Merelasikan posisi antara kebudayaan lokal dan agama (Islam) seringkali menghadirkan kondisi dilema. Haruskah menerima kedua atau menolak salah satunya?
Dalam Islam, yang menjadi sumber primer ajaran adalah wahtu yang diturunkan kepada Nabi. Namun, setelah wafatnya Nabi, wahyu tidak lagi turun. Padahal, kebudayaan terus berkembang sesuai dengan kebutuhannya. Sebab, kebudayaan merupakan buah hasil dari kreasi manusia (Koentjoroningrat, 2009).
Karena itu, mau tidak mau kebudayaan akan selalu dibuat berhadapan dengan agama (Islam). Tentu saja ketegangan antara kebudayaan dengan agama (Islam) harus kita jembatani untuk dicarikan jalan tengahnya.
Kebudayaan merupakan hasil dari akal dan budi masyarakat dalam merespons tantangan untuk mencapai kebutuhan hidupnya. Hal tersebut meliputi pengetahuan, kesenian, dan kepercayaan masyarakat yang menjadi tolok ukur yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja (Basori,2017).
Karena itu, dalam bukunya, A Helmy Faishal Zaini (2022) menegaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan cara dakwah yang halus dan selalu mengedepankan kompromi dengan kebudayaan lokal. Islam justru datang tidak mengotopsi sebuah kebudayaan yang sudah membumi di tanah Nusantara ini.
Sebagai contoh, tradisi nyadranan atau ruwahan. Dalam tradisi tersebut, masyarakat Jawa berbondong-bondong menuju ke pemakaman pada bulan Sya’ban untuk mengirim doa kepada saudara atau kerabat yang sudah wafat. Merespons fonemena ini, para penyebar Islam di Jawa merespons dengan cara yang elok, yakni dengan menyisipkan ajaran-ajarn Islam di dalamnya.
Sebagian kalangan Muslim seringkali menyalahkan dan mengolok-olok tradisi ini. Bahkan tidak jarang mereka menganggapnya sebagai perbuatan musyrik, bid’ah dholalah (sesat), dengan argumen singkatnya, yaitu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Padahal hal itu sudah diislamkan oleh para tokoh penyebar Islam di Nusantara.
Dalam tradisi nyadran sendiri yang di dalamnya terdapat mantra-mantra dan sesaji sebagai suguhan untuk para leluhur, sudah digantikan dengan bacaan Qur’an, zikir, tahlil, dan makan bersama yang tidak lain dengan tujuan untuk mempererat tali persaudaraan.
Hal ini jika terus dibiarkan akan berakibat fatal terutama dalam paham masyarakat tentang Islam. Sehingga masyarakat memiliki asumsi bahwa Islam yang dibawa Nabi begitu kurang relevan dan kurang rahmatan lil-alamiin. Karena kontradiksi antara kebudayaan dan Islam yang dipandang secara sepotong, dan menganggap Islam yang berada di Indonesia ini adalah Islam yang tidak lagi murni.
Dalam kasus ini, fikih dapat dijadikan jembatan untuk melerai perdebatan yang terjadi baik secara akdemis atau debat tongkrongan.
Dengan sejumlah kaidah dan ushul fikih, di antaranya yang sangat familiar, yaitu al-‘adatu muhakkamah (adat kebiasaan bisa dijadikan hukum). Namun, para ulama juga memberikan standar, bahwa yang dirujuk adalah kebiasaan tertentu, yakni kebiasaan yang membawa manfaat atau kebaikan bagi masyarakat. Hal ini biasa dikenal dengan istilah urf. Urf dengan derivasi lafazhnya sama dengan ma’ruf (sesuatu yang dianggap bagus) (Asni, 2017).
Urf juga merupakan dasar metodologi ulama dalam mengeluarkan hukum. Sehingga para ulama dalam mengeluarkan suatu hukum selalu melihat dari kebiasaan yang terjadi di sekitarnya.
Berdasarkan kajian ulama, urf dikategorisasi ada yang batil (tidak sesuai dengan prinsip Islam) dan sahih (sesuai dengan prinsip Islam). Tentu yang dapat dijadikan standar acuan adalah urf yang sahih. Dari sini dapat dimengerti bahwa hukum fikih tidak selalu mutlak dan digeneralisasikan. Fakta tersebut dapat kita pakai dalam konteks indonesia ini (Asni, 2017).
Kita lihat dalam tradisi nyadran atau ruwahan masyarakat saling bahu membahu menuju pemakaman untuk melaksanakan tradisi yang sudah melekat dalam jiwa masyarakat. Dalam sejarahnya, ruwahan atau nyadran merupakan tradisi warisan Hindu yang di dalamnya dipenuhi ritual-ritual ke-hindu-an, seperti membaca mantra-mantra serta membawa makanan sebagai sesaji untuk para leluhur yang mereka yakini memiliki keramat.
Dalam penyebaran Islam, dalam berdakwah, Walisongo tidak begitu saja memotong bahkan menghilangkan tradisi semacam itu. Tradisi yang sudah lestari selama berabad-abad secara turun temurun, oleh Walisongo dipadukan dengan budaya Islam. Walisongo menyisipkan ajaran Islam yang mereka bawa, sehingga islam datang diterima secara arif oleh masyarakat yang kebudayaanbya bercorak Hindu-Budha.
Dalam dakwahnya, Walisongo tidak memisahkan ajaran Islam dalam kebudayaan masyarakat yang sudah melekat secara emosional. Namun, di saat yang sama nilai ajaran Islam tetap bisa tersampaikan.
Di sinilah peran dakwah Islam yang harus kita lestarikan, yaitu membantu mencarikan jalan tengah, dan tidak memangkas bersih kebudayaan yang sudah mengakar di masyarakat. Model dakwah dan ajaran yang seperti ini sangat penting sekali untuk dilestarikan demi menjaga keutuhan dan kesatuan yang utuh dalam bermasyarakat.
Tidak kalah penting juga peran fikih terhadap kebudayaan untuk meresponnya secara solutif dan adaptif. Dengan demikian, fikih dapat menjawab pertanyaan yang acap kali bersliweran di kepala kaum awam yang menghadapi dilema antara meninggalkan dan melestarikan kebudayaan lokal.
Demikianlah salah satu jalan tengah untuk melerai ketegangan antara kebudayaan dan Islam. Akhir kata mengutip kata dari seorang kiai yang dikenal masyhur dengan sebutan bapak pluralisme, yaitu Gus Dur:
“Ketegangan yang selalu terjadi itu bukan sesuatu yang harus ditangisi dan disesali, karena justru dapat memberikan peluang-peluang bagi kita untuk selalu berusaha menjembataninya.”
Penjelasan Gus Dur tersebut dapat dijadikan inspirasi dan motivasi bagi kita untuk selalu belajar dan selalu menghargai perbedaan serta ketegangan di dalam kebudayaan masyarakat yang bersifat plural.
Wallahu a’lam bisshowab.