Masih banyak persoalan yang dianggap meresahkan bagi umat muslim, terutama karena adanya tafsir atas teks-teks keagamaan yang dijadikan alat legitimasi. Salah satunya adanya fakta bahwa poligami yang masih terus dikampanyekan bahkan dianggapnya sunnah oleh mereka yang ingin melakukannya.
Hal ini sungguh menarik untuk kita kaji dan analisis lebih dalam lagi mengingat adanya dampak dari poligami. Tak sedikit pertengkaran bahkan pembunuhan terjadi sebab api cemburu yang dipantik dari pernikahan seorang pria yang lebih dari satu istri, atau yang lebih akrab dikenal dengan poligami.

Untuk mengkajinya lebih dalam lagi, buku karya KH Husein Muhammad berjudul Poligami, sebuah Kajian Kritis Kontemporer Seorang Kiai, ini merupakan yang paling pas untuk kita jadikan sebagai rujukan. Buku yang ditulis oleh seorang kiai ini bagaikan sarana piknik kita untuk mengetahui lebih luas makna-makna yang dijadikan dasar oleh mereka yang terus-menerus menggelorakan gerakan berpoligami.
Buku KH Husein Muhammad ini memberikan beberapa alasan dasar untuk tidak lagi berpoligami dalan konteks sekarang ini. Analisisnya cermat dan luasnya dengan rujukan kitab kuning yang dikajinya. Sehingga, buku ini menyuarakan bahwa pernikahan monogami-lah yang lebih menolak madharat dibandingkan poligami.
Pada dasarnya terdapat beberapa pendapat ulama mengenai ksu poligami ini. Setidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, mereka yang membolehkan poligami secara longgar. Kedua, mereka yang membolehkan poligami dengan adanya syarat yang relatif ketat, di antaranya yaitu keadilan, baik secara finansial (pemenuhan hak ekonomi), seksual, dan keadilan dalam kasih sayang. Ketiga, mereka yang mengharamkannya secara mutlak. (hlm. 9-10).
Meskipun begitu, semua perbedaan pandangan tersebut masih didasarkan pada sumber yang sama, yaitu surat an-Nisa’ ayat 2-3 di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاٰتُوا الْيَتٰمٰىٓ اَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيْثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَهُمْ اِلٰٓى اَمْوَالِكُمْ ۗ اِنَّهٗ كَانَ حُوْبًا كَبِيْرًا
Artinya: Berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka. Janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar. (An-Nisā’ [4]:2).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
Artinya: Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim. (An-Nisā’ [4]:3).
Berkaitan dengan atar belakang turunnya ayat ini, para ulama ahli tafsir menyampaikan, bahwa dalam ayat ini Allah menyerukan kepada mereka yang menjadi pengasuh dari para anak yatim, hendaknya untuk berbuat adil.
Seperti apa yang telah dikutip oleh KH Husein Muhammad dalam buku ini, para mufasir di antaranya Mujahid, Sai’id Bin Jubair, dan Sufyan bin Husein mengatakan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah, “Janganlah kamu mencampuradukkan harta mereka dan hartamu, lalu kamu memakannya.”
Karena pada saat itu para pengasuh anak yatim cenderung memperlakukannya secara tidak adil. Di samping itu, mereka juga ingin mengawini para anak yatim perempuan di bawah asuhannya dengan tanpa membayarkan mas kawin, atau membayarnya dengan kehendak mereka sendiri yang relatif tidak wajar. Dengan hal itu, maka Al-Qur’am membolehkan untuk mengawini perempuan selain anak yatim, dua, tiga, atau empat. (hlm. 27-28).
Karena itu dapat kita pahami bahwa maksud dari ayat tersebut bukanlah menganjurkan poligami. Ayat tersebut sebagai kritik untuk para pengasuh anak yatim yang cenderung berbuat zalim dalam pengasuhannya. Di samping itu juga mengkritik atas praktik poligami yang sudah mengakar pada masa sebelumnya, di mana para lelaki bebas mengawini berapapun perempuan untuk dijadikan istri.
Lain dari itu, Nabi sendiri menolak adanya poligami. Menurut KH Husein Muhammad, di saat Nabi mengetahui, bahwa putrinya Fathimah Ra ingin dimadu oleh suaminya yaitu Sayyidina Ali, Nabi tidak mengizinkannya kecuali Sayyidina Ali menceraikan putrinya. Lebih lanjut Nabi mengatakan, “Putriku adalah bagian dariku, maka keresahannya juga keresahanku, dan rasa sakitnya adalah rasa sakitku.” (hlm, 63-64).
Mitos Berlaku Adil
Kalaupun poligami terjadi, hal yang sangat penting ditegakkan yaitu keadilan. Sebab, prinsip yang paling inti dari ajaran Islam adalah keadilan. Pertanyaannya, dapatkah seseorang yang berpoligami berbuat adil?
Jika pada penggalan pertama yang terdapat pada ayat tersebut menekankan keadilan kepada anak yatim, maka penggalan yang kedua adalah sebuah penekanan berbuat adil terhadap para perempuan yang hendak dipoligami.
“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki.” Ini merupakan penggalan ayat yang menekankan seseorang yang ingin menikahi perempuan lebih dari satu untuk berbuat adil.
Pada lafaz wa in-khiftum yang berarti jika kamu khawatir, terlihat jelas di situ menggunakan kata kerja fi’il madhi yang bermakna sudah terjadi, bukan la takhofuu fiil mudhori’ yang berarti akan terjadi. Padahal kejadiannya belumlah terjadi. Hal demikian dalam perspektif balaghoh, ketika pekerjaan yang belum terjadi itu menggunakan fi’il madhi, maka ia berfaidah tahaquq al-wuqu’, yakni sesuatu itu benar-benar akan terjadi.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa keadilan yang akan ditegakkan dalam kehidupan poligami sangatlah sulit dan jauh untuk terealisasi. Hal tersebut selaras juga dengan apa yang terdapat dalam surat yang sama pada surat an-Nisa’ ayat 129 yang artinya:
“Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(-mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (An-Nisā’ [4]:3).
Atas sebab inilah Nabi sendiri berdoa kepada Allah agar memaafkannya, atas pernikahan poligami yang beliau laksanakan. Nabi berdoa:
“Ya Allah, ini (berbuat adil) adalah sesuatu yang sudah aku usahakan semaksimal aku mampu. Maka, janganlah Engkau siksa aku atas hal yang Engkau miliki, tetapi tidak aku miliki. (hlm, 37-39).
Jika keadilan dalam ruang lingkup poligami begitu sulit dan jauh untuk dapat direalisasikan, maka penggalan ayat terakhir dari ayat tersebut merupakan keputusan yang ideal, yaitu hanya menikahi satu perempuan. Dengan pernikahan monogami ini tujuan dari pernikahan itu sendiri, yakni sakinah, mawaddah, dan rahmah dapat terwujud dengan sendirinya.
Terlepas dari pendapat yang mengapresiasi poligami, setidaknya tulisan ini dapat menjadikan mereka yang hendak berpoligami untuk berintrospeksi atas keadilan yang hendak ia tegakkan di dalam ruang poligami. Sekian, wallahu a’lam bishowab.
Data Buku:
Judul: Poligami, sebuah Kajian Kritis Kontemporer Seorang Kiai.
Penulis: KH Husein Muhammad
Editor: Muhammad Ali Fakih
Penerbit: IRCiSoD
Cetakan Pertama: November 2020
Halaman: 126