Sebagai kitab petunjuk bagi seluruh umat manusia, Al-Quran menjadi kitab yang fleksibel. Setiap kata mengandung banyak makna, sehingga Al-Quran terus selaras dengan zaman. Namun, dalam menafsirkan Al-Quran, sering kali mufasir terjebak pada pra-pemahaman dan latar belakang ideologi yang dibangun. Mufasir tidak dapat melahirkan karya yang benar-benar mengarah dari apa yang dimaksud dari makna ayat tersebut. Ketika makna dari ayat tidak tepat sasaran, maka dampaknya adalah menjauh dari makna dan yang dituju dari ayat tersebut.
Situasi semakin rumit ketika ini banyak ditemukan di beberapa tafsir yang tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Banyak sekali motif yang melatarbelakanginya. Dalam menyuarakan kritik tafsir, Abd al-Wahhab Fayed (1936-1999) tidak hanya menyampaikan dalam bentuk tulisan saja, akan tetapi juga dalam forum kajian. Ia sangat geram dengan munculnya penafsiran sekterian yang sangat subjektif dan hanya berdasarkan kemauan ideologi mufasir, tanpa mengindahkan variabel penafsiran yang ada.
Kritik tafsir Fayed itu salah satu dijadikan titik tolak buku ini (hlm 17). Boleh dibilang, buku berjudul Metode Kritik Ad-Dakhil Fi At-Tafsir ini adalah buku pertama kritik tafsir berbahasa Indonesia yang ditulis oleh salah satu dosen terkemuka di Indonesia, Dr Muhammad Ulinnuha. Rekam jejaknya pun juga sangat menjanjikan di bidang kajian tafsir. Sehingga para pembaca tidak perlu khawatir terhadap karyanya.
Kritik tafisr adalah salah satu cabang ilmu yang membahas penyelewengan tafsir. Term ad-dakhil baru ditemukan di Al-Azhar pada 1999-an. Sebelumnya, istilah ini menggunakan berbagai macam istilah dari manhaj naqd at-tafsir, isroiliyat wa al-maudhu’at, hingga muncullah term ad-dakhil yang diusung oleh Abdullah Fayed. Singkatnya, buku ini merupakan gagasan Abdulah Fayed. Dalam buku ini, penulis mencoba menulis dan mengetengahkan gagasan yang diusung oleh Fayed dan memberi catatan penting sebagai bahan pengayaan dan pendalaman.
Sebenarnya, potensi terjadinya ad-dakhil telah muncul sebelum datangnya Islam. Sebab, di Jazirah Arab sebagai tempat turnnya Al-Quran ada sekelompok ahli kitab yang sebagian besar adalah kaum Yahudi (hlm 54). Mereka berhijrah dan masuk Jazirah Arab karena diyakini bahwa nabi akhir zaman akan lahir di sana. Ini menjadi bagian pembuka penulis sebagai pengenalan adanya cikal bakal terjadinya penyimpangan dalam tafsir.
So, menjadi sangat penting untuk menguasai ilmu alat agar ijtihad dlm menafsirkan suatu ayat tidak serampangan.