Mendalami Makna Al-Qur’an melalui Tafsir Sufi

10 views

Tafsir Sufi merupakan pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an yang menekankan aspek spiritual dan batiniah. Muncul pada abad ke-8 Masehi, tafsir ini lahir sebagai respon terhadap materialisme dan kemewahan yang melanda masyarakat muslim. Para sufi berusaha mencari kedekatan dengan Allah melalui praktik-praktik spiritual, seperti zikir, reproduksi, dan pengendalian diri, yang membantu mereka merasakan kehadiran Ilahi dalam hidup sehari-hari.

Pendekatan ini fokus pada pengalaman mistis dan refleksi pribadi, di mana para sufi percaya bahwa makna mendalam Al-Qur’an dapat dicapai melalui hati dan jiwa. Melalui tafsir sufi, individu terdorong untuk menemukan cinta dan penghayatan terhadap Tuhan, yang dianggap lebih penting daripada sekadar memahami teks secara literal. Dalam konteks ini, Al-Qur’an dipandang sebagai pedoman untuk perjalanan spiritual, bukan hanya sebagai kitab hukum.

Advertisements

Pendapat ulama mengenai tafsir sufi sangat bervariasi, mencerminkan keragaman dalam pemahaman dan pendekatan terhadap Al-Qur’an. Ulama sufi, seperti Jalaluddin Rumi dan Ibnu Arabi, mendukung tafsir sufi sebagai cara untuk mengungkap kedalaman makna Al-Qur’an yang tidak selalu terlihat secara zahir. Mereka berargumen bahwa Al-Qur’an memiliki dimensi spiritual yang mendalam dan dapat diakses melalui pengalaman batin dan refleksi pribadi. Pendekatan ini memungkinkan individu untuk merasakan cinta dan kedekatan dengan Allah, yang dianggap sebagai inti dari ajaran Islam.

Sementara itu, ulama yang menolak tafsir sufi sering berpendapat bahwa pendekatan ini terlalu subjektif. Mereka khawatir bahwa penafsiran yang bersifat batiniah dapat mengarah pada penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud asli Al-Qur’an. Ulama dari aliran salafi, seperti Ibnu Taimiyyah, menekankan bahwa setiap inovasi dalam agama, termasuk pendekatan tafsir yang tidak sesuai dengan tradisi klasik, harus dihindari dan tafsir sufi dianggap sebagai bentuk bidah. Mereka berpegang pada prinsip bahwa Al-Qur’an dan Sunnah harus diperbarui sesuai dengan pemahaman generasi awal umat Islam.

Beberapa ulama juga menekankan bahwa pemahaman yang benar terhadap Al-Qur’an memerlukan penguasaan ilmu nahu (tata bahasa) dan saraf (morfologi). Hampir semua mufasir, mulai dari  al-Itqan al-Suyuthi, al-Burhan al-Zarkasyi, Mabahits Subhi Shalih, Qawa’id al-Tafsir Khalid ibn Utsman al-Sabt hingga mufassir Indonesia, M Qurasih Shihab dalam buku kaidah tafsir menyebutkan bahwa ada 15 disiplin ilmu pengetahuan yang harus dikusai untuk bisa menafsirkan Al-Qur’an. Sehingga, menafsirkan ayat suci tidak haya sebatas mampu, melainkan melalui proses panjang.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan