Kesalahpahaman paling mainstream terhadap Islam Nusantara, adalah memandangnya sebagai agama “Islam yang lain dari Islam”. Hal ini sebagaimana banyak menjadi pandangan kelompok yang tidak sepakat, sampai memandang sesat, gagasan Islam Nusantara. Dalih mereka yang paling umum adalah Islam ya hanya Islam dan tidak ada itu Islam Arab, Islam Nusantara, atau Islam mana pun.
Islam yang Satu dan Beragam
Pandangan “Islam ya hanya Islam” dapat kita katakan benar di satu sisi, namun keliru di sisi yang lain.
Islam adalah satu, dan tidak ada Islam yang lain, merupakan Islam secara esensi agama. Sebagai satu ajaran yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Namun, sebagai ekspresi budaya, wajah Islam pada kenyataannya sangat beragam. Pengamalan umat Muslim terhadap ajaran yang diterima Nabi tidak menunjukkan ekspresi yang tunggal. Hal ini sebab Islam, sebagai agama, masuk dan berkembang dalam ruang historis manusia, di ruang ini muncul keragaman tafsir dan pengamalan umat Muslim, sehingga agama Islam yang satu menjadi menampakkan ekspresi yang beragam.
Dan di antara keragaman itu adalah Islam Nusantara. Bahkan, Islam Nusantara itu sendiri juga sangat beragam, sebab tiap masyarakat Nusantara masing-masing memiliki realitas keislamannya yang khas. Oleh karena itu, pandangan “tidak ada itu Islam Nusantara”, amat mengabaikan realitas keberislaman masyarakat Muslim yang beragam.
Term Islam Nusantara menggambarkan adanya keragaman Islam yang muncul melalui perkembangan Islam dalam ruang Nusantara. Buya Ahmad Syafii Maarif, dalam Islam, Humanity, and the Indonesian Identity, membahasakannya sebagai kondisi di mana Nusantara menjadi ruang interaksi antara faith (iman/baca: agama) dan budaya. Ketika Islam masuk dan berkembang di Nusantara, terjadi interaksi antara agama dan budaya yang pada prosesnya memunculkan keragaman Islam di Nusantara.
Islam Nusantara yang Beragam
Islam Nusantara itu sendiri sangat beragam. Meski ada padangan yang Jawasentris, seakan yang paling Nusantara itu adalah Islam Jawa, namun kita perlu memahami bahwa Islam Nusantara itu Aswaja (Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah) bukan as-Jawa (sebagai-Jawa). Islam Jawa adalah satu di antara keragaman ekspresi Islam Nusantara. Sebab, tidak hanya Muslim Jawa, melainkan setiap masyarakat Muslim di kawasan ini punya ekspresi khasnya.
Keragaman ekspresi misalnya nampak pada tradisi tahlilan. Tradisi yang umum bagi masyarakat Muslim Nusantara, namun dalam pelaksanaannya punya banyak varian di berbagai daerah. Di Bolaang Mongondow, pelaksanaan tahlilan, yang disebut Mintahang, sebelum membaca tahlil dan doa oleh jiou (pemimpin agama), lebih dahulu membaca Monginsingok atau doa dalam bahasa Mongondow oleh dewan adat. Di Gorontalo, pelaksanaan tahlilan khususnya 40 malam diwarnai pembagian Bako-hati (kotak berisi sedekah).
Monginsingok khas Islam Bolaang Mongondow, dan Bako-hati khas Islam Gorontalo. Dua hal ini tidak ditemukan dalam tradisi tahlilan varian Islam Jawa. Ya, mungkin ada unsur yang mirip, seperti di Jawa ada pengantar pembuka dengan bahasa Jawa dan pembagian sedekah dengan cara Jawa, namun itu tidak berarti sama. Dalam bahasa Antropologi, ini bisa disebut family resemblance (kemiripan keluarga), di mana ada tradisi-tradisi masyarakat Muslim di Nusantara yang mirip, bukan berarti sama. Di balik kemiripan, seperti varian tahlilan, kita dapat melihat keragaman budaya masyarakat Muslim di kawasan ini.
Pelaksanaan tahlilan yang beragam, itu hanya satu dari keragaman pengamalan masyarakat Muslim Nusantara. Dalam hal relasi adat dan agama ada perbedaan antara Islam Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan lainnya. Pemakaian jilbab dalam realitas historis Nusantara juga amat beragam, dari cadar, jilbab panjang, hingga kudung, semua ada. Tradisi ulama dan pendidikan Islam juga amat beragam; Kiai-Pesantren, Buya-Surau, Abuya-Dayah, Jiou-Sabuah, dan lainnya. Serta banyak lagi keragaman budaya Islam Nusantara.
Dalam keragaman ini, kita tidak boleh terjebak pada, apa yang Talal Asad dalam What is Islam? sebut sebagai, prescriptive authority (otoritas yang membatasi). Maksudnya, Islam Nusantara yang otentik tidak berdasarkan pada wajah Islam tertentu, seperti padangan yang Jawasentris, as-Jawa, seakan yang paling Nusantara itu Islam Jawa. Tidak bisa demikian. Itu cenderung mengabaikan realitas keberagaman masyarakat Muslim Nusantara.
Nalar Islam Nusantara perlu mengedepankan cara berpikir yang explorative authority/the authority to explore (otoritas yang eksploratif). Artinya, kita melihat secara eksploratif bahwa, ekspresi-ekspresi masyarakat Muslim di Nusantara sebagai Islam Nusantara yang otentik. Sebab, setiap suku, masyarakat Muslim, yang ada di kawasan ini punya realitas keislaman dan wajah Islamnya yang khas.
Sebagai tambahan, dalam hal diskursus Islam Nusantara, kita tahu bahwa NU adalah ormas Islam yang amat serius mengampanyekan Islam Nusantara. Tidak heran kalau kemudian ada yang menyalah-artikan Islam Nusantara sebagai identitas milik NU semata. Padahal, IsNus (Islam Nusantara) bukan semata Is-NU (Islam NU). Ini tidak jauh beda pada kasus as-Jawa, bahwa Islam Jawa dan termasuk Islam NU adalah bagian dari keragaman, jadi bukan satu-satunya, ekspresi Islam Nusantara. Artinya, selain NU juga dapat menafsirkan cara berislam Nusantaranya.
Bahkan, sekalipun itu Wahabi. Ya, bukan tidak mungkin ada Wahabisme Nusantara–Wahabi watak Nusantara yang damai dan santun, tidak provokatif dan takfiri. Beberapa tokoh Wahdah Islamiyah, misalnya, dalam taktik dakwahnya nampak berupaya menyesuaikan diri dengan memakai batik dan memberi kajian kitab-kitab Syafi’iyah. Ya, meski pada kenyataannya mereka tidak bermazhab, dan cenderung melawan pengamalan tradisi-tradisi Islam khas Nusantara.
NU yang menyuarakan Islam Nusantara juga paham akan hal sederhana ini, makannya pada Mukmar NU di Jombang, tahun 2015, tema yang diangkat adalah; Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia. Artinya, Islam Nusantara itu untuk peradaban Indonesia dan dunia, bukan semata hanya untuk identitas NU saja. Ini term yang menggambarkan kekhasan dan keragaman pengamalan masyarakat Muslim di Nusantara.
Kesadaran Keberagaman
Di tengah keragaman Islam Nusantara, sikap sebagai “si paling” menjadi satu masalah yang rentan menjebak kita pada truth claim (klaim kebenaran). Memandang cara berislam sendiri, baik kelompok masyarakat maupun ormas, sebagai yang paling Nusantara dan yang lain adalah keliru. Alhasil, yang nampak bukan menghidupkan kearifan tradisi, yang ada malah penghakiman terhadap mereka yang berbeda.
Kesadaran adanya keberagaman adalah penting dalam menyikapi problem si paling ini. Kita perlu sadar bahwa Islam Nusantara itu memang beragam. Saya jadi ingat pandangan Charles J. Adams, dalam “Islamic Religious Tradition,” bahwa “…Islam cannot be one thing but rather is many things (Islam tidak dapat menjadi satu hal tapi lebih tepatnya menjadi banyak hal).” Ya, realitasnya memang demikian. Pengamalan Muslim dalam menjalankan agama Islam sangat beragam.
Maka dalam keragaman Islam Nusantara, penting untuk punya kesadaran kalau bukan hanya ada pengamalan Islam kita saja, namun ada juga ekspresi pengamalan Islam Nusantara dari masyarakat atau kelompok Islam yang lain. Malah jadi ingat judul bukunya Gus Dur; Islamku, Islam Anda, Islam Kita.
Ajiib.. 👏🏼👍🏼