Pekan lalu, di sudut-sudut kampung, di teras-teras masjid, atau bahkan di ruang-ruang keluarga terjadi ketegangan-ketegangan soal bagaimana orang-orang harus beribadah.
Terekam, misalnya, seorang ibu muda bersitegang dengan ayahnya. Sang ayah yang sudah uzur ini memaksa hendak salat Jumat di masjid. “Salat Dzuhur di rumah saja, Ayah,” demikian si ibu muda ini menghalang-halangi langkah ayahnya.
“Tidak! Aku harus ke masjid, Jumatan. Ini perintah Allah!”
“Pemerintah sudah mengeluarkan imbauan. Para ulama sudah mengeluarkan fatwa. Hukum mana lagi yang harus diikuti? Nanti kalau berkumpul dengan banyak orang, Ayah bisa tertular virus Corona.”
“Ah”! si Ayah menepis tangan putrinya. “Ingat ya, aku hanya takut kepada Allah. Tertular atau tidak, hidup atau mati, itu takdir Allah! Aku tidak takut!”
Si ibu muda ini bergerak cepat, mengadang di pintu.
“Lagian, nanti apa kata orang-orang kalau aku tidak ke masjid? Kan, aku ini tokoh agama!”
“Oke! Silakan Ayah ke masjid. Tapi jangan harap cucu-cucumu bersalaman dan mencium tangan kakeknya sepulang dari masjid. Saya larang mereka bersalaman dengan kakeknya. Kalau perlu jangan pulang lagi ke rumah ini,” si ibu muda mengancam.
Lelaki itu akhirnya tertegun di balik pintu, mengenang kelucuan cucu-cucunya.
***
Rekaman lain datang dari Surabaya. Melihat pintu-pintu masjid terkunci rapat saat biasanya orang-orang berduyun-duyun untuk salat Jumat, seorang lelaki paro baya mencari-cari pengurus masjid. Ia mendesak pengurus masjid untuk segera membuka pintu dan menggelar salat Jumat. Jumatan harus dilaksanakan.
Mendapat penolakan dari pengurus masjid, lelaki itu naik pitam. “Jangan takut pada Corona! Takutlah hanya kepada Allah!”
Belasan orang yang kebetulan berkerumun di teras masjid bingung, saling tukar pandang. “Yang mau Jumatan ikut saya di sebelah kanan. Yang cuma mau salat Dzuhur silakan di teras sebelah kiri,” kata lelaki paro baya itu.