“Menara Kudus”, Transmitter Ilmu Pengetahuan

137 views

Judul tulisan ini diambil dari salah satu subbab dalam buku ini yang rupanya cukup menggambarkan peran penting Menara Kudus dalam penerbitan dan literatur keislaman, khususnya kitab kuning untuk kalangan pesantren dan buku-buku keislaman pada umumnya. Transmitter sendiri berarti pemancar. Berawal dari sinilah pancaran ilmu pengetahuan para kiai dapat tersebar luas hingga ke pelosok negeri.

Geliat perjalanan penerbitan buku maupun kitab kuning dalam dunia keislaman mungkin tidak begitu banyak dibicarakan. Padahal perannya amat besar dalam menunjang kebutuhan serta sebagai sarana pembelajaran dalam dunia pendidikan baik di pesantren maupun sekolah-sekolah Islam lainnya di luar pesantren. Salah satu penerbit yang tidak asing dalam menerbitkan karya-karya keislaman pada masa awal adalah penerbit Menara Kudus. Penerbit legendaris ini didirikan di Kudus, Jawa Tengah, pada 1952.

Advertisements

Penulis buku Menara Kudus; Riwayat Sebuah Penerbit, Jamaluddin, ini mengutip Martin Van Bruinessen, seorang antropolog asal Belanda, yang menjelaskan bahwa Menara Kudus adalah penerbit awal non-Arab satu-satunya untuk jenis kepustakaan buku-buku keislaman berbahasa Arab di Indonesia. Sebelumnya, dunia penerbitan kitab kuning dimonopoli oleh orang-orang muslim keturunan Arab. Hal itu dimulai sejak 1854, saat ada satu percetakan di Surabaya, di bawah kepemilikan Husain bin Muhammad bin Husain al Habsi.

Dalam kurun waktu 1848 hingga 1856, pemerintah kolonial memang sempat memberi kelonggaran dalam dunia penerbitan. Tetapi setelahnya pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang lebih ketat, sehingga buku-buku keislaman untuk kebutuhan kalangan muslim di Hindia Belanda pun hanya bisa diimpor dari Kairo, Makkah, Singapura, dan India. Tetapi, setelahnya, pada 1869, Sayyid Usman, seorang keturunan Arab di Batavia, yang diangkat sebagai penasihat kehormatan untuk urusan Arab oleh Snock Horgronje, juga mulai menggeluti dunia percetakan dan penerbitan.

Hingga pada abad ke-20 dunia penerbitan buku-buku keislaman terus mengalami perkembangan. Penerbit Menara Kudus hadir dengan terbitan buku keislaman yang lebih khas. Dalam menerbitkan kitab, misalnya, penerbit Menara Kudus memberikan tanda baca (harakah) yang disertai terjemahan baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa dengan menggunakan huruf Arab pegon yang berada di tengah tengah antarteks isi (matan).

Kitab terbitan jenis ini sangat menunjang santri dalam proses belajar memahami isi kitab kuning yang diajarkan di pesantren-pesantren. Selain menerbitkan kitab makna gandul Jawan, penerbit Menara Kudus juga menerbitkan buku-buku keislaman berbahasa Latin, mushaf Al-Quran khas Kudus (pojokan), dan kalender yang dikenal dengan nama Almanak Menara Kudus (AMK).

Buku yang ditulis sebagai tugas akhir tesis ini menarik untuk dibaca karena memuat perjalanan perkembangan dunia percetakan dan penerbitan di Indonesia pada umumnya, dan penerbit Menara Kudus secara khusus, sejak pertama kali masuknya teknologi cetak yang dibawa oleh orang-orang Eropa pada abad ke-17 hingga perkembangannya pada abad ke-20. Bagaimana teknologi cetak yang awal mulanya hanya digunakan oleh Bangsa Eropa untuk kepentingan bisnis, kemudian dimonopoli oleh keturunan Tionghoa, lalu digeluti oleh kalangan Bumiputra, terutama untuk kepentingan penerbitan surat kabar dan terbitan berkala.

Ditulis dengan metodologi historis yang dibatasi kurun waktu tertentu, menjadikan buku ini memuat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan historis sejenis. Seperti latar belakang pendirian penerbit Menara Kudus, orang-orang yang terlibat di dalamnya, serta strategi apa saja yang dilakukan hingga mampu mempertahankan usaha penerbitan bisa mencapai usia setengah abad, yakni sejak tahun 1952 hingga tahun 2005 (kurun waktu penelitian).

Pembaca bisa melihat alasan pilihan penerbit Menara Kudus untuk menerbitkan kitab dan buku-buku keislaman yang tentu saja tidak lepas dari kuatnya kultur santri dengan wajah Islam tradisionalis di daerah Kudus, juga banyaknya kiai di wilayah ini, seperti KH R Asnawi (1861-1959), KH Yahya Areif (1923-1997), KH Ma’ruf Asnawi, KH Ma’ruf Irsyad (1939-2010), KH Turaihan Adjhuri (1915-1999), KH Arwani Kudus (1905-1994), dan lain-lain.

Selain itu, pembaca juga diajak untuk melihat betapa kuat kultur kepenulisan pada masa awal di kalangan para kiai (khusunya di Jawa Tengah) dalam menghasilkan karya berupa kitab jenis pegon dan makna gandul Jawan. Buku ini juga menyebutkan karya-karya yang diterbitkan oleh penerbit Menara Kudus, meskipun tidak seluruhnya karena memang banyak sekali.

Beberapa kiai yang produktif dalam menulis kitab juga disebut, di antaranya KH Mustamir (Kajen), KH Ahmad Fauzan Zein Muhammad (Rembang), KH Muhammad Hammam Nashiruddin (Magelang), KH Bisri Mustofa (Rembang), KH Muhammad Azhari Hambali (Demak), KH Abi Muhammad Sholeh (Kajen, Pati), KH Muslih bin Abdurrohman (Mranggen, Semarang), dan KH Asrori Ahmad (Magelang), dan lain-lain.

Penerbit Menara Kudus menjadi pioner bagi kaum Islam tradisionalis yang juga memanfaatkan media cetak untuk memenuhi kebutuhan keagamaan, baik di pondok pesantren maupun di luar pondok pesantren. Jika dahulu karya keislaman dipelajari dengan cara ditulis tangan dan dihafalkan, maka hadirnya produk percetakan menunjukkan bergesernya tradisi dari menghafal/tutur ke tradisi membaca. Di luar itu, sebagai santri kita juga bisa melihat lantas meneladani para kiai yang sesungguhnya telah lama mengajarkan betapa pentingnya berjuang lewat dunia kepenulisan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan