Mendiskusikan Sastra dari Bilik Pesantren

33 views

Perkembangan sastra saat ini bertumbuh kembang seiring kemajuan teknologi. Hal tersebut juga mempengaruhi dunia sastra ke depan, khususnya sastra pesantren.

Fenomena ini direspons Himpunan Mahasiswa Program (HMP) Tadris Bahasa Indonesia Universitas Muhtar Syafaat (UIMSYA) Banyuwangi dengan menggelar sarasehan Sastra dari Bilik Pesantren.

Advertisements

Sarasehan yang digelar pada Minggu (1/12/2024) ini menghadirkan sastrawan  Mahwi Air Tawar, budayawan Lesbumi Banyuwangi Taufiq Wr Hidayat, dan akademisi UIMSYA Asngadi Rofiq.

Diskusi Sastra dari Bilik Pesantren ini digelar atas kerja sama dengan Lesbumi PCNU Jember dan Lesbumi PCNU Banyuwangi. Sarasehan diawali dengan sambutan dari Wakil Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIMSYA Lutfi Wahid.

Dalam sambutannya, Lutfi Wahid menyampaikan pentingnya memahami sastra sebagai bagian integral dari pendidikan di pesantren.

“Sastra tidak hanya berfungsi sebagai karya seni, tetapi juga sebagai alat untuk memahami nilai-nilai kehidupan dan spiritualitas. Melalui sastra, kita bisa menggali banyak pelajaran tentang kehidupan, budaya, dan agama,” ujarnya.

Ia juga menekankan bahwa acara seperti ini merupakan bentuk upaya untuk mengintegrasikan pengetahuan sastra dengan kehidupan pesantren, yang memiliki warisan budaya kaya dan mendalam.

Sementara itu, sambutan kedua disampaikan Kepala Program Studi Tadris Bahasa Indonesia, Ali Manshur. Ia menegaskan pentingnya pengembangan sastra bagi para mahasiswa, terutama dalam konteks pesantren yang memiliki ciri khas tersendiri dalam memahami dan mengapresiasi karya sastra.

“Pesantren bukan hanya tempat untuk mengajarkan ilmu agama, tetapi juga tempat untuk menciptakan karya-karya sastra yang memiliki nilai estetik dan spiritual. Melalui kegiatan ini, kami berharap mahasiswa dan peserta dapat lebih memahami keterkaitan antara sastra dan pesantren,” terang Ali Manshur.

Saat tampil sebagai narasumber, Mahwi Air Tawar menjelaskan tentang fenomena yang dapat dijadikan inpirasi atau basis kepenulisan sastra di lingkungan.

“Coba tulis pengalaman sehari-hari di pesantren, mulai dari bangun tidur, antre kamar mandi, sandal dan sabun hilang menjelang kembali tidur. Semua harus dilatih, jangan takut gagal, jangan takut tulisan kita jelek. Jadikan pengalaman-pengalaman spiritual di pesantren menjadi ruh kreativitas kita dalam menulis,” ujar Mahwi Air Tawar

Di bagian lain, Taufiq Wr Hidayat, dalam bahasannya menyampaikan peran penting nadham dalam pesantren sebagai bagian dari karya sastra yang harus dihafalkan.

Dalam pandangannya, nadham bukan sekadar bacaan, tetapi sebuah karya sastra yang memiliki nilai-nilai estetika yang harus dihargai.

“Dalam nadham pesantren, ada sastra, ada nada, dan ada irama yang harus dihormati. Ini adalah bagian dari budaya yang harus kita jaga dan kembangkan,” jelas Taufiq.

Ia menambahkan, sastra pesantren memiliki kekuatan untuk mendidik dan membentuk karakter masyarakat melalui kata-kata yang penuh makna.

Narasumber lain, Asngadi Rofiq, seorang dosen dari UIMSYA Blokagung, menyampaikan perspektifnya tentang pentingnya membaca sebelum menulis.

“Sebelum menulis, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membaca. Membaca tidak hanya memperluas wawasan, tetapi juga membantu membentuk gaya bahasa yang baik dan benar. Menulis tanpa banyak membaca akan menghasilkan karya yang lemah dan kurang berbobot,” ujar Asngadi.

Ia mendorong para peserta untuk terus membaca berbagai jenis karya sastra agar dapat menulis dengan lebih kreatif dan bermakna. Asngadi juga menekankan bahwa kegiatan membaca dan menulis harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi calon penulis.

Kegiatan diskusi bertajuk Sastra dari Bilik Pesantren diakhiri dengan sesi tanya jawab dan pembacaan puisi. Banyak peserta yang mengungkapkan rasa terima kasih dan kegembiraan mereka mengikuti acara ini.

“Kegiatan seperti ini sangat menarik untuk kami yang ingin belajar menjadi penulis. Kami bisa melihat langsung bagaimana sastra berinteraksi dengan pesantren, serta mendapatkan wawasan baru tentang bagaimana cara menulis yang baik dan benar,” ujar Diah, seorang mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia.

Para peserta juga mengaku merasa lebih termotivasi untuk terus mengembangkan diri sebagai penulis dan mengapresiasi karya sastra, baik di dunia pesantren maupun di luar pesantren.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan