Membaca Warisan Pemikiran Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i

101 views

Dalam perjalanan bangsa Indonesia, hubungan antara Islam dan negara adalah salah satu topik yang senantiasa relevan untuk dikaji. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia memiliki tantangan besar pula untuk menyelaraskan nilai-nilai agama dan kebangsaan.

Tiga tokoh besar, yaitu Nurcholish Madjid (Cak Nur), Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Ahmad Syafi’i Ma’arif (Buya Syafi’i telah memberikan kontribusi pemikiran yang mendalam. Mereka menawarkan jalan tengah yang harmonis antara keislaman dan keindonesiaan.

Advertisements

Sebagai ulama sekaligus intelektual yang hidup di tengah dinamika politik dan sosial yang kompleks, ketiga tokoh ini menanamkan nilai-nilai Islam yang tidak hanya bersifat teologis, tetapi juga praktis dalam konteks kehidupan berbangsa. Mereka menghadirkan wajah Islam yang inklusif, damai, dan relevan dengan tantangan zaman.

Cak Nur: Islam yang Membumi dan Universal

Cak Nur adalah seorang pembaru pemikiran Islam yang mengajak umat untuk kembali memahami Islam sebagai nilai, bukan sekadar simbol. Konsepnya yang terkenal, “Islam Yes, Partai Islam No”, menegaskan bahwa perjuangan Islam tidak harus diwujudkan dengan politik formal, melainkan melalui penerapan nilai-nilai luhur Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pandangan Cak Nur, Islam adalah agama yang universal, yang melintasi batas-batas suku, bangsa, dan budaya. Oleh karena itu, Pancasila sebagai dasar negara tidak bertentangan dengan Islam. Baginya, nilai-nilai Pancasila, seperti keadilan, kemanusiaan, dan persatuan, adalah refleksi dari ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Cak Nur juga sering mengutip ayat Al-Qur’an, seperti dalam surat Al-Hujurat:13, yang menegaskan bahwa keberagaman adalah sunnatullah (ketetapan Allah):

“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”

Melalui pemikiran ini, Cak Nur mengajak umat Islam Indonesia untuk menjadi pelopor dalam menciptakan masyarakat yang harmonis, di mana nilai-nilai Islam tidak hanya relevan untuk umat Muslim, tetapi juga membawa rahmat bagi seluruh bangsa.

Gus Dur: Pluralisme sebagai Cerminan Islam Rahmatan Lil Alamin

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah simbol Islam rahmatan lil alamin dalam konteks kehidupan berbangsa. Sebagai ulama Nahdlatul Ulama (NU) sekaligus negarawan, Gus Dur memperjuangkan nilai-nilai pluralisme dan kemanusiaan. Dalam pandangannya, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keadilan dan perdamaian, sehingga tidak ada ruang bagi diskriminasi atau eksklusivisme.

Gus Dur sering mengutip surat Al-Baqarah:256, yang menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama:

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah.”

Dengan landasan ini, Gus Dur menjadi pembela kelompok minoritas, baik dari segi agama, budaya, maupun etnis. Salah satu langkah revolusionernya adalah menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dan mengakui keberadaan agama-agama lokal. Baginya, negara adalah pelindung bagi semua warganya, tanpa memandang latar belakang agama atau suku.

Pemikirannya tentang demokrasi juga sejalan dengan nilai-nilai Islam. Gus Dur percaya bahwa demokrasi adalah bagian dari ajaran Islam yang menempatkan keadilan dan musyawarah sebagai landasan kehidupan. Ia kerap mengingatkan umat bahwa keberislaman sejati tidak terletak pada simbol, tetapi pada keberanian memperjuangkan kebenaran dan kemanusiaan.

Buya Syafi’i: Islam Berorientasi pada Keadilan dan Kemanusiaan

Buya Syafi’i Ma’arif adalah sosok yang dikenal sebagai penjaga moralitas bangsa. Sebagai seorang ulama Muhammadiyah, Buya selalu menekankan pentingnya Islam yang berkeadaban, berorientasi pada nilai-nilai moral, dan menghindari politik identitas.

Dalam banyak tulisannya, Buya mengingatkan bahwa tugas utama umat Islam bukanlah memperjuangkan simbol-simbol keislaman dalam politik, melainkan memperjuangkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Pemikirannya ini selaras dengan pesan Nabi Muhammad SAW yang menegaskan bahwa seorang Muslim terbaik adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain.

Buya juga sering mengutip surat An-Nisa:135, yang menekankan pentingnya keadilan:

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.”

Bagi Buya, Islam harus menjadi kekuatan moral yang memperjuangkan hak-hak kaum lemah dan menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan beradab. Pancasila, dalam pandangannya, adalah konsensus nasional yang mampu menjadi wadah bagi semua elemen bangsa untuk hidup rukun dan damai.

Relasi Islam dan Negara

Ketiga tokoh ini, meskipun berlatar belakang organisasi dan pendekatan yang berbeda, memiliki visi yang sama: membangun harmoni antara Islam dan negara. Mereka menunjukkan bahwa Islam tidak bertentangan dengan konsep kebangsaan, bahkan sebaliknya, Islam dapat menjadi fondasi moral yang memperkuat persatuan bangsa.

Melalui pemikiran mereka, umat Islam Indonesia diajak untuk memandang Pancasila sebagai bagian dari komitmen kebangsaan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka juga menegaskan bahwa keberagaman adalah kekayaan yang harus dirawat, bukan ancaman yang harus dihindari.

Warisan Pemikiran untuk Masa Depan

Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, pemikiran Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i tetap relevan untuk menjadi pedoman. Indonesia membutuhkan lebih banyak tokoh dan generasi penerus yang mampu mempraktikkan nilai-nilai Islam yang inklusif, damai, dan membawa rahmat bagi seluruh alam.

Mereka telah meninggalkan jejak yang jelas, Islam bukanlah agama yang eksklusif, tetapi agama yang membawa cahaya bagi semua, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Anbiya:107:

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Dengan menjadikan pemikiran mereka sebagai inspirasi, umat Islam Indonesia dapat terus berkontribusi dalam membangun bangsa yang adil, damai, dan penuh keberkahan. Islam, dalam bingkai keindonesiaan, akan selalu menjadi cahaya yang menuntun perjalanan bangsa ini menuju masa depan yang lebih cerah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan