Waktu kecil dulu aku sering mendengar nama itu disebut. Dia banyak disenangi orang, bahkan sering dibutuhkan. Welas asih tak pernah pandang posisi sosial, mulai pejabat tinggi sampai rakyat jelata akan nyaman dan bahagia bersamanya. Dia juga tak pernah melihat harta, mulai yang kaya raya bergelimang harta sampai yang miskin papa akan merasa bersaudara jika welas asih bersamanya.
Dengan welas asih, kehidupan sosial terasa tentram dan damai, karena dia menautkan hati setiap manusia. Aku sering heran campur takjub pada si welas asih ini, karena meski sering diperbincangkan tapi dia tak pernah muncul menonjol-nonjolkan diri. Dia begitu santun dan tulus mencintai semua orang. Pertikaian, caci maki, dan konflik akan sirna ketika ada welas asih.
Ahh… betapa indahnya hidup jika ada welas asih. Dulu dia sering muncul. Datang dengan tiba-tiba, masuk dan menyelinap di bilik hati para tetangga dan orang-orang di kampung kami. Karena kehadirannya yang selalu membawa kesejukan dan ketentraman itu, orang-orang di tempatku selalu menjaga dan merawat si welas asih dengan penuh suka cita. Mereka berusaha agar welas asih tetap kerasan tinggal di dalam dirinya, di rumahnya, dan di lingkungannya.
Tidak hanya orang-orang dewasa yang berusaha dekat dengan welas asih, mereka juga burupaya agar anak-anaknya yang masih kecil bisa selalu dekat dengan welas asih. Saat bermain, belajar, mengaji bahkan saat berantem dengan sesama teman, anak-anak itu selalu saja dipaksa oleh orang tuanya agar selalu berdekatan dengan welas asih.
“Kamu harus selalu bersama welas asih, Nak, agar tetap bisa menjadi manusia seutuhnya. Kamu akan jadi separo manusia jika tanpa welas asih,” demikian kata salah seorang ayah kepada anaknya yang mau memusuhi welas asih
“Cobalah kamu dekati temanmu itu dengan welas asih, niscaya rasa bencimu itu akan hilang,” kata orang tua lainnya kepada anaknya yang sedang berantem dengan temannya.
Meski belum paham betul apa maksud dari perkataan orang tua, tapi anak-anak itu berusaha mendekap dan mendekat pada welas. Ada yang mencoba memegang erat welas asih meski dengan wajah bersungut-sungut. Ada yang sekadar menaruh di bibirnya sambil menggerutu karena takut pada orang tua.
Walaupun hanya berangkat dari keterpaksaan dan sekadar menuruti perintah orang tua, tapi lama-lama anak-anak itu menjadi akrab dengan welas asih. Dan pelan-pelan welas asih mulai berani masuk dalam relung hati anak-anak, Sesekali menginap di bilik jiwa. Karena sering disinggahi welas asih, lama-lama hati dan jiwa anak-anak yang mulai tumbuh remaja itu menjadi lapang dan tenang hingga akhirnya welas asih pun mulai merasa nyaman di sana.
Tapi beberapa tahun terakhir ini, aku tak lagi melihat wajah welas asih. Sepertinya dia sudah tidak lagi menghuni bilik-bilik hati dan relung-relung jiwa manusia. Di antara bibir yang selalu meneriakkan takbir dan nama Tuhan, aku tak melihat welas asih. Dalam wajah yang berhias ayat suci aku tidak menemukan welas asih di sana. Bahkan, di balik jubah dan gamis aku tak menemukan welas asih. Aku mengira dia bersembunyi di balik cadar dan hijab yang terlihat anggun. Tapi di sana pun aku tak menemukannya.
Aku semakin lelah dan bingung mencari keberadaan welas asih. Dulu dia begitu mudah dicari di tempat-tempat ibadah dan mimbar-mimbar khotbah. Para ulama, habaib, dan kiai tempo dulu selalu memyertakan welas asih dalam dakwah dan khotbah-khotbah mereka. Bahkan saat berdebat dan menghadapi perbedaan pendapat, mereka selalu bersama welas asih. Dakwah dan perdebatan menjadi terasa indah karena keberadaan welas asih.
Ahh… barangkali aku yang buta, yang tidak bisa lagi mihat welas asih. Tapi kalau memang buta dan welas asih masih ada, kenapa orang-orang saling membenci, saling memfitnah, bahkan pada orang yang sudah mati pun mereka tega berbuat nista? Semua jadi berubah setelah hilangnya welas asih. Dakwah dan khotbah yang dulu sejuk dan indah kini jadi garang dan penuh amarah. Aku yakin, kalau saja welas asih masih ada, tentu tak akan terjadi semua ini.
Kucoba bertanya pada anak-anak, di mana welas asih berada? Tapi mereka juga tidak tahu, bahkan banyak di antara mereka yang sudah tidak kenal lagi pada welas asih.
“Emang welas asih itu cantik, ya, Om?” tanya seorang remaja milenial sambil terus menatap layar telepon pintarnya.
“Welas asih itu konglomerat, ya?” sahut yang lain.
“Dia lebih dari itu,” jawabku pada anak-anak itu.
“Wihhh… berarti dia bisa bikin kita kaya, ya, Om?”
Mendengar tanggapan anak-anak ini aku semakin yakin kalau welas asiih memang sudah menghilang.
Dalam keletihan jiwa mencari welas asih yang makin tak jelas rimbanya, tiba-tiba terdengar suara lembut. Aku kenal betul suara itu, ya suara welas asih yang selama ini kucari.
“Izinkan aku pergi meninggalkan kehidupan kalian. Karena sudah tidak ada tempat lagi untukku. Manusia telah memenuhi hati dan jiwanya dengan materi, kebencian, dan angkara, sehingga menjadi sempit dan dangkal.”
Aku mencoba mendekati suara itu dan menangkap welas asih. Tapi dia mengelak dan menjauh sambil berkata:
“Kau tak usah mengejar dan mencariku, nanti ketika hati dan jiwa manusia sudah lapang aku pasti datang menemui. Selagi hati dan jiwa masih dipenuhi kebencian dan murka, aku akan tetap menyendiri di tempat sunyi karena aku tak bisa bersemayam di hati yang sempit dan kotor.”