Kisah-kisah dalam Al-Qur’an merupakan media bagi Tuhan untuk menuntun manusia dalam menjalankan hidup. Pesan-pesan yang terkandung dalam kisah mampu menyorot perhatian manusia, serta memberikan daya tarik tersendiri.
Melalui kisah-kisah dalam Al-Qur’an, umat manusia memperoleh pesan-pesan (ibrah) yang terinternalisasi ke dalam diri manusia. Tidak terkcuali narasi-narasi historis yang difirmankan-Nya dalam kitab suci Al-Qur’an. (Nasution, 1998: 20).
Secara terminologi, kisah menurut buku Kaidah Tafsir karya Quraish Shihab adalah menelusuri peristiwa atau kejadian dengan jalan menyampaikan atau menceritakannya tahap demi tahap sesuai dengan kronologi kejadiannya (Shihab, 2013: 319). Salah satu histori fenomenal yang termuat dalam Al-Qur’an adalah kisah ashhabu al-sabt. Menjadi satu kisah yang fenomenal, karena jika dipahami secara tekstual, maka kisah tersebut tidak memenuhi syarat-syarat logis untuk dipetik kebenarannya.
Definisi lain tentang kisah, jika kita analisa secara gramatikal bahasa, berasal dari kata al-qashshu yang artinya mencari atau mengikuti jejak. Kata ini bentuk mashdar (nomina), sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam QS. al-Kahfi: 64.
قَالَ ذٰلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِۖ فَارْتَدَّا عَلٰٓى اٰثَارِهِمَا قَصَصًاۙ
“Musa Berkata: “Itulah Tempat yang kita cari”. Lalu keduanya kembali mengikuti jejas mereka semula”
Yang dimaksudkan sebagai jejak pada ayat tersebut adalah jejak atau asal darimana keduanya datang. Maksudnya, ikutilah jejaknya sampai kamu melihat siapa yang mengambilnya.
Qashash al-Qur’an adalah pemberitaan Al-Qur’an tentang hal-ihwal umat yang telah lalu, kenabian yang terdahulu, dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik dan mempesona (al-Qaththan, 2015: 300).
Uraian Kisah Ashhabu Al Sabt
Terdapat beberapa ayat yang menyinggung perihal ashhabu al-sabt, antara lain QS. al-A’raf: 163, QS. al-Furqan: 47, QS. al-Nahl: 124, QS. al-Naba’: 9, QS. al-Baqarah: 65, al-Nisa’: 47 dan 154. Akan tetapi, kisah ashhabu al-sabt dijelaskan lebih lengkap dalam QS. al-A’raf ayat 163-166.
Secara historis, penamaan karena memiliki keterkaitan dengan kisahnya. Ashhabu al-sabt merupakan kisah yang tidak dipaparkan secara jelas perihal nama dan tempat kejadiannya. Uraian kisah ini akan tersingkap setelah menelaah secara dalam dari kitab-kitab tafsir yang ada. Karena merupakan kisah dari bani Israil, maka akan banyak kemungkinan kisah ini diintersepsi oleh kisah-kisah israiliyyat (Akmaldin, 2010: 89).
Ibn Abbas, dalam tafsrinya, memberikan uraian panjang perihal kisah ini. Akan tetapi, ibn Abbas dinilai sering memasukkan kisah-kisah israiliyyat dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an. Kendati demikian, kelemahan tersebut bisa ditepis karena kisah ashhabu al-sabt tidak menyentuh ranah akidah dan fikih sehingga pemakaian kisah israiliyyat tidak menjadi hal yang fatal.
Ashhabu al-sabt adalah penduduk suatu desa yang tinggal di dekat laut dan melanggar aturan pada hari Sabtu. Ada distingsi perihal negeri yang ditinggali oleh ashhabu al-sabt ini. Beberapa ulama menyatakan bahwa negeri itu adalah Ailah. Pendapat tersebut dijelaskan oleh Ibn Abbas, Ikrimah, Abdullah ibn Katsir, al-Suddi, Mujahid, dan Qatadah.
Ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa negeri tersebut terletak di Maqna, yang terletak di antara Madyan dan ‘Ainuni. Pendapat ini disampaikan oleh ibn Zaid. Terdapat juga pendapat lain yang menyebutkan bahwa negeri itu terletak di antara Ailah dan bukit Tur (al-Thabari, 2008: 655-657).
Kisah dimulai ketika mereka melakukan pelanggaran pada hari Sabtu. Sementara, Sabtu sendiri adalah hari di mana mereka bersepakat khusus untuk hari peribadatan (Sayyid Qutb, 2003: 637). Kala itu, sebelum adanya syariat yang mengharuskan memilih hari Jumat, mereka semua sepakat untuk mengagungkan hari Sabtu. Hal ini berkenaan dengan ajaran mereka yang cenderung mentauhidkan Tuhan dan mengaitkannya dengan hari Sabtu. Alasannya, Sabtu merupakan hari di mana alam semesta ini telah Allah sempurnakan penciptaannya (al-Thabari, 2008: 299).
Bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh ashhabu al-sabt adalah mereka tetap bekerja pada hari Sabtu, sedangkan di hari tersebut mereka bersepakat untuk hanya beribadah kepada Allah.
Tidak semua kaum pada masa tersebut melakukan pelanggaran. Kaum tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu golongan para pelanggar, golongan yang menasihati para pelanggar, dan golongan yang acuh (Shihab, 2006: 285).
Dalam riwayat dijelaskan bahwa sudah begitu banyak nasihat yang disampaikan kepada kaum pelanggar, tetapi mereka tidak mau mendengarkannya. Sehingga, pada puncaknya, mereka lupa akan peringatan yang disampaikan. (Shihab, 2006: 285). Pada akhirnya, setelah melakukan pelanggaran di hari Sabtu, mereka dikutuk oleh Allah menjadi kera. Sebagaimana dalam firman-Nya,
كُوۡنُوۡا قِرَدَةً خٰسِـٮِٕیْنَ
“Jadilah kamu kera yang hina.”
Analisis Hermeneutika Dithley
Sebelumnya, penulis ingin menjelaskan secara singkat bagaimana konsep Hermeneutika Wilhelm Dilthey. Wilhelm Christian Ludwig Dilthey (1833-1911) merupakan tokoh heremeneutik yang mengacu kepada tokoh lain yaitu Schlermacher.
Bagi Dilthey, tujuan hermeneutika adalah sebagai geisteswissenchaften, yaitu dasar bagi ilmu-ilmu sosial humanistis yang memahami ekspresi batin manusia dari persepektif psikologis maupun historis.
Dilthey mempertemukan corak positivisits dan idealis dalam pemikirannya. Fenomena postivistis bagi Dilthey perlu dikelola menjadi fenomena sejarah yang terstruktur dan logis, bukan sekadar membentuk pola abstrak.
Formula yang diberikan Dilthey meliputi erlebnis, ausdruck, dan verstehen. Erlebnis digambarkan dengan pengalaman yang meninggalkan kesan dalam kehidupan seseorang. Ausdruck merupakan gagasan dari pengarang, bukan ekspresi secara kolektif. Verstehen adalah cara untuk mengolah data dari erlebnis dan ausdruck. (Hardiman, 2015: 85).
Untuk lebih memahami secara rigid perihal kisah ashhabu al-sabt, penulis akan membagi cerita tersebut menjadi dua divisi. Divisi pertama, yaitu pembahasan tentang kronologi pelanggaran. Sedangkan, divisi kedua, yaitu peristiwa pengutukan Tuhan kepada mereka menjadi kera.
Divisi I (Pelanggaran Perjanjian). Kisah ashhabu al-sabt terdapat dalam beberapa ayat, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam divisi kisah yang pertama ini, penulis akan memnjadikan QS. al-Baqarah: 65 sebagai data primer dalam penjabaran kisah ashhabu al-sabt.
“Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabat, lalu Kami katakan kepada mereka: Jadilah kamu kera yang hina”
Dalam menelaah ayat tersebut menggunakan hermenutika Dilthey, perlu pengimplementasian formulasi hermeneutikanya secara hati-hati. Pertama, yaitu dengan formula ausdruck. Dalam proses ini kita diajak untuk menggali lebih lanjut perihal pelanggaran yang dilakukan oleh ashhabu al-sabt, yaitu berbentuk pengingkaran terhadap janji yang telah disepakati dengan Allah SWT.
Mereka tidak memuliakan hari Sabtu dengan tetap mencari ikan. Padahal, seharusnya mereka memfokuskan hari Sabtu sebagai waktu untuk beribadah kepada Allah SWT. Sedangkan, mereka malah memasang perangkap di hari Sabtu dengan dalih banyak ikan yang berdatangan pada hari tersebut.
Sedangkan, formulasi kedua yang harus diguakan adalah erlebnis. Dalam proses ini, peristiwa perjanjian antara ashhabu al-sabt dengan Allah memunculkan pertanyaan. Bagaimanakah cara Allah dan mereka melakukan perjanjian? Sedangakan Allah tidak menampakkan diri-Nya. Bagaimana pelanggaran tersebut terjadi? Dan Kapan kisah tersebut berlangsung?
Dalam formulasi yang ketiga, yaitu verstehen, maka kita bisa mengambil pemahaman akan, 1) karakter ashhabu al-sabt yang picik sehingga mereka dikutuk menjadi kera; 2) bahwa proses pemberian hari Sabtu sebagai hari mulia terjadi pada masa Nabi Musa. Sedangkan, pelanggaran yang mengakibatkan mereka dikutuk terjadi pada masa Nabi Daud as, sebagiamana yang terterapada QS. al-Maidah: 78.
Memahami prosedur perjanjian Allah dengan ashhabu al-sabt, yaitu melalui kesepakatan dengan Allah, dan diperantarai oleh Nabi Musa. Esensi dari kutukan tersebut ialah bahwa kutukan menjadi kera merupakan hal yang hina. Apabila kera berperangai seperti kera, maka hal itu sangatlah lumrah. Namun, jika manusia berperangai layaknya kera, maka hal tersebut menjadi kecacatan yang nyata. Maka kehinaan itulah yang didapatkan oleh ashhabu al-sabt.
Divisi II (Kutukan kera bagi para pelanggar). Setelah dijelaskan perihal analisis hermeneutika Dilthey terhadap kisah penyebab ashhabu al-sabt melakukan pelanggaran, latar waktu, teknis perjanjian, dan fenomena pelanggaran tersebiut, maka pada pembahasan ini, akan dipaparkan mengenai hakikat kutukan yang dilancarkan Tuhan kepada mereka. QS. al-A’raf ayat 163 menjadi data primer dalam penelaahan ini.
Dalam tahap pertama, ausdruck, kita mencoba untuk mengungkap ekspresi batin mereka secara sadar, yang terefleksikan dengan muslihat yang mereka lakukan dan respons Kaum Yahudi lain. Ashhabu al-sabt melakukan helat agar tetap mampu menangkap ikan di hari Sabtu.
Sedangkan, dalam proses erlebnis, kita mampu memunculkan pertanyaan, “Apa yang menjadi penyebab kedurhakaan mereka kepada Allah?” dan “Apakah kutukan kera itu ditimpakan kepada seluruh umat Yahudi?”
Dalam proses verstehen, kita bisa menganalisis premis-premis tersebut dan menghasilkan beberapa fakta. Kaum Yahudi, pada mulanya, diperintahkan untuk mengkhususkan hari Jumat, akan tetapi mereka memilih hari Sabtu. Pada hari Sabtu tersebut, Allah memberikan ujian bagi mereka untuk meningkatkan kualitas keimanan mereka.
Bentuk ujian tersebut adalah dengan mendatangkan banyak ikan di hari Sabtu. Penangkapan ikan di hari Sabtu, tidak dilakukan sekali-dua kali, melainkan beberapa kali. Karena tidak ada hukuman yang menimpa mereka ketika menangkap ikan, maka semakin banyak orang yang ikut menangkap ikan bahkan menjual ke pasar secara terang-terangan. Indikasinya, bahwa masyarakat yang tetap menangkap ikan di hari Sabtu tidak merepresentasikan sebagai kaum yang taat kepada Allah.
Akhirnya, dengan membawa konsep hermeneutika Dilthey dalam analisis kisah ashhabu al-sabt, kita mendapatkan uraian yang komprehensif secara historis. Alat interpretatif dari Dilthey ini mampu membawa kita kepada pemahaman, “Siapa sebenarnya sosok ashhabu al-sabt ini.”
Daftar pustaka
Akmaldin, Noor Al-Qur`an Tematis: Kisah-Kisah Dalam Al-Qur’an 2. Jakarta. Yayasan 20 SIMAQ. 2010.
al-Qaththan, Manna’. Mabâhis fi Ulûm al-Qur’ân. Riyadh. Maktabah Ma’arif. 2015.
Al-Thabari. Tafsir al-Thabari (Terj.). Juz 11. Abdul Somad (Pen.). Jakarta. Pustaka Azzam. 2008.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami. Yogyakarta. Kanisius. 2015.
Nasution, Harun Islam Rasional. Bandung. Mizan. 1998.
Qutb, Sayyid. Tafsir fi Zhilal al-Qur’an (Terj.), Juz 1. Jakarta. Rabbani Press. 2003.