Membongkar Fenomena Hijrah di Era Media Sosial

1,605 kali dibaca

Fenomena hijrah di kalangan umat muslim dalam beberapa tahun terakhir sering diidentikkan dengan perubahan gaya berpakaian. Banyak yang mengaitkan hijrah dengan busana syar’i, seperti pemakaian hijab panjang, gamis, dan celana cingkrang bagi pria.

Bagi sebagian orang, perubahan dalam cara berpakaian ini menjadi tanda komitmen hijrah yang baru. Namun, terkadang muncul kritik karena hijrah seolah dipersempit maknanya, hanya menjadi perubahan penampilan luar yang sesuai tren tertentu, tanpa diiringi dengan perubahan diri dengan mendalami nilai-nilai spiritual yang lebih mendalam.

Advertisements

Hijrah dalam Islam sejatinya adalah proses meninggalkan kebiasaan buruk dan mendekatkan diri kepada Allah Swt melalui perubahan dalam niat, perilaku, serta peningkatan kualitas ibadah dan akhlak. Ketika seseorang hijrah diidentikan dengan perubahan penampilan, ada risiko makna hijrah bergeser menjadi sekadar gaya hidup baru.

Fenomena ini menyebabkan hijrah terlihat seperti sebuah tren sosial yang berkembang pesat, apalagi dengan dukungan media sosial yang menyoroti aspek visual dari transformasi ini.

Banyak yang hanya sekadar ikut-ikutan berhijrah dengan mengubah penampilan sesuai standar gaya populer, tanpa memahami esensi hijrah sebagai perjalanan spiritual.Bahkan, perusahaan fasyen muslim berkembang begitu pesat, menawarkan beragam pilihan busana dengan label syar’i atau hijrah.

Di satu sisi, ini bisa membantu mereka yang baru berhijrah untuk lebih mudah mengadopsi busana sesuai nilai-nilai Islam. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa hijrah menjadi sekadar komoditas atau tren konsumtif yang tidak selalu mencerminkan peningkatan kualitas keimanan.

Di media sosial, kita sering melihat seseorang yang memutuskan berhijrah, terutama para figur publik atau selebriti, menampilkan proses transformasi mereka. Mereka memperlihatkan perubahan penampilan dengan busana syar’i, sehingga hijrah terlihat lebih pada aspek visual atau gaya hidup baru. Perubahan ini sebenarnya wajar, karena sebagai makhluk sosial, kita cenderung mengekspresikan identitas baru kita melalui simbol yang mudah dikenali, salah satunya melalui gaya berpakaian.

Contoh konkretnya adalah tren penggunaan hijab panjang dan gamis syar’i di Indonesia, yang kerap kali dimulai dari para selebriti yang berhijrah dan kemudian mempengaruhi penggemarnya untuk mengenakan busana serupa.

Misalnya, beberapa artis atau influencer yang dulunya berpenampilan modern mulai mengenakan pakaian tertutup dan mempromosikan gaya hidup Islami di akun media sosial mereka. Ini bisa menjadi pengaruh positif, karena mungkin saja mendorong banyak wanita muslimah lainnya untuk lebih tertarik mendalami agama.

Namun, di sisi lain, ini juga dapat memunculkan anggapan bahwa hijrah adalah soal penampilan, sehingga tujuan utama hijrah yang seharusnya sebagai proses peningkatan iman dan ibadah dapat terlupakan.

Fenomena hijrah yang lebih fokus pada aspek fasyen dapat mengaburkan esensi hijrah yang sebenarnya. Dengan menitikberatkan hijrah pada perubahan penampilan, ada risiko bahwa hijrah dilihat hanya sebagai gaya hidup baru tanpa pemahaman agama yang mendalam.

Fenomena ini menciptakan kesan bahwa seseorang sudah berhijrah hanya dengan mengubah penampilan tanpa menginternalisasi perubahan akhlak, niat, dan perilaku yang seharusnya menyertai proses tersebut.

Contoh nyata dari pergeseran ini adalah adanya komunitas hijrah yang terkadang memiliki standar khusus tentang penampilan. Beberapa orang menganggap bahwa mereka yang belum mengenakan hijab panjang atau tidak mengikuti gaya berpakaian tertentu belum benar-benar berhijrah. Padahal, Islam mengajarkan bahwa hijrah bukan hanya soal tampilan luar, melainkan tentang transformasi hati dan komitmen terhadap nilai-nilai kebaikan.

Fokus yang berlebihan pada aspek luar ini juga bisa memicu timbulnya rasa sombong atau eksklusivitas di kalangan mereka yang menganggap diri lebih hijrah dibanding dengan orang lain.

Sampai saat ini, yang masih menjadi pertanyaan kritis adalah apakah hijrah cukup dengan mengubah penampilan? Kemudian di mana letak keseimbangan antara perubahan luar (fasyen) dan perubahan dalam (keimanan)? Bagaimana supaya hijrah tidak hanya dipandang sebagai sebuah kemasan, tetapi juga mencakup kedalaman iman dan akhlak?

Dalam hal ini, hijrah sebaiknya tidak hanya berhenti pada penampilan, tetapi menjadi proses jangka panjang yang mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk akhlak, hubungan sosial, dan komitmen spiritual yang mendalam.

Untuk kembali pada makna hijrah yang esensial, penting bagi umat Muslim untuk memahami bahwa hijrah adalah proses jangka panjang dan berkesinambungan. Hijrah seharusnya tidak hanya berhenti pada perubahan fisik atau penampilan, tetapi juga mencakup aspek internal seperti kedekatan dengan Allah, peningkatan kualitas ibadah, serta upaya menjadi pribadi yang lebih baik dalam hubungan sosial.

Seseorang yang berhijrah sebaiknya fokus untuk memperbaiki perilaku dalam kesehariannya, misalnya dengan berusaha menahan amarah, meningkatkan empati, dan memperbaiki komunikasi dengan keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Mengikuti kajian agama, membaca Al-Qur’an dengan konsisten, atau memperbaiki kualitas salat adalah beberapa langkah nyata yang menunjukkan transformasi spiritual yang sesungguhnya, dan hal ini jauh lebih berkesan dibanding sekadar perubahan gaya berbusana.

Hijrah tidak harus sempurna dan tidak perlu dilakukan dalam satu langkah besar. Ini adalah proses menuju kebaikan yang dilandasi niat untuk meraih ridha dan rahmat Allah, bukan untuk dinilai atau diakui orang lain. Bagi seseorang yang baru memulai hijrah, tidak masalah jika perubahan yang dilakukan adalah langkah kecil, selama itu konsisten dan berkelanjutan. Ini dapat mencakup hal-hal sederhana, seperti mulai membiasakan diri dengan ucapan yang baik, menghormati orang tua, atau mulai bersedekah sedikit demi sedikit.

Hijrah yang sejati juga melibatkan kesediaan untuk tidak menghakimi orang lain yang belum atau mungkin memilih cara hijrah yang berbeda. Sebagai contoh, dengan tidak melihat rendah mereka yang belum berubah dalam penampilan atau gaya hidup. Sebab, hijrah adalah urusan hati yang prosesnya berbeda-beda bagi setiap individu.

Maka dari itu, bisa ditarik kesimpulan bahwa hijrah merupakan perjalanan spiritual yang idealnya membawa seseorang lebih dekat dengan Allah dan membentuk pribadi yang lebih baik. Meskipun, aspek penampilan bisa menjadi bagian dari proses hijrah, itu bukanlah esensinya.

Karena itu, hijrah sebaiknya dilihat sebagai upaya yang lebih luas, mencakup komitmen untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna secara spiritual. Jika dipahami dengan benar, hijrah dapat menjadi proses yang mendalam dan penuh makna, lebih dari sekadar tren atau perubahan gaya busana yang hanya mempengaruhi penampilan luar tanpa menyentuh esensi yang sesungguhnya.

Multi-Page

One Reply to “Membongkar Fenomena Hijrah di Era Media Sosial”

  1. Saya setuju bahwa hijrah bukan semata tampilan luar atau gaya pakaian syar’i. Namun, bukan hal yang jelek jika seseorang memulai hijrah dengan pakaian Islami. Senyampang tidak semata-mata tampilan luar, bahkan seyogyanya diikuti oleh komitmen hati untuk terus mendekatkan diri kepada Allah SWT.

    Intinya, catatan ini cukup menjadi inspirasi bagi kita agar pemahaman hijrah tidak dipersempit dengan batasan tampilan an sich. Karena perubahan buruk menjadi baik memiliki area kreatifitas yang cukup luas. Mantap!!!!!

Tinggalkan Balasan