Tafsir Sufi merupakan pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an yang menekankan aspek spiritual dan batiniah. Muncul pada abad ke-8 Masehi, tafsir ini lahir sebagai respon terhadap materialisme dan kemewahan yang melanda masyarakat muslim. Para sufi berusaha mencari kedekatan dengan Allah melalui praktik-praktik spiritual, seperti zikir, reproduksi, dan pengendalian diri, yang membantu mereka merasakan kehadiran Ilahi dalam hidup sehari-hari.
Pendekatan ini fokus pada pengalaman mistis dan refleksi pribadi, di mana para sufi percaya bahwa makna mendalam Al-Qur’an dapat dicapai melalui hati dan jiwa. Melalui tafsir sufi, individu terdorong untuk menemukan cinta dan penghayatan terhadap Tuhan, yang dianggap lebih penting daripada sekadar memahami teks secara literal. Dalam konteks ini, Al-Qur’an dipandang sebagai pedoman untuk perjalanan spiritual, bukan hanya sebagai kitab hukum.

Pendapat ulama mengenai tafsir sufi sangat bervariasi, mencerminkan keragaman dalam pemahaman dan pendekatan terhadap Al-Qur’an. Ulama sufi, seperti Jalaluddin Rumi dan Ibnu Arabi, mendukung tafsir sufi sebagai cara untuk mengungkap kedalaman makna Al-Qur’an yang tidak selalu terlihat secara zahir. Mereka berargumen bahwa Al-Qur’an memiliki dimensi spiritual yang mendalam dan dapat diakses melalui pengalaman batin dan refleksi pribadi. Pendekatan ini memungkinkan individu untuk merasakan cinta dan kedekatan dengan Allah, yang dianggap sebagai inti dari ajaran Islam.
Sementara itu, ulama yang menolak tafsir sufi sering berpendapat bahwa pendekatan ini terlalu subjektif. Mereka khawatir bahwa penafsiran yang bersifat batiniah dapat mengarah pada penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud asli Al-Qur’an. Ulama dari aliran salafi, seperti Ibnu Taimiyyah, menekankan bahwa setiap inovasi dalam agama, termasuk pendekatan tafsir yang tidak sesuai dengan tradisi klasik, harus dihindari dan tafsir sufi dianggap sebagai bentuk bidah. Mereka berpegang pada prinsip bahwa Al-Qur’an dan Sunnah harus diperbarui sesuai dengan pemahaman generasi awal umat Islam.
Beberapa ulama juga menekankan bahwa pemahaman yang benar terhadap Al-Qur’an memerlukan penguasaan ilmu nahu (tata bahasa) dan saraf (morfologi). Hampir semua mufasir, mulai dari al-Itqan al-Suyuthi, al-Burhan al-Zarkasyi, Mabahits Subhi Shalih, Qawa’id al-Tafsir Khalid ibn Utsman al-Sabt hingga mufassir Indonesia, M Qurasih Shihab dalam buku kaidah tafsir menyebutkan bahwa ada 15 disiplin ilmu pengetahuan yang harus dikusai untuk bisa menafsirkan Al-Qur’an. Sehingga, menafsirkan ayat suci tidak haya sebatas mampu, melainkan melalui proses panjang.
Ulama yang menolak tafsir Sufi sering kali menekankan pentingnya berpegang pada ajaran dasar Islam yang jelas, seperti rukun iman dan rukun Islam, tanpa menyimpang ke arah penafsiran yang lebih kompleks dan mistis. Ada pula kekhawatiran bahwa penafsiran yang terlalu mistis dapat mengarah pada penyimpangan dari ajaran Islam yang lebih dasar, sehingga bisa menimbulkan ajaran sesat atau bid’ah. Dengan demikian, pandangan mereka mencerminkan kekhawatiran terhadap subjektivitas penafsiran dan pentingnya keilmuan dalam memahami teks-teks suci.
Sedangkan, pendapat ketiga, ulama moderat percaya bahwa tafsir sufi dapat menjadi jembatan untuk memahami makna yang lebih dalam dari Al-Qur’an, asalkan tetap berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah. Ini menunjukkan bahwa ada ruang untuk dialog dan integrasi antara berbagai pendekatan dalam memahami teks suci.
Terlepas dari pro-kontra tafsir sufi, buku Tafsir Sufi karya Mahmud al-Hindi ini merupakan sebuah karya yang menggabungkan pendekatan tradisional dalam penafsiran Al-Qur’an dengan perspektif spiritual yang mendalam. Penafsiran yang dimulai secara tartib suwar ini, hanya tertuju pada ayat-ayat tertentu saja. Tidak semuanya lengkap dan utuh. Dalam buku ini, al-Hindi menafsirkan berbagai ayat Al-Qur’an dengan menggunakan lensa sufisme, tekanan makna batiniah dan pengalaman spiritual yang dapat diambil dari setiap ayat.
Mahmud al-Hindi menyajikan tafsirnya dengan fokus pada aspek-aspek mistis dan spiritual dari teks Al-Qur’an. Tidak semua ayat al-Qur’an tertuang, hanya sebagian ayat-ayat yang dapat ditafsiri. Ia mengajak pembaca untuk memahami kedalaman makna yang sering kali tersembunyi di balik kata-kata, serta pentingnya pengalaman pribadi dalam memahami firman Tuhan. Dengan demikian, buku ini tidak hanya berfungsi sebagai panduan ilmiah, tetapi juga sebagai sumber inspirasi bagi mereka yang mencari kedekatan dengan Allah.
Mahmud al-Hindi menyebutkan bahwa penulisa buku ini tidaklah mudah. Naskah yang dia tulis ini merupakan hasil dari penelitian yang terjal dan sulit. Menyelami karya induk serta sisa-sisa manuskrip yang telah terbit (11). Buku tafsir sufi karya Mahmud al-Hindi merujuk pada pendapat Dzu Nun Al-Misri yang kemudian didukung oleh pendapat-pendapat dari berbagai ulama sufi terkemuka, seperti, Junaid Al-Baghdadi, Abu Yazid Al-Bustami, dan Sahl Al-Tustari, yang memberikan kedalaman dalam penafsirannya. Bisa dikatakan bahwa buku ini adalah tangan panjang dari kitab karya Dzun Nun.
Dzu Nun menekankan pengalaman batin dan cinta Ilahi (48), sementara Junaid mengajarkan pentingnya kesadaran spiritual dan penyucian jiwa. Abu Yazid dengan ungkapan mistisnya menginspirasi pemahaman mendalam terhadap makna Al-Qur’an, sedangkan Sahl kejujuran dan ketulusan dalam ibadah. Merujuk pada pemikir-pemikir ini, al-Hindi berhasil memperkaya tafsirnya, menunjukkan bagaimana tradisi sufi dapat memberikan makna baru dalam memahami teks suci.
Gaya penulisan al-Hindi dalam buku ini cenderung puitis dan reflektif, memadukan bahasa yang indah dengan pemahaman yang dalam. Ia menggunakan analogi dan simbolisme yang sering dijumpai dalam tradisi sufi, yang membuat tafsir ini terasa lebih hidup dan relevan bagi pembaca. Pendekatan ini memberikan dimensi baru dalam memahami Al-Qur’an, mengajak pembaca untuk tidak hanya membaca, tetapi juga merasakan dan memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Mahmud al-Hindi menyajikan tafsir yang tidak hanya fokus pada makna literal, tetapi juga menggali dimensi spiritual yang mendalam. Pendekatan ini memungkinkan pembaca untuk merasakan kedekatan dengan Allah dan memahami bagaimana ajaran Al-Qur’an dapat diterapkan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Gaya penulisan al-Hindi yang puitis dan reflektif membuat tafsir ini lebih menarik dan mudah dicerna. Ia berhasil memadukan antara bahasa sastra dan ilmu pengetahuan, sehingga pembaca dapat menikmati pengalaman membaca yang kaya. Selamat membaca.
Data Buku
Judul Buku : Tafsir Sufi
Penulis : Mahmud al-Hindi
Penerbit : Qaf
Terbitan : Februari, 2025
ISBN : 978-623-10-6115-7
Halaman : 391
Peresensni : Musyfiqur Rozi