Membaca Setting Politik Menjelang Pewahyuan Qur’an (2)

15 views

Selain beranggotakan warga penuh berdasarkan kelahiran keanggotaan suatu suku atau kaum, biasanya diperluas mencakup orang-orang atau suku-suku yang meminta perlindungan. Pertambahan anggota kesukuan antara lain mengambil béntuk seperti halif (sekutu berdasarkan kontrak), jar (tetangga yang dilindungi), dan mawla (klien).

Dengan demikian, tampak bahwa struktur sosial Arabia pra-Islam dan pada masa awal Islam adalah kesukuan. Suku, atau sub-kelasnya, bagi orang-orang Arab, tidak hanya merupakan satu-satunya unit atau basis kehidupan sosial, tetapi lebih jauh juga mencerminkan prinsip perilaku tertinggi.

Advertisements

Solidaritas kesukuan merupakan basis keseluruhan gagasan moral paling mendasar yang di atasnya masyarakat Arab dibangun. Menjunjung tinggi ikatan kekeluargaan berdasarkan pertalian darah melebihi segalanya di dunia ini, dan melakukan segala sesuatu yang bisa mengangkat kehormatan serta keharuman nama suku, merupakan tugas suci yang dibebankan kepada setiap individu anggota suatu suku.

Kesetiakawanan kesukuan memang merupakan prasyarat mutlak dalam kehidupan liar di padang pasir. Tanpa suatu tarat solidaritas yang tinggi, tidak ada harapan bagi siapa pun untuk meraih keberhasilan dalam mempertahankan eksistensi di tengah-tengah iklim dan kondisi sosial padang pasir yang kejam.

Dalam taraf yang lebih jauh, solidaritas kesukuan mengharuskan seseorang berpihak secara membabi-buta kepada saudara-saudara sesukunya tanpa peduli apakah mereka keliru atau benar.

Durayd ibn al- Simmah, seorang penyair pra-Islam, secara efektif memperlihatkan hal ini dalam sebuah syairnya: Ketika mereka menolak saranku, aku tetap berpihak kepada mereka sekalipun dengan sepenuhnya mengetahui, bahwa aku berada dalam kekeliruan yang nyata ketika meninggalkan jalan yang tepat, aku hanyalah anggota (suku) Gaziyah. Jika mereka menempuh jalan keliru, Maka aku harus melakukan hal senada, sama seperti aku mengikuti mereka ketika mereka memilih jalan benar.

Solidaritas kesukuan tidak hanya merupakan karakteristik asasi kehidupan di padang pasir, tetapi juga di kota-kota seperti Mekkah dan Madinah, serta bertalian erat dengan gagasan lex talionis (balas dendam).

Dalam kehidupan di Jazirah Arabia, pada umumnya seseorang akan berupaya menghindari, mencelakai, atau membunuh orang lain jika orang tersebut berasal dari suatu suku kuat yang pasti akan menuntut balas atasnya. Menurut prinsip lex talionis, bukanlah hal mutlak bahwa si pembunuh yang mesti dieksekusi dalam balas dendam, tetapi siapa saja dari suku atau klan si pembunuh yang berstatus sama dengan korban.

Pada suatu kesempatan di masa pra-Islam, seorang kepala suku dibunuh, dan seorang anak muda yang berasal dari suku si pembunuh dibantai dalam rangka balas dendam. Tetapi suku yang menuntut balas belum merasa puas karena memandang nyawa anak muda  itu tidak lebih berharga dari tali sepatu kepala suku terbunuh. Akibatnya, pecah peperangan sengit antar-suku yang banyak menumpahkan darah.

Adalah menarik bahwa secara politik Muhammad terlihat telah menikmati keuntungan dari sistem perlindungan kesukuan di dalam masyarakat kota Mekkah, khususnya pada tahun-tahun pertama aktivitas kenabiannya. Ia bisa bertahan hidup di kota ini, sekalipun dengan oposisi yang sangat keras, karena berasal dari bani Hasyim, suatu klan yang relatif cukup kuat di Mekkah. Klan ini, berdasarkan prinsip solidaritas kesukuan, terikat kehormatan untuk menuntut balas atas setiap kerugian yang menimpanya, sekalipun banyak anggota klan tersebut tidak bersetuju dengan agama barunya.

Tetapi, setelah klan ini menarik perlindungan atasnya pada masa kepemimpinan Abu Lahab, barangkali inilah yang melatarbelakangi kecaman keras Al-Quran terhadapnya dalam 111:1-5- Nabi melakukan hijrah ke Madinah. Di kota ini beberapa klan tertentu yang menerima risalah kenabiannya, bersedia memberikan keamanan padanya.

Semangat kesukuan di kalangan orang-orang Arab pra-Islam memang tidak sebanding dengan konsep nasionalisme, seperti dipahami dewasa ini, karena dasar keterikatan mereka adalah kepada suku atau kaum. Walaupun demikian, terdapat adat-istiadat yang diterima secara luas dan lazimnya dikenal sebagai muruwwah (kebajikan-kebajikan utama). Muruwwah, antara lain, terdiri dari keberanian, kedermawanan, dan memegang janji.

Adalah hal yang wajar dalam berbagai kondisi padang pasir yang kejam jika keberanian memperoleh tempat tertinggi di antara kebajikan-kebajikan utama lainnya. Di padang-padang tandus Arabia, di mana kekuatan-kekuatan alam sangat bengis terhadap manusia dan penjarahan antar-suku (dipandang sebágai olahraga nasional, bukan suatu kejahatan) hampir merupakan satu-satunya alternatif terhadap kematian, tidak ada yang dapat memungkiri pentingnya kekuatan fisik dan kecakapan militer. Kehormatan suku di kalangan pagan Arab, hingga taraf yang jauh, merupakan masalah keberanian. Bagi orang-orang Arab Badui, perkelahian berdarah (baik yang bersifat kesukuan atau individual)- merupakan sumber dan dorongan utama kehidupan. Dengan demikian, keberanian tidaklah dipandang secara sederhana sebagai senjata untuk mempertahankan diri, ia merupakan sesuatu yang lebih positif dan agresif.

Demikian pula, dalam kondisi padang pasir yang sulit, merupakan hal amat mulia jika kedermawanan diberi tempat tinggi dalam daftar kebajikan utama. Kebutuhan akan bahan-bahan pokok yang sangat sulit diperoleh, telah membuat tindakan kedermawanan sebagai salah satu aspek penting dalam perjuangan mempertahankan eksistensi. Dalam pandangan orang-orang Arab, kedermawanan bertalian erat dengan konsep kemuliaan, dan dianggap sebagai bukti kemuliaan sejati seseorang. Bagi seorang pagan Arab, kedermawanan bukan sekadar manifestasi dari rasa solidaritas kesukuannya, karena sangat sering kedermawanan diperluas kepada orang-orang asing luar keanggotaan sukunya. Tindakan kemurahan hatinya juga tidak selalu didorong oleh motif berbuat baik. Baginya, kedermawanan terutama sekali merupakan tindakan untuk membuktikan kemuliaan dan, karena itu, selalu dipamerkan.

Sementara memegang janji di kalangan orang-orang Arab merupakan salah satu kebajikan tertinggi lainnya yang paling khas. Sebagaimana yang dapat diduga, kebajikan utama ini berhubungan intim dengan masalah pertalian darah, dan dalam kebanyakan kasus dipraktikkan dalam ikatan kesukuan. Kebajikan memegang janji memanifestasikan dirinya dalam kerelaan seseorang untuk berkorban nyawa tanpa pamrih demi menmbela sesama anggota suku atau klan, karena secara primordial ia terikat janji dan kehormatan untuk melakukan hal tersebut.

Dalam skala yang lebih luas, nilai keteguhan memegang janji (dengan mempertimbangkan sulitnya kehidupan di padang pasir) terlihat sangat penting, serta dijelmakan dalam pakta-pakta antarsuku dan institusi yang dikenal sebagai empat bulan suci, ketika seluruh pertikaian dan peperangan mesti dihentikan dalam rangka memberi kesempatan kepada para peziarah untuk melakukan ziarah ke kota-kota suci dan kepada para pedagang untuk melakukan perniagaan.

Hal-hal yang bertalian dengan kehormatan (code of honor) di kalangan orang Arab, yang sebagiannya telah diungkapkan di atas, memiliki kedudukan penting sebagai latar historis untuk memahami berbagai gagasan moral Al-Quran. Nilai-nilai kesukuan Arab itu sebagiannya ditolak secara tegas oleh Al-Quran dan sebagian lagi diterima, dimodifikasi, serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan Islam. Lebih tegas lagi, nilai-nilai lama tersebut secara radikal telah mengalami transformasi dan tercerabut dari bentuk tradisional kehidupan kesukuan Arab.

Sisi lain dari kehidupan di Jazirah Arab adalah pertanian. Di samping Yaman, terdapat sejumlah oase di bagian barat Arabia yang pekerjaan utama penduduknya adalah bertani. Yang terpenting dari oase-oase ini adalah Madinah. Panenan utama daerah ini adalah kurma, tetapi tanaman pangan lain juga dihasilkannya.

Adalah menarik bahwa dalam perkembangan pertanian di Madinah maupun di oase-oase lain orang Yahudilah yang memainkan peran utama. Peran ini barangkali tidak lazim jika dikaitkan dengan eksistensi mereka sebagai pedagang dan penyandang dana di berbagai belahan dunia lain sejak abad pertengahan hingga kini. Sekalipun orang-orang Arab tertentu lebih belakangan menetap di Madınah dibandingkan orang-orang Yahudi, tetapi secara lebih dominan. Di oase-oase lain seperti Tayma, Fadak, Wadi al-Qura, dan Khaibar, pemukim utamanya juga orang-orang Yahu hijau ini, tidak begitu jelas. Dalam kebanyakan kasus, mereka telah mengadopsi bentuk-bentuk kemasyarakatan dan adat-istiadat Arab, serta hanya berbeda dalam agama.

Sisi hijau Jazirah Arab ini dikemukakan Al-Quran dalam beberapa kesempatan. Sistem irigasi canggih di Arabia Selatan dan kemusnahannya, sering disebut sebagai bobolnya bendungan Maarib di sekitar 450 dirujuk dalam Al-Quran 34:16. Masih terdapat beberapa rujukan lainnya di dalam kitab suci tersebut kepada pertanian yang telah menggunakan sistem irigasi. Tetapi, bentuk pertanian yang dipraktikkan di  luar oase-oase di Arabia pada umumnya bersifat musiman, karena ketergantungan yang sangat pada curah hujan, seperti ditamsilkan al-Quran dalam berbagai kesempatan. Wallahu A’lam…

 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan