagi banyak dibicarakan. Padahal, kiprahnya sebagai penyair telah mendunia, bukan hanya puisinya (seperti Chairil Anwar yang puisinya pernah diantologikan ke dalam kumpulan puisi penyair dunia; The Ecco Anthology of International Poetry yang dieditori oleh Ilya Kaminsky dan Susan Harris), terlebih secara fisik Rendra pernah berkeliling membacakan sajak-sajaknya di negeri-negeri dingin dengan mempesona, dan pernah mendapat pujian dan pelukan hangat dari penyair besar Chili; Pablo Neruda. Bahkan, pernah keluar statemen dari Rendra; penyair mengharumkan nama bangsa!

Dalam kumpulan sajak WS Rendra; Potret Pembangunan dalam Puisi, yang sempat mendapat kritikan karena puisi-puisinya nampak lugas dan vulgar (menurut beberapa pandangan penyair dan kritikus ketika itu), terdengar jelas suara kritisnya yang menggedor “nurani” kekuasaan.

Sebenarnya bahasanya bukan lugas dan vulgar, tetapi menurut saya penuh dengan kejernihan pikiran dan pandangan yang kritis tentang kemanusiaan. Memang kekuasaan tidak punya nurani, tetapi orang-orang yang memegangnya tentulah masih manusia yang bernurani, di situlah Rendra ingin berbicara kepada kita; manusia.

Maka, dalam lembar awal buku tersebut, tertulislah kata-kata yang menjadi kesaksian penyair: Akumendengar suara/jerit hewanyang terluka//Ada orang memanah rembulan//Ada anak burung terjatuh dari sarangnya//Orang-orang harus dibangunkan//Kesaksian harus diberikan//Agar kehidupan bisa terjaga//.

Sajak itu ditulis Rendra, di Yogyakarta pada 1974. Dalam terminologi filsafat Aristoteles, disebutkan bahwa manusia adalah hewan (yang) berpolitik, dan Rendra menyiratkannya dalam potongan sajak itu; kita adalah hewan yang terluka dan menjerit karena telah dibohongi oleh kekuasaan.

Kata penyair lagi; ada orang memanah rembulan tapi anak burung terjatuh dari sarangnya, yang bisa saja bermakna ada orang (berkekuasaan) yang katanya tengah memanah rembulan (meraih cita-cita/ melakukan kebaikan), tapi ternyata ia melukai burung (metafor hewan yang menggambarkan manusia) sehingga jatuh dari sarangnya (tergusur dari rumahnya), dan jeritnya didengar oleh penyair; aku mendengar suara/jerit hewan yang terluka.

Dalam sajak-sajak WS Rendra yang lain dalam buku yang sama, banyak disinggung soal orang miskin (Orang-orang Miskin), mereka yang kalah (Lagu Seorang Gerilya, Sajak Peperangan Abimayu), persoalan pendidikan termasuk yang porsinya besar di buku tersebut (Sajak Sebatang Lisong, Sajak S.L.A., Sajak Seonggok Jagung, Sajak Anak Muda, Sajak Pertemuan Mahasiswa, Sajak Tangan), nasib pembantu dan perempuan yang malang (Sajak Gadis dan Majikan), dan persoalan sosial politik dan masalah kebudayaan lain (Sajak Burung-burung Kondor, Sajak Mata-mata, Sajak Pulau Bali, dan seterusnya).

Persoalan yang didedahkan Rendra dalam kumpulan sajaknya tersebut benar-benar masih relevan dengan keadaan kita hari ini. Betapa tidak? Misalnya, dalam pembukaan Sajak Sebatang Lisong yang menggambarkan negeri ini masih dikuasai para cukong dan oligark, sedangkan rakyat tak ubahnya seperti tempat pembuangan kotoran mereka: Menghisapsebatanglisong/melihatIndonesiaRaya/mendengar130juta rakyat/dan di langit/dua tiga cukong mengangkang/berak di atas kepala meraka//.

Kemudian, digambarkan bagaimana pendidikan kita yang masih tidak merata, dan kebingungan anak-anak akan masa depan seakan tidak pernah akan dapat diselesaikan: Matahari terbit//Fajar tiba//Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak/tanpa pendidikan//Aku bertanya/tetapi pertanyaan-pertanyaanku/membentur meja kekuasaan yang macet/dan papan tulis-papan tulis para pendidik/yang terlepas dari persoalan kehidupan//Delapan juta kanak-kanak/menghadapi satu jalan panjang/tanpa pilihan/tanpa pohonan/tanpa dangau persinggahan/tanpa ada bayangan ujungnya//.

Rendra membayangkan pada tahun 1977 itu sebagai masa yang darurat, nasib anak-anak bangsa seakan menjadi nasib yang tidak akan pernah seperti diberitakan akhir-akhir ini, yaitu menemui tahun emasnya pada tahun 2045 nanti. Sebab, kondisi-kondisi yang sama pun masih berlaku, apalagi dengan berita yang ramai bahwa UKT hari-hari ini naik begitu tinggi.

Persoalan lainnya, misalnya tentang nasib jurnalisme yang tingkat kebebasan berekspresinya semakin berkurang seperti, terbaca di berita hari-hari ini tentang akan terbitkan undang-undang penyiaran.

Dalam sajak Rendra berjudul Sajak Mata-mata disinggungnya soal itu: Pendengaran dan penglihatan/menyesakkan perasaan/membuat keresahan-/Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi/terjadi tanpa kutahu telah terjadi//Aku tak tahu//Kamu tak tahu//Tak ada yang tahu//Betapa kita akan tahu/kalau koran-koran ditekan sensor/dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol//.

Selanjutnya, Rendra mengingatkan kita bahwa Koran-koran adalah penerusan mata kita/Kini sudah diganti mata yang resmi//Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam//Kita hanya diberi gambaran model keadaan/yang sudah dijahit oleh penjahit resmi//.

Tentu saja, ada metafora-metafora yang dimainkan sang penyair, seperti koran sebagai mata kita (mata rakyat), dan model kenyataan yang dijahit (berita/opini yang dikendalikan), penjahit resmi (pemerintah/kekuasaan).

Begitu banyak yang Rendra ingatkan kepada kita dalam kumpulan sajak tersebut, bahwa kritik itu penting, bersikap kritis itu penting, ketidakadilan tidak boleh kita biarkan, kekuasaan dan penguasa harus kita awasi dan kritisi ketika mereka sudah cawe-cawe ( bertindak sewenang-wenang). Sebab jika hal-hal tersebut dibiarkan, masalah-masalah yang Rendra persoalkan puluhan tahun lalu tidak pernah akan selesai, dan malah bisa jadi semakin parah.

Demokrasi kita hari ini tak ubahnya demokrasi kita dahulu, yaitu demokrasi yang “ceroboh” jika tidak mau dikatakan demokrasi yang diperbudak “keserakahan”.

Seperti apa yang pernah ditulis Mohammad Hatta, dulu demokrasi melakukan kesalahan karena ulahnya sendiri (beliau tidak mau menyalahkan Soekarno), dan akan insyaf karena perbuatannya itu yang telah merugikan bangsa Indonesia. Tentu kita menunggu kapan demokrasi itu akan benar-benar insyaf dan menjadi dirinya yang sejati.

Nasihat telah diberikan Bung Hatta untuk mengingatkan demokrasi kala itu, walaupun tidak pernah masuk dan menjadi kesadaran penguasa ketika itu. Begitu pula, sajak-sajak kritis WS Rendra telah ditulis dan dibacakan di panggung-panggung pertunjukan dengan penonton yang ribuan, tetapi masih juga tidak didengar, malah mengalami pelarangan, nasib yang sama seperti buku Bung Hatta.

Kini, kita harus mengingat kembali kesaksian mereka yang peduli pada nasib bangsa ini, yang bukan hanya berkata manis di depan kamera tetapi bertindak “brutal” di baliknya. Kita seakrang harus menanam kesadaran, bahwa berita-berita kritis yang terbit di Majalah Tempo, dan penerbit berita lainnya yang kritis, bukanlah suatu cerita belaka atau omon-omon. Jurnalisme perlu dijaga, tentu untuk menumbuhkan kesadaran kritis, kita juga perlu ingatan yang jernih tentang keadaan.

Membaca sajak-sajak Rendra adalah salah satu obat mujarab penolak lupa dan kedunguan dalam melihat persoalan sejarah dan bangsa. Izinkan saya mengakiri catatan kecil ini dengan puisi WS Rendra (saya cantumkan utuh untuk menghargai penyair besar kita dan memberikan gambaran pada kita tentang hari ini yang belum berubah), berjudul Aku Tulis Pamflet Ini:

Aku Tulis Pamflet Ini

Aku tulis pamflet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an.

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi.
Ketidak-pastian merajalela.
Apa yang pasti hanya yang datang dari kekuasaan.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki,
menjadi marabahaya,
menjadi isi kebon binatang.

Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam.
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan.
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan.

Aku tulis pamflet ini
karena pamflet bukan tabu bagi penyair.
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku.
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah.
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamflet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara.
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca:
ternyata kita, toh, manusia!

27 April
1978
Pejambon
Jakarta.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan