“Menyebalkan! Setiap hari harus ikut paman menambang emas. Sudah seperti semut saja, tetapi bukan membawa masuk remah-remah ke dalam lobang, tetapi sebaliknya! Sialan betul hidupku,” keluh Hasan.
Sore itu didengarnya pintu kamarnya diketuk dan dipanggil keras-keras oleh Wirya, “Bangun, San. Hasan! Bangun! Ayo berangkat, Mang Arya sudah siap di depan.”
“Iya, iya. Tunggu sebentar,” kata Hasan mulai tak nyaman. Sambil bangkit dari tempat tidur, napasnya sesak. Dibayangkannya lagi ia seperti semut masuk lubang gelap, membawa senter di keningnya, sambil sesekali cemas, kalau-kalau ia tidak bisa lagi naik dan melihat langit malam dengan bintang-bintangnya yang gemerlap.
Ini adalah hari kelima ia ikut pamannya menambang emas di lokasi yang baru. Sebelumnya ia memang pernah diajak menambang emas ke tempat yang berbeda-beda, tetapi ia tidak pernah masuk ke dalam lubang. Ia hanya menunggu di atas untuk menaikkan material tanah dengan timba. Tapi kali ini ia harus masuk lubang, dan itu membuatnya trauma dan ingin berhenti saja.
Sebelum menambang di sini, pamannya mengajaknya menambang di sungai. Itu lebih menyenangkan karena sungai sedang surut-surutnya, dan ia bisa menyempatkan waktu menunggu sambil memancing ikan.
“Ayo cepet, San. Tidur lagi kamu?! Atau lagi ngelamun dapat emas segede kepala?” ucap Mang Arya sambil tertawa masuk ke ruang tamu rumah kontrakan, kemudian keluar lagi menuju halaman untuk memanaskan motor bebeknya.
“Hidup kok begini amat ya. Terlempar dari satu tempat ke tempat lain tanpa ada kepastian. Kenapa seluruh saudaraku tega membuatku begini sengsara. Mungkin ini sudah kehendak Tuhan. Aku hanya bisa pasrah menerima segala tiba,” gumam Hasan.
Ya, memang bulan lalu sebelum ia ditarik ke sini oleh pamannya, si paman mendapat emas cukup banyak. Itu bisa dikatakan bukan hanya balik modal, malahan untung. Bayangkan, jalur milik si paman yang menyewa dari pemilik tanah itu telah menghasilkan uang sehari dua puluh juta rupiah! Siapa tidak gila ingin ikut nambang emas agar segera kaya?
Tetangga Hasan sampai menawarkan diri untuk ikut karena sudah bosan kerja di pabrik, jadi mesin pencetak uang untuk si bos! Tetapi ketika produk kurang berjaya di pasar, tetangganya itu malah dipecat begitu saja! Sungguh malang!
“Hidup kok tanpa kepastian begini, seperti judi,” gumam Hasan lagi pada dirinya sendiri sebelum membuka pintu untuk segera berangkat.
“Cepetan, San, lama banget. Mikirin jodoh ya?”
“Iya, iya, Mang. Ini sudah gerak cepat, kok.”
“Gerak cepat kok kayak ulat begitu, cuma uget-uget di tempat.”
“Halah, Mang, ini sudah cepat, kok. Mang yang nggak sabaran mau dapat emas itu mah.”
Mang Arya hanya tertawa. Ia memang sudah menikah, anaknya dua. Yang satu sekolah, satu lagi masih kecil. Ia sedang semangat-semangatnya nyari duit biar anak bini bisa melanjutkan hidup. Kemarin karena paman jakpot, ia juga kebanjiran rezeki. Anak bininya bahagia sekali, bisa beli makan yang enak-enak. Beli baju, sepatu, alat-alat untuk mempercantik diri agar ketika Mang Arya pulang makin semangat buat nyari duitnya.
Begitu juga kehidupan keluarga pamannya. Paman Wirya pulang sehari langsung ngajak anak istri pergi ke mal, beli apa saja yang mereka mau. Anaknya yang sudah gede beli jaket dan jam tangan, katanya buat menggaet pacar. Adiknya beli sepatu sepak bola, katanya mau ikut kejuaraan tingkat kecamatan. Istrinya beli daster, lipstik, skincare, tas, katanya buat ketemu teman arisan. Keluarga mereka mendadak dihormati. Rumah lagi dibangun tingkat, motor baru sudah nangkring di halaman rumah, dan di samping rumah ada garansi mobil, walaupun belum ada mobilnya, tetapi sudah ada rencana bakal beli mobil. Paman Wirya bahagia sekali. Semangat tiap sore berangkat masuk lobang kayak semut hitam.
***
Di bukit itu banyak spot-spot penambang yang sudah dikapling-kapling dan disewakan. Memang di permukaan terlihat pagar-pagar kayu yang memisahkan lubang milik grup penambang mana, ada sekitar tujuh spot di sana. Satu lubang biasanya digarap oleh satu grup yang terdiri dari beberapa orang. Hasan kebetulan tergabung di grup pamannya, ada sekitar sembilan orang totalnya, ditambah satu orang yang siap memodali ketika para penambang itu kehabisan modal.
Mereka kebanyakan datang dari Jawa Barat, alias bukan orang lokal. Orang lokal hanya menyewakan lahan, sebab nyali mereka ciut. Mereka juga cuma petani biasa atau peternak, sebagian malah jadi perantau ke kota-kota besar. Banyak yang merantau ke kota besar karena tidak punya sawah atau memang karena tidak mau menggarap sawah. Akhirnya sawah dijual untuk merantau sampai luar negeri.
Pemilik lahan yang menyewakan lahan itu sudah kaya raya, rumahnya mentereng, punya mobil, bisa beli sawah baru di kaki bukit itu. Pokoknya sudah dihormati sama warga kampung. Tapi nasib para penambang tidak semujur nasib para pemilik tanah itu. Bayangkan, bahwa satu lubang yang telah dikapling di atasnya tidak menutup kemungkinan ketika sudah digali di dalamnya mereka melewati batas satu sama lain. Lubang itu tidak dibuat lurus ke bawah seperti sumur, tapi zigzag. Lubang juga tidak dibuat ukurannya sesempit sumur, tetapi di dalamnya menyerupai terminal. Andaikan ada empat atau lima gajah dimasukkan ke dalam ruang di dalam lubang itu masih cukup.
Di arena tambang-tambang itu sering terjadi perebutan dan pertengkaran hingga saling bunuh ketika batas-batas di bawah lubang itu sudah tidak sesuai dengan luas tanah yang disewa. Bahaya lain tentu saja ketika ada gempa atau tanah bergeser, maka lubang di bawah yang sudah menjalar ke mana-mana seperti terowongan tikus itu, bahkan ada yang sampai menjangkau ke pemukiman warga, akan mengancam rumah-rumah warga. Bisa saja tanah bagian atas itu ambles karena lubang-lubang yang telah begitu lebar menganga, menyebabkan tanah di permukaan tidak mampu menahan beban.
Yang paling tidak disukai Hasan adalah kegiatan grup penambang yang memiliki ritual ngombe ciu sebelum masuk ke dalam rongga-rongga itu menjadi serupa tikus yang ingin mencuri emas dari perut bumi. Katanya biar mereka tidak takut dan memiliki keberanian. Biar tidak merasa sesak dan khawatir. Menurut pendapat beberapa orang warga, kegiatan mereka itu dianggap sebagai kegiatan persekongkolan dengan setan agar mendapat bantuan jin supaya bisa menemukan emas.
Sebagai seorang penambang, Wirya telah belajar bagaimana mendekteksi emas. Ia telah belajar pada orang pintar atau dukun, tentang bagaimana emas itu bergerak dan juga keberadaannya di mana. Jadi ia percaya, bahwa hokinya itu disebabkan karena ia sudah ampuh mendeteksi gerak emas, yang katanya terus bergeser ketika kita memburunya. Ia sudah bisa menebak ke mana gesernya emas itu dari titik semula ia menemukannya.
Kabarnya ilmu semacam itu didapat guru spiritualnya daripada kisah tentang Qorun yang memiliki pengetahuan untuk membuat emas pada zaman nabi Musa, tetapi karena ia sombong, ia pun ditenggelamkan oleh bumi. Wirya ingin mengajarkan ilmu itu pada Hasan, tetapi urung sebab dianggapnya anak itu belum cukup mahir untuk masuk ke dalam lubang.
Di sore itulah para penambang berkumpul di spotnya masing-masing. Kebanyakan sudah menyediakan stok ciu untuk amunisi saat giliran memasuki lubang yang gelap itu. Hasan yang kurang suka minum pun harus ikut menegak ciu agar ia tidak merasa sesak dan takut.
Kemarin sepulang dari menambang, Hasan memang terlihat paling cemas. Matanya merah bukan karena ciu, tetapi karena perih kena debu dan capai sebab harus melek terus di tengah kepungan kegelapan. Ia sudah dinasihati agar minum ciu yang cukup biar perjalanannya di bawah tidak membuatnya seperti pengecut. Agar ketika menemukan emas dan kebetulan berpapasan dengan penambang lain yang masuk lahan untuk merebut emas itu, ia sudah siap berkelahi hidup atau mati.
Hasan sudah diajari aji untuk melawan para penambang emas yang ingin dapat emas secara instan. Tapi ia tidak mendengar nasihat itu. Ia turun ke bawah dalam keadaan masih sadar dan segar bugar. Itulah sebabnya ia trauma. Itulah sebabnya ia sesak. Itulah sebabnya ia cepat-cepat naik ke permukaan untuk istirahat. Di sisi lain, sebenarnya Hasan teringat nasihat guru ngajinya dulu, Mbah Dullah, bahwa minuman keras itu haram dan berbahaya bagi kesahatan. Tapi karena suatu keharusan dan ketidakenakannya, ia pun mengalah.
“San, minum ciunya yang banyak. Jangan turun dalam keadaan tidak mabuk. Nanti kamu kayak pengecut, kayak curut. Cuma bisa lari-larian kalau ketemu hewan atau lihat bayangan sendiri. Ayo tambah lagi segelas ciunya, aku tunggu kamu mabuk,” ucap Mang Arya mengulang omongannya semalam.
“Aku nggak kuat minum, Mang. Perut terasa mual,” jawab Hasan sedikit memelas agar tidak dipaksa minum ciu terlalu banyak.
“Aduh, gimana ini Akang Wirya, Hasan tidak kuat ciu. Anaknya Maryani ini memang terlalu lemah seperti ayahnya! Si Maryani juga khawatiran, takut kalau kenapa-kenapa, padahal jadi lelaki itu harus berani dan gagah. Ya nggak, Kang Wirya?!”
Hasan terlihat tersinggung karena Mang Arya bawa-bawa nama bapaknya yang sudah meninggal akibat sakit yang dideritanya, dan ibunya yang selalu perhatian kepadanya. “Sialan, Mang Arya ini, aku ini sebenarnya tidak suka kok ikut menambang, hanya karena ingin membantu ibu saja. Aku kasihan ibu harus berpikir menyekolahkan adikku, kenapa sekarang ibuku malah dihina orang ini, brengsek!” ucap Hasan dalam hatinya.
“Tak apalah, Akang Arya. Hasan itu sedang belajar, janganlah dipatahkan semangatnya. Ia adalah penerus kita. Jika ada apa-apa pada kita kelak, Hasan inilah yang akan membantu keluarga kita. Ia akan mewarisi ilmuku, sebab anakku tidak ingin jadi sepertiku. Aku sudah menganggap ia seperti anakku sendiri. Janganlah terlalu keras padanya, Akang.”
“Ah, ya, iya. Tetapi sebagai pewaris kan harus tangguh, Akang. Aku hanya ingin mengajarkan bagaimana tangguh seperti pendekar. Ya kan, San? Jangan tersinggung kalau aku bawa-bawa orang tuamu,” ucap Mang Arya yang mengendur emosinya.
Hasan diam saja. Ia hanya memandangi cahaya di kejauhan, sambil sesekali teringat pada ibu, bapak, dan Mbah Dullah.
Senjakala sudah tiba. Burung-burung bernyanyi pulang ke sarang. Suasana di atas lahan tambang itu remang-remang. Suara orang-orang yang sudah mabuk terdengar silir-silir. Hasan masih duduk menunggu isi gelasnya dihabiskan. Di depannya, Mang Arya masih mengawasi agar ia segera menenggak sampai tandas ciu itu. Paman Wirya masih mondar-mandir di atas lubang yang semakin kelam itu, bersama dengan temannya satu grup.
“Kita masuk sekarang!” suara komando dari Paman Wirya.
“Ok. Aku juga sudah naik ini. Darahku sudah panas, tanganku tidak sabar ingin menggenggam bongkahan emas,” ucap Mang Arya.
“San, ayo masuk lubang! Habiskan dulu gelas itu biar jadi pendekar! Dan temukan emas untuk hadiah dirimu sendiri sebagai pewaris takhta pamanmu!”
“Akang Arya, Hasan tidak masuk lubang malam ini. Aku ingin dia berjaga di atas bersama Parjan dan Sarpin. Soalnya malam ini banyak pendekar yang turun gunung. Apalagi mereka sudah mendengar kalau lubang kita ini hoki. Aku tidak mau Hasan kenapa-kenapa di dalam. Biarlah ia berjaga di atas, jadi kalau ada apa-apa ia bisa selamat dan mencari petolongan kalau ada apa-apa pada kita.”
“Tapi,” sanggah Mang Arya. Sebelum sempat diteruskan Wirya sudah melanjutkan perkataannya.
“Kau harus ikut kataku kali ini, Mang. Kita sudah diincar. Jangan dikira hoki itu tidak membawa iri dan dengki. Kamu tahu kan, di sini kehidupan bukan seperti pendekar lagi, tapi lebih tepat begundal jahanam. Di sini semua berdarah didih melebihi preman dan penjagal. Di sini pula sudah banyak orang jadi korban. Mati di perut bumi tanpa diketahui oleh banyak orang. Isu yang tersebar di sekitar warga itu bukanlah kabar angin, memang benar-benar terjadi, Mang Arya.”
***
Di malam itu, sehabis Hasan pulang membawa makanan yang dibelinya untuk semua anggota dari grup penambang pamannya, ia kaget. Parjan yang baru saja naik dari lubang kelam itu mengatakan bahwa saluran lubang telah tertutup, dan air merembes dari dinding-dindingnya.
“San, kita harus segera minta pertolongan. Lubang kita tertimbun guguran tanah dan dindingnya merembes air!”
Hasan yang mencangking tas kresek hitam yang tak kelihatan itu menjadi pucat dan diam. Tidak ada pikiran di kepalanya yang terlintas, kecuali trauma membayangkan betapa sesaknya di dalam, betapa takutnya terkunci di dalam. Ia seperti patung yang dipahat oleh kabar buruk itu. Diam dan beku.
Sarpin yang pendiam tampak sangat gelisah. Ia takut kalau-kalau nanti warga datang akan menimbulkan kegemparan, pasti akan muncul hal-hal yang tidak diinginkan. Ia juga takut kalau nanti ia dan teman-temannya dipersoalkan karena tambang ini tanpa izin alias liar.
“Pin, jangan mondar mandir begitu, dong. Tolong cari bantuan, jangan sampai teman-teman kita tidak bisa naik ke atas!”
“I … ya, i … ya,” sahut Sarpin ketakutan sekaligus kebingungan.
***
Bintang kelihatan kerlap-kerlip di langit. Hasan masih terduduk di dekat lubang. Air matanya menetes tak tertahan, tapi hatinya juga sedikit senang. Ia kasihan melihat Paman Wirya yang telah begitu baik kepadanya dan keluarganya ikut tertimbun longsoran tanah. Tapi ia merasa dendam sakit hatinya pada Mang Arya telah lunas, walaupun di sisi lain ia juga merasa kasihan pada nasib Mang Arya dan keluarganya. Ia kembali teringat ibu, bapak, dan Mbah Dullah.
“Andaikan bapak masih ada, tentu saja aku tak dibiarkan ikut kerja nambang dan turut menyaksikan kematian Paman,” gumam Hasan.
“Andaikan Mbah Dullah berumur panjang, mungkin saja ia akan meminta pada bapak dan ibuku agar aku mondok saja ke Babakan, Cirebon,” gumam Hasan lagi.
Sehabis Subuh itu, warga dan ketua RT sudah datang, ada yang terdengar menelepon polisi. Tidak lama kemudian polisi datang, juga beberapa penambang yang beristirahat mendekat berupaya melakukan penyelematan pada saudara senasib mereka. Parjan ikut bersama beberapa penambang masuk ke lubang untuk mengeruk tanah yang menutup lubang itu. Sarpin telah minggat entah ke mana karena takut dapat perkara.
Matahari cerah menghitung bayangan orang yang berbaris di dekat lubang yang telah ditutup itu. Bunga telah ditabur. Nama telah ditulis di nisan. Delapan orang jumlah penambang telah ditetapkan terjebak di perut bumi dan tidak dapat diselematkan.
Hasan ikut berdiri di sana, menabur bunga bercampur air mata untuk Paman Wirya yang telah mencegahnya terkubur bersama di lubang kelam yang kini ditutup selamanya. Kiai Masruri berdiri di dekat lubang yang ditutup itu, memimpin membacakan tahlil dan doa bersama. Langit tetap cerah seperti tidak mengerti kejadian ini. Tapi Hasan masih tampak menangis, kesedihan kehilangan telah menambang begitu banyak duka di dadanya.
*Cerpen peserta Lomba Karya Tulis Ekologi Kaum Santri 2024.