Bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) selalu diwarnai perbedaan pendapat di antara para musyawirin. Biasanya, perbedaan pendapat terjadi lantaran dipicu penggunakan metodologi yang berbeda.
Setidaknya, itulah tergambar dalam buku Islam Nusantara Jilid 1 karya Ahmad Baso. Disebutkan, misalnya, pada masa KH Wahab Chasbullah, yang dominan digunakan dalam pembahasan di bahtsul masail selalu menggunakan mantiq dan ushul fiqh untuk memecahkan permasalahan kontemporer. Sementara, di masa Mbah Bisri (KH Bisri Syansuri) lebih banyak menggunakan dalil-dalil kitab-kitab fikih.
Karena itu wajar jika dari dua tokoh terjadi perselisihan pendapat, karena berbedanya sumber yang dijadikan patokan dalam memutuskan permasalahan. Sulit memang untuk menyelaraskan perbedaan pendapat jika rujukan metodologisnya berbeda. Namun, untuk mendekatkan jurang perbedaan, bisa digunakan beberapa metode, sebagaimana diungkapkan KH Afifudin Muhajir dalam suatu ceramah ilmiahnya tentang metodologi atau manhaji Islam Nusantara.
Al-Muhafazhah dan Al-Akhdzu
Untuk memahami pemikiran metodologis Islam Nusantara, maka tidak akan lepas dari sebuah tradisi yang mengakar dalam kajian kepesantrenan sebagaimana yang dibangun oleh para Wali Songo dan para pewarisnya.
Penulis membuka kajian ini dengan menugutip dari buku Islam Nusantara bagian tentang dialog yang terjadi antara KH Nawawi atau KH Muhammad Shaleh Ats-Tsani Bungah Gersik (wafat 1902) dengan Syaikhuna Cholil Bangkalan (1925).
Di antara dua tokoh tersebut memang sering terjadi diskusi dan debat walaupun dengan canda atau bahasa lainnya guyonan. Misalnya, Kiai Cholil pernah menyinggung KH Nawawi), dengan berkata begini: “Buat apa sampean belajar ilmu fikih, sementara ilmu fikih di Indonesia tidak akan sinkron dalam masalah hukum. Seperti zakat onta yang tidak pernah ada di Nusantara.”
Sindiran tersebut didengar oleh KH Nawawi. KH Nawawi lalu memberi jawaban begini: “Buat apa sampean belajar ilmu nahu dan saraf, sementara nantinya akan banyak kitab kuning yang diterjemah ke dalam bahasa kita.”
Dari dialog yang terjadi di antara kedua tokoh ulama ini menyiratkan bahwa kualitas Islam Nusantara tidak perlu diragukan lagi. Syaikhona Cholil menyinggung orang yang belajar fikih supaya tidak tengggelam dengan teks-teks dogmatik hingga mereka melupakan kondisi alam. Sebagaimana di Indonesia yang tidak mengenal onta, misalnya. Kalau berbicara zakat, misalnya, tidak semua zakat itu bisa dipraktikkan di tanah air. Maka, dari hal ini ulama harus melakukakan ijtihad.
Sementara itu, Kiai Nawawi juga memberi pelajaran kepada Syaikhuna Cholil bahwa seseorang tidak boleh habis waktunya dengan belajar ilmu alat, lalu mereka melupakan untuk menerjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa Indonesia.
Maka dari sini akan muncul pertanyaan bagaimana cara memahami ajaran Islam yang secara teks tidak kita temukan. Maka kita harus kembali pada konteks. Oleh karena itu, dari sini muncul kaidah metodologis “al-Muhafadzah” dan “al-akhdzu” yang mana masing-masing dari Kiai Cholil maupun Kiai Shaleh ats –Tsani belajar ilmu alat dan fikih. Keduanya ingat “kekitaan” kita (nahnunya), yaitu al-Muhafadzah-nya. Belajar fikih juga punya suara untuk berijtihad, sebagaimana onta yang ada di kawasan Arab. Sedangkan di Indonesia sapi dan beras. Demikian pula belajar ilmu alat. Perlu menerjemahkan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia dan sebaliknya menerjemahkan ide-ide kita ke dalam bahasa Arab. Keduanya diperlukan ijtihad.
Al-Muhafadzah dan al-akhdzu ini merupakan salah satu kaidah bahasa Arab yang sering kita jumpai di pesantren. Akan tetapi, tidak dikenal di kalangan orang Arab. Sebagai perbandingan, istilah “imsak” selama bulan Ramadhan, “halal bihalal” atau “ta’liq thalaq” semua itu tidak dikenal di lingkungan orang Arab. Dari mana praktik itu didapatkan? Dan jelas semuanya sudah diamalkan oleh kita sejak masuknya Islam ke Indonesia.
Metodologi ini merupakan hasil ijtihad ulama Nusantara yang dikomunikasikan secara kreatif oleh kalangan umat Islam indonesia, utamanya mereka yang menjadi guru di Mekah dan Kairo. Mereka mengajarkan hasil-hasil ijtihad dan kreativitas ulama Nusantara kepada murid-muridnya. Bahkan, Kiai Nawawi dalam kitabnya Nihayatuz Zain menulis tentang tradisi Islm Nusantara yang mengenal praktik kegamaan untuk 7 hari dan 40 hari hingga 1000 hari pasca-kematian. Tradisi itu kemudian didakwahkan di Mekah dan Madinah, untuk diajarkan kepada santri-santri yang datang dari berbagai belahan dunia. Jadi, keliru orang yang menyatakan bahwa Islam Nusantara adalah Islam pinggiran, Islam lokal, Islam rendahan.
Kaidah manhaji ini merupakan keunggulan produksi keilmuan pesantren. Kaidah ini juga mencakup berbagai bidang keilmuan baik agama maupun umum. Dalam aspek ontologi, misalnya, ambil contoh tentang kedokteran dari abad ke-19 yang sudah mengenal 700-an macam obat untuk 500 penyakit. Seperti lada, kunyit, lengkuas, dan seterusnya. Dan tidak satu pun di Indonsia mengenal habbatus sawda (di Indonesia kini dikenal dengan sebutan jintan hitam). Artinya, basis ontologis ilmu kedokteran Islam Nusantara berasal dari kekayaan alam kita. Sehingga terjadi pemeliharaan (Muhafazhah). Jadi, dari segi ontologi tidak dibenarkan kalau tanah kita dijual kepada pihak luar atau orang asing.
Sementara al-Muhafazhah secara epistemologi terletak pada strategi “Kullaka” yakni totalitas pemahaman secara subjektif terhadap ke-nusantara-an kita dalam produksi pengetahuan. Dari hal ini kita ambil contoh seorang pelukis yang terkenal, Raden Saleh dari abad ke-19. Dengan lukisan yang bertema Penangkapan Pangeran Dipenogoro bertarikh 1857, lukisan ini disukai oleh Sukarno.
Sementara untuk aspek aksiologi atau penerapan ilmu dalam disiplin tertentu, mengarahkan ilmu kepada tujuan khusus. Dalam konteks ini, ilmu itu bukan untuk ilmu, tapi untuk kemaslahatan dan kebermanfaatan bagi manusia.
Bangunan manhaji al-muhafadzah dan al-akhdzu juga ditimba oleh para ulama Nusantara dari pengolahan ilmu para ulama Ahlussunnah Waljamaah dari generasi Imam al-Ghazali. Mereka belajar dari Imam al-Ghazali yang mempertemukan antara fikih dan kalam dengan ilmu mantiq. Meskipun al-Ghazali menerima ilmu itu dari Yunani, akan tetapi basis keilmuannya tetap bermazhab Imam as-Syafii atau As’ary.
Tapi al-Ghazali tidak kemudian merombak segenap basis tradisi As’ary dan mazhab Syafii. Karena yang ia rombak adalah level manhaji-nya saja, sementara paham Ahlus Sunnah Waljamaah dalam kedua mazhab itu tetap dipertahankan. Maka dari situ muncul al-muhafadzah al-Ghazali, meski mengambil mantiq Aswajanya tetap utuh.
Maqashid Syariah
Imam al-Ghazali merupakan seorang tokoh yang dapat menyatukan antara fikih dengan tasawuf. Bahkan al-Ghazali juga berkontribusi dalam kontruksi Islam Nusantara dengan ide Maqashid. Ide ini sangat penting dalam memahami Manhaji Islam Nusantara.
Kekuatan Islam Nusantara bukan terletak pada garis tekstual keislaman, akan tetapi seberapa banyak teks tersebut mendukung argumen keagamaan dan praktik keagamaan umat Islam Indonesia. Oleh karena itu, kekuatan Islam terletak pada maqasyid islam (maksud atau tujuan utama Islam).
Al-Ghazali merumuskan konsep maqasyid syariah itu ke dalam “Al Usulu –L-Khamsah” atau lima prinsip utama (norma) tujuan agama. Dalam merumuskan lima norma ini, al-Ghazali tidak mengacu kepada teks ayat. Akan tetapi mengacu kepada prinsip burhani (logika). Dalam hal ini acuan Imam al-Ghazali jelas: yaitu premis mayor untuk mengambil kesimpulan dalam menjawab permasalahan hukum.
Juga perlu diketahui bahwa nalar (al-aql) adalah sebuah instrumen berpikir yang digunakan oleh para pemikir Islam di Nusantara (meliputi Wali Songo dan ulama-ulama setelahnya) guna mempertahankan dan membumikan nilai-nilai Islam agar senantiasa selaras dengan kebutuhan masyarakat. Dalam skala yang lebih besar, nalar Islam Nusantara adalah sistem yang memproduksi dan mengelola keilmuan Islam yang dalam hal ini direpresentasikan oleh pesantren-pesantren sebagai pemangku utama keilmuan Islam dari dulu sampai sekarang. Maka, boleh kita katakan, Islam Nusantara adalah keislaman yang dihayati dan dipraktikkan secara terus menerus oleh para santri di Indonesia dari masa ke masa, yang mana penghayatan dan praktik itu adalah buah dari kerja nalar (al-aql) yang selama ini bekerja dalam ruang epistemik.
Studi dan pemahaman Islam Nusantara selayaknya berangkat dan diarahkan kepada nalar pesantren itu secara langsung. Bagaimana proses terbentuknya nalar pesantren? Bagaimana nalar pesantren bekerja dan melahirkan pengetahun keislaman yang sampai hari ini dijiwai oleh masyarakat Indonesia (khususnya Nahdliyyin)? Ini sebagian dari pertanyaan fundamental yang layak dijadikan bahan diskusi awal untuk mendedah Islam Nusantara.
Diskusi seputar Islam Nusantara menjadi tidak bermakna apa pun kalau tidak dipijakkan pada basis tradisi intelektual yang berkembang di Indonesia sejak dahulu sampai hari ini. Mulai dari sisi sejarah, butir pemikiran, sampai pada perihal keterpautan antar-ulama yang ada di Nusantara dan yang ada di Timur Tengah. Semuanya dibingkai dalam satu metode pembacaan kritis, radiks, dan komprehensif sampai kita temukan bagaimana nalar (al-aql) ulama Nusantara terbentuk dan melahirkan seperangkat tradisi intelektual yang sampai hari ini masih terus tersemai di tanah-tanah pesantren di Indonesia.
Dari sini jelas, bahwa Islam Nusantara adalah sebuah proses mengkaji dan berinteraksi secara konstan dengan khazanah keislaman yang mewujud dalam kekayaan intelektual berupa kitab-kitab klasik (kitab kuning) yang selama ini masih terus dibaca dengan penuh minat di pesantren-pesantren. Selain yang berbentuk kitab kuning, warisan tradisi Islam di Nusantara yang kaya akan nuansa lokalitasnya juga menjadi bahan kajian yang sangat penting. Semua warisan-warisan itu menyatu dalam sebuah term, yakni turots (warisan).
Yang Normatif dan Yang Kaffah
Islam Nusantara bukan merupakan Islam tandingan. Juga bukan agama baru. Akan tetapi, Islam Nusantara merupakan keislaman yang pengamalannya menghargai tradisi setempat (lokal). Jika Islam historis dipertentangkan dengan Islam normatif, maka yang terakhir dianggap “Islam asli”. Padahal, ini adalah konstruksi orientalistik. Jadi tidak ada pemilahan antara yang normatif dan yang historis dalam konteks maqashid islam ini.
Manhaji Islam Nusantara tentang maqashid posisinya seperti halnya bermazhab Syafii atau Asyari: apakah mazhab fikih dan usuluddin bukan Islam normatif? Memang bermazhad sesuatu yang aradz, sifat, yang terpisah, partikular – memang tidak ditemukan perintah dalam Al-Quran atau hadis soal bermazhab. Akan tetapi, bermazhab tidak bisa dilepaskan dari ajaran normatif Islam itu sendiri.
Sehingga, Islam Nusantara menjadi contoh atau teladan yang baik tentang Islam yang moderat (bahas kini: tawassuth, i’tidal, tawazun) sehingga umat Islam di Timur Tengah belajar Islam kepada kita.
Oleh karena itu, Islam Nusantara adalah sebuah ilmu, seperti dipaparkan oleh Imam as-Syafii dalam kitab al-Umm, bahwa masing-masing negeri punya ilmu yang diikuti oleh penduduknya dalam berijtihad tentang Islam. Maka menjadi jelas bahwa definisi Islam Nusantara adalah “ma’rifatul Ulama al –indonesiyyin bil-ahkamisy-syari’ah al-amaliyah al-muktasab min adilatiha t -tafsiliyah” (seperangkat ilmu tentang hukum-hukum agama yang praktis yang diolah dari dalil-dalilnya yang terperinci, di antaranya dari dalil-dalil maqashid syariah).
Membaca artikel ini saya diingatkan dengan sebuah buku “Ijtihad Islam Nusantara” yang ditulis oleh KH Abd A’la bin Ahmad Bashir. Dimana, Islam Nusantara saja menjadi perdebatan di kalangan ulama karena berbagai pandangan yang tidak seragam. Maka, dengan perbedaan ini sewajarnya kita salang menghargai dan menghormati.
Melihat jelajah Gus Rusdi dari setiap terbitan di web dunia santri. Sangar aktif.. selalu “kirim Komentar”. Semoga saya bisa meniru jejak sampean…👨🏫✍🏻✍🏻✍🏻
👍👍👍