Membaca Ulang Perjuangan Santri: KH Saifuddin Zuhri

204 views

Aku lahir di Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah, 1 Oktober 1919, diberi nama Saifuddin Zuhri oleh kedua orang tuaku. Ayahku memiliki dua ekor kuda untuk menarik delman guna mengantarkan orang atau barang ke tempat tujuan. Ibuku memiliki keahlian membatik tulis yang sering menerima pesanan dari tetangga atau kenalan-kenalannya. Kata ibuku: “Orang bodoh paling sengsara hidupnya.”

Di sebelah rumahku, ada warung Abdulbasir, tukang gunting rambut. Majalah politik Mustika asuhan HOS Tjokroaminoto, Fikiran Rakyat dari Bandung asuhan Ir Soekarno dan Gatot Mangkupradja, terdapat di sana. Pada 1929-an, yang akan menyentuh majalah itu akan tengok kanan kiri: “Ada polisi lewat atau tidak?” Aku, setelah selesai memberi makan kuda dan membersihkan kandangnya, sering menyelinap di sini, mendengarkan orang-orang mengobrol. Ustadz Mursyid, yang kelak menjadi guruku di Madrasah al-Huda, sering dijadikan topik pembicaraan grup ngobrol Abdulbasir.

Advertisements

Pada 1928-an, di Sukaraja diadakan pengajian khusus untuk para kiai. KH Akhmad Syatibi dibebani untuk membaca: tafsir al-Baidlawi, al-Bukhari, dan al-Hikam. Kadang-kadang beliau menjumpai kemusykilan tentang isi kitab yang sedang dibacanya. Tertegun sejenak, pandangannya ditaburkan kepada empat orang kiai pendampingnya: Kiai Raden Iskandar, Kiai Akhmad Bunyamin, Kiai Zuhdi, dan Kiai Mursyid alias Ustadz Mursyid alias Mas Mursyid. Tapi pandangan pertama tak jarang ditujukan kepada Ustadz Mursyid sambil menanyakan: “Bagaimana yang ini, kiai? Atau bukan begitu, kiai?” Yang ditanya tegas saja jawabannya: “Inggih leres mekaten.” (Memang benar demikian).

Pada 1929, aku diterima menjadi murid Madrasah al-Huda. Suatu hari, Ustadz Mursyid berkisah: “Nabi Sulaiman AS dipersilakan oleh Allah SWT memilih salah satu dari tiga perkara: ilmu, kerajaan, atau kekayaan harta benda. Nabi Sulaiman memilih ilmu pengetahuan.” Kepadaku diajarkan bahwa soko guru unsur kehidupan tegaknya suatu negara ada empat perkara: ilmunya alim ulama, adilnya penguasa, kedermawanannya orang-orang kaya, dan doa restunya orang-orang melarat.

Pesantren adalah subkultur dalam kehidupan masyarakat kita sebagai suatu bangsa. Pesantren tidak mudah menerima suatu perubahan yang datang dari luar karena memiliki benteng tradisi tersendiri. Tradisi kerakyatan dalam mengabdi kepada Allah SWT dan menyebar kebaikan di tengah masyarakat. Sekitar 1930-an, pengaruh gerakan nasional ditandai oleh kampanye serta aktivitas Partai Indonesia dan Pendidikan Nasional Indonesia sampai ke pesantren. Ir Soekarno, Drs M Hatta, Mr Sartono, atau Gatot Mangkupraja sangat terkenal. Santri-santri sering mendiskusikan imperialisme-kapitalisme, nonkooperasi, selfhelp, di samping fail naibul fail, anwauz zakat atau mad wajib muttashil dari kajian pesantren.

Umurku 14 tahun, saat diajak Raden Haji Mukhtar mengikuti rapat Nahdlatul Ulama di Mandiraja, dekat Banjarnegara. Pak Mukhtar adalah konsul NU yang mengkoordinir 13 cabang di Karesidenan Banyumas, Kedu, dan Yogya. Pada 1937, aku direstui ayah dan ibu untuk belajar ke Solo. Aku diterima di Madrasah al-Islam Solo di kelas yang tertinggi, kelas IV. Dengan membawa ijasah tanda lulus dan tamat belajar, aku pulang ke kampung halaman. Kunci-kunci yang kuperlukan sudah kuperoleh. Hanya orang pandai yang mengetahui kunci rahasia hidup, kunci kebahagiaan hidup. Tetapi pintar saja tidak menjamin seseorang mencapai kebahagiaan hidup. Faktor akhlak sangatlah penting. Faktor lain, yaitu keberuntungan nasib. Faktor ini hanya berada dalam kekuasaan Allah SWT. Sebab itu, orang mestilah mendekatkan diri kepada Allah untuk memperoleh keridhaan, taufik, dan hidayah-Nya.

Di Sukaraja, dengan restu Ustadz Mursyid dan Pak Mukhtar, aku mendirikan sekolah Islamitisch Westerse School (IWS) dalam lingkungan Nahdlatul Ulama. Aku adalah pembantu tetap majalah Berita Nahdlatul Ulama dan Suara Ansor, keduanya dari Surabaya. Kemudian, aku dipilih sebagai Komisaris Daerah Pemuda Ansor Jawa Tengah Selatan, mewilayahi Karesidenan Banyumas, Kedu, dan Yogya.

Pada 1939, aku menerima surat dari KH A Wahid Hasyim, putra ulama besar yang harum namanya Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang. Putra Tebuireng ini, pada usia 25 tahun, dipilih sebagai Ketua Dewan Majlis Islam A’la Indonesia, badan federasi pucuk-pucuk pimpinan partai politik dan organisasi Islam seluruh Indonesia. Kemudian, di Pesantren Tebuireng, diantar oleh Kiai Wahid, aku menghadap Hadratus Syaikh. Aku terpukau oleh sinar wajahnya yang bercahaya, memancar dari wajah orang yang sangat berwibawa. Ketika Kiai Hasyim membaca kitab al-Bukhari, biasanya ditamatkan selama bulan Ramadhan, berduyun-duyun kiai-kiai dan santri-santri dari luar daerah untuk mondok di Tebuireng, hendak mendengarkan Hadratus Syaikh membaca kitab tersebut. Mereka mengatakan bahwa: “Hadratus Syaikh sebenarnya hafal seluruh isi kitab yang terkenal ini, seolah-olah sedang membaca kitab karangannya sendiri.”

Pada 9 Maret 1942, pimpinan angkatan perang Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyerah dan ditawan Jepang. Pertengahan 1942, aku dipanggil oleh KH A Wahid Hasyim agar menemuinya di Hotel Des Indies Jakarta. “Di Jawa dan Madura, di tiap-tiap karesidenan akan dibentuk kantor urusan agama, “Shumuka”. Santri-santri lulusan Tebuireng banyak tersebar di mana-mana, memudahkan usaha kita membentuk kantor-kantor urusan agama daerah. Prinsipnya, kita membantu kita sendiri melalui kesempatan yang mereka berikan. Beliau memberi tugas kepadaku untuk meratakan pandangan di kalangan para ulama dan dunia pesantren tentang tahap perjuangan menghadapi Jepang sebagai penjajah baru. Kiai Wahid bersahabat dengan Mr M Yamin, yang kenal baik dengan Mr Iwa Kusumasumantri dan Mr Subarjo yang dekat dengan AL Jepang. Yamin juga dekat dengan Soekarno-Hatta yang sedang didekati olah AD Jepang. Diusulkannya kepada Jepang, lewat Abdulhamid Ono, agar untuk pemuda-pemuda santri dibentuk tentara Hizbullah yang bertugas membela dan mempertahankan tanah air Indonesia. Seperti halnya PETA.

Awal 1944, sudah empat bulan Hizbullah terbentuk di seluruh Jawa dan Madura, juga di sebagian Sumatera dan Kalimantan. Markas tertinggi Hizbullah di Jakarta, Zainul Arifin sebagai panglimanya. Di Jombang, di bawah pimpinan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dan KH A Wahab Chasbullah diselenggarakan riyadhah rohani di kalangan para ulama untuk meningkatkan semangat pembelaan tanah air juga mengamalkan beberapa wirid: Hizbur Rifai, Hizbul Bahr, Hizbun Nawawi, dan lain-lain. Embrio “Barisan Sabilillah” disiapkan kelahirannya.

Bangsa Indonesia telah matang berpikir bahwa Jepang akan dikalahkan. Sebelum Jepang menjadi taklukan sekutu, kita siap merdeka. Detik-detik kekosongan kekuasaan, Jepang menyerah dan sekutu belum tiba di Indonesia. Inilah saat paling tepat memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945 bertepatan 17 Ramadhan 1365 H. Di dada mereka tersemat lencana merah putih, saat berpapasan satu dengan yang lain meneriakkan pekik “Merdeka” dengan mengepalkan tinjunya ke udara. Pesantren telah berubah menjadi markas Hizbullah. Pengajian telah berubah menjadi latihan menggunakan senjata. Di mana-mana berdiri Barisan Sabilillah, yang dipimpin KH Masykur. Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia dipimpin Bung Tomo. Barisan Banteng dipimpin Dr Muwardi. Laskar Rakyat dipimpin Ir Sakirman. Laskar Pesindo dipimpin Krissubanu.

Di Parakan Wonosobo, berdiam seorang ulama, Kiai Haji Subeki, berusia sekitar 90 tahun. Beliau  memberikan bekal doa kepada anak-anak Hizbullah dan Sabilillah Parakan. Sambil berbaris dengan bambu runcingnya, masing-masing diberkahi oleh Kiai Subeki dengan doanya: Bismi Allahi, Ya Hafidzu, Allahu Akbar. Dengan Nama Allah, Ya Tuhan Maha Pelindung, Allah Maha Besar. Anak-anak Hizbullah dan Sabilillah Parakan bergabung sesama rekannya dari seluruh daerah Kedu berangkat ke pertempuran, baik di Surabaya maupun Semarang dan Ambarawa. Panglima Besar Jenderal Sudirman dengan anak buahnya pun singgah ke Parakan untuk meminta berkah doa Kiai Subeki sebelum menuju ke Ambarawa dan lain-lain pertempuran. Aku pernah mendampingi KH A Wahid Hasyim, KH Masykur, dan Zainul Arifin menemui Kiai Subeki di rumahnya.

Saat pecah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Kongres Umat Islam Indonesia di Yogya melahirkan Partai Masyumi. Ketua Majelis Syuro dipercayakan kepada Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, dan KH A Wahab Chasbullah sebagai wakilnya. Hizbullah dan Sabilillah tetap dalam kepemimpinan Zainul Arifin dan KH Masykur, komando politik dipegang KH A Wahid Hasyim selaku Ketua Dewan Pertahanan Masyumi. Aku, selaku komandan Hizbullah dan Sabilillah daerah Kedu, juga menjalin komunikasi koordinasi dengan M Sarbini dan A Yani selaku komandan TKR Magelang.

Umat Islam melakukan gerakan batin: membaca Qunut Nazilah dalam tiap-tiap salat, di samping kesiagaan kekuatan militer. Sejak Januari 1946, ibu kota RI dipindahkan dari Jakarta ke Yogya. Jakarta telah dikuasai sekutu dan NICA. Perjanjian Linggarjati dilakukan oleh kabinet Syahrir, mengakibatkan daerah kekuasaan RI tinggal Jawa dan Sumatera. Pada 21 Juli 1947, Belanda melakukan serangan tiba-tiba terhadap daerah RI. Dalam serangan ini, kota perjuangan pusat markas tertinggi Hizbullah – Sabilillah Malang jatuh. Daerah RI makin menciut tinggal selebar godong kelor meliputi: garis Mojokerto di sebelah timur dan Gombong (Kebumen) di sebelah barat dengan Yogya sebagai pusatnya. Pada 17 Januari 1948, Perjanjian Renville ditandatangani oleh kabinet Amir Syarifuddin. TNI, yang berada di daerah-daerah dikuasai Belanda, harus ditarik ke daerah RI. Maka Divisi Siliwangi harus hijrah ke Yogya.

“Kita harus tentang kebijaksanaan Amir Syarifuddin yang sedang menyiapkan kekuatan komunis dalam republik kita. Hentikan perundingan. Mobilisasi kekuatan untuk bertempur. Kalau seluruh daerah Indonesia berkobar pertempuran, Belanda akan gulung tikar. Semua kaum militer kita berpikir demikian,” kata KH A Wahid Hasyim. Yogya, pertengahan 1948, menjadi kancah pertarungan politik. Kaum republik mengarahkan perlawanannya kepada Belanda dan kaki tangannya, juga kepada aksi-aksi Front Demokratik Rakyat/PKI yang dipimpin Amir Syarifuddin dan Alimin. Golongan Islam dan Nasionalis memandang bahwa FDR/PKI, melalui kerja samanya dengan partai komunis Belanda, adalah agen Belanda. Mereka membela persetujuan Linggarjati dan Renville yang menguntungkan Belanda. Pertengahan 1948, kabinet Amir Syarifuddin jatuh karena perlawanan Masyumi, PNI, dan badan-badan kelaskaran yang sejak semula menentang persetujuan Linggarjati dan Renville. Wakil Presiden Hatta membentuk kabinet baru. “Kita harus ikut duduk dalam kabinet Hatta ini untuk melenyapkan munkarat. Kalau kita cuma berdiri di luar kabinet, kita cuma bisa teriak-teriak tok,” pendapat KH A Wahab Chasbullah. Pada 18 September 1948, FDR/PKI Muso mengadakan pemberontakan terhadap kekuasaan RI di Madiun. “Saudara-saudara boleh pilih, ikut Soekarno atau Muso!” demikian antara lain pidato Bung Karno, Presiden RI.

Suatu hari, aku diajak KH A Wahid Hasyim menengok Pak Dirman yang sedang sakit berat. “Mas Wahid, Mas baik sekali kalau datang lagi kepada Bung Karno, menjelaskan situasi yang sebenarnya dewasa ini. Kemarin dulu saya katakan kepada beliau tentang persoalan kita dengan Belanda. Janganlah pemerintah meremehkan kemungkinan Belanda melakukan serbuan ke Yogya. Saya seorang militer, saya menghargai pandangan politik pemerintah, pandangan secara militer juga hendaknya dipertimbangkan.” Pada 19 Desember 1948, Belanda menyerbu Yogya. Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, H Agus Salim, dan lain-lain pemimpin RI telah ditawan Belanda dan diasingkan di Pulau Bangka. Pimpinan pemerintahan darurat dipercayakan kepada Mr Syafruddin Prawiranegara yang ada di Sumatera. Pimpinan perjuangan bersenjata dipegang Pak Dirman. Panglima Besar Sudirman memimpin perang gerilya, perang semesta di seluruh Indonesia.

Malam, 9 Januari 1949, aku menyelenggarakan pertemuan dengan 85 ulama di suatu tempat di kaki Gunung Sumbing. Mereka bertekad bulat mengadakan gerakan rohani: bersama-sama umat Islam puasa sunat tiap tanggal 13, 14, dan 15 bulan Islam; salat hajat dan amal saleh; hidup prihatin dalam suasana jihad; membantu pemerintah militer setempat dalam aksi perang gerilya.

Perlawanan kaum republik, dengan taktik perang gerilya, semakin hebat terhadap aksi militer Belanda. Mei 1949, Jenderal Spoor, panglima tentara Belanda, tewas dalam kecelakaan pesawat terbang. Kaum republik menyatakan bahwa kecelakaan itu karena pesawatnya ditembak kaum gerilya. Kegiatan diplomasi di Dewan Keamanan PBB menghasilkan keputusan agar Belanda meninggalkan seluruh daerah RI. Yang sudah pasti adalah karena pertolongan Allah SWT. Menjelang Agustus 1949, Yogya dalam suasana bersyukur. Soekarno-Hatta dan lain-lain pemimpin republik telah berada kembali di ibu kota. Orang terakhir yang memasuki ibu kota adalah Pak Dirman. Panglima Besar Sudirman memasuki ibu kota dengan diusung di atas tandu dan dalam pakaian gerilya dengan ikat kepala berwarna wulung, hitam pekat. Perayaan 17 Agustus 1949 diliputi suasana kegembiraan dan keharuan. Pada 23 Agustus 1949, Bung Hatta memasuki ruangan Ridderzaal Den Haag negeri Belanda untuk menghadiri KMB dengan Belanda. Kemudian pada Hari Angkatan Perang 5 Oktober 1949, segenap pasukan gerilya berparade di hadapan Panglima Besar Sudirman. Betapa seorang santri menjadi Panglima Besar dari suatu negeri yang habis dikoyak-koyak musuh, masih tegak berdiri lebih sentausa dari sedia kala. Dari pesantren mereka kembali ke pesantrennya masing-masing dengan satu harapan, semoga amalnya diterima Allah sebagai amal saleh.

Menjelang pemilu 1955, PKI membuat gara-gara: tanda gambar palu-arit dengan kalimat “PKI dan orang tak berpartai”. Partai Nahdlatul Ulama protes keras. Karena protes ini, pemerintah mengadakan pertemuan segi empat: Menteri Dalam Negeri, Panitia Pemilihan Indonesia, NU, dan PKI (Aidit). Kiai Idham Chalid mewakili NU dalam perundingan itu. Pokoknya, NU meminta keras kepada pemerintah agar kata-kata “PKI dan orang tak berpartai” dilenyapkan. Mendagri memerintahkan PKI harus menghapus kalimat tersebut.

***

Melalui buku Guruku Orang-orang dari Pesantren, tergambar bagaimana KH Saifuddin Zuhri, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, KH A Wahab Chasbullah, KH A Wahid Hasyim, dan segenap para kiai dan santri-santri serta komponen-komponen bangsa Indonesia telah menjadi pelaku sekaligus saksi sejarah kehidupan bangsa Indonesia dalam tiga zaman: masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan masa kemerdekaan Republik Indonesia. Pengabdian dan perjuangan para kiai dan santri-santri dalam mengabdi kepada Allah SWT dan berkhidmat terhadap bangsa Indonesia merupakan juga suatu pendakian spiritual untuk mencapai dan meraih maqom mulia Insan Kamil, manusia sempurna, bila ia luput dari derajat kewalian atau kenabian.

Kiranya pengabdian dan perjuangan mereka, khususnya para kiai dan santri, bisa menjadi pelajaran dan suri tauladan bagi kita semua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang kita cintai ini. Zaman beredar, perubahan terjadi, berakibat positif dan negatif. Yang senantiasa tetap adalah kontestasi kebaikan dengan kejahatan, sejak masa Nabi Adam AS hingga masa Nabi Muhammad SAW, sampai dengan masa kini.

Dalam konteks kontemporer, demi melindungi dan memajukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), santri harus mampu memperbarui siasat guna menghadapi modernitas kapitalisme global?

Rumah Merah Kukusan, 09052020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan