Setiap ada awan hitam, seperti ada bayangan bapak sedang memukuli ibu. Saat itulah aku mulai gelisah.
Aku berbaring di ranjang, berusaha untuk tidur, tapi tidak bisa. Terdengar ada suara rintik hujan jatuh ke genting.
Aku terbangun saat air menerobos genting mengenai rambutku. Hujan sudah turun setelah beberapa saat setelah aku mulai berusaha memejamkan mata. Mataku terasa sepat dan berat sebab semalam aku belum tidur sama sekali. Aku membuka jendela, melihat angin sedang ribut, petir-petir menggelegar, berkilat-kilat.
Hujan turun begitu deras. Pohon-pohon bergoyang-goyang. Dari jendela, aku teringat kepada guru mengajiku, belasan tahun yang lalu, saat aku dan teman-teman duduk melingkar di surau. Namanya Mbah Karim. Dia bilang jika ada hujan deras dan angin ribut “azanlah.”
Kurang lebih seperti itu. Melihat angin gaduh disertai hujan deras di halaman rumahku, maka aku segera mengais-ngais ingatanku tentang lafaz azan.
Aku mulai azan dengan suara terbatuk-batuk, karena tenggorokanku gatal. Aku melihat awan bergulung-gulung berwarna hitam menggantung di langit. Di tengah-tengah azan, tiba-tiba aku teringat sesuatu.
Saat itulah, suaraku mulai rendah, pikiranku sudah tidak berkonsentrasi lagi. Akhirnya, azan tidak sampai selesai, lalu duduk di amben sambil termangu.
Kemudian kenangan-kenangan pahit terbesit di dalam kepalaku. Hujan mengantarkanku pada ingatan-ingatan yang seharusnya tak perlu aku ingat. Tiba-tiba, ingatan tentang kematian ibu, tentang bapak muncul tanpa izin.
Aku masih berusia enam tahun saat ibu bunuh diri. Tetapi saat itu, aku tidak percaya sepenuhnya jika kematian ibu karena bunuh diri. Meskipun, bukti menunjukkan bahwa di samping ranjang ibu ada racun tikus.
Sementara itu, hujan semakin deras. Aku melihat dan mendengar petir menyambar pohon asam di depan rumahku. Begitu menakutkan. Aku berlari di ke teras. Gumpalan awan hitam menggantung di langit, seolah-olah awan hitam itu seperti bayangan bapak dan ibu.
Bapak mengatakan bahwa ibu bunuh diri karena sudah tidak sanggup menjalani hidup dengan penyakit vertigonya yang sewaktu-waktu bisa kumat. Tetapi, aku melihat di pundak ibu ada luka lebam. Luka di dahinya juga belum kering.
Aku sering melihat mereka berdua bertengkar. Kata ibu, bapak main serong dengan janda seberang. Ibu sering diberitahu oleh para tetangga bahwa bapak sering main ke warung janda itu. Bahkan tidak hanya satu atau dua tetangga yang melihat pengkhianatan bapak, tetapi sudah banyak tetangga yang bilang.
Rumah tangga ibu dan bapak semakin meruncing. Tidak ada lagi ketenteraman. Aku hanya bisa melihat mereka cekcok dan aku tidak tahu cara menghentikannya. Di dalam hatiku, ada perasaan sedih sekaligus kesal.
Awalnya ibu sedikit tidak percaya dengan omongan tetangga. Tetapi telinga ibu seperti dikerumuni lebah karena banyak tetangga yang menggunjing bapak. Bahkan, suatu hari bapak tidak pulang ke rumah kemudian ibu mencarinya. Ternyata bapak di warung itu.
Awalnya ibu bisa memaafkan bapak. Tetapi, bapak mengulangi kesalahannya lagi. Dari situlah keretakan rumah tangga kedua orang tuaku di ujung tanduk. Tetapi tak banyak yang bisa dilakukan ibu. Ibu sendiri tidak punya sanak keluarga, hidup sebatang kara. Ia tetap bisa bertahan meski itu menyakitkan. Lagi pula, ia ingin mempertahankan rumah tangganya demi aku.
“Tolong hargai aku sebagai perempuan,” ucap ibu sambil menangis. Tetapi hal tidak digubris oleh bapak.
Ketika aku melihat bapak sedang memukul ibu, hatiku bagaikan tersayat pisau tajam. Bapak seperti kerasukan setan saat menganiaya ibu. Waktu itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain memendam amarah atas perilaku bapak. Hatiku hancur melihat ibu babak belur.
Malangnya nasib ibu, setelah ibu meninggal, lantas orang-orang tidak mau merawat jenazahnya. Menurut mereka, bagi orang yang mati bunuh diri, jenazahnya tidak perlu dirawat.
Di usiaku yang masih enam tahun, aku memberanikan diri untuk mengatakan bahwa ibu bukan mati bunuh diri. Orang-orang melongo. Semua mata tertuju padaku.
“Apa yang kau katakan!” ucap bapak bernada tinggi.
Pelupuk mataku menggenang. Mataku menatap bapak dengan penuh kebencian. Orang-orang mengisyaratkan agar aku mengucapkan sesuatu. Dada sesak dan mataku terasa panas.
“Ibu dibunuh. Ibu diracun!”
Setelah itu, sebuah tangan perkasa mendarat di pipiku. Terasa panas dan ngilu. Beberapa orang mengadang bapak untuk tidak terus-terusan memukuliku. Bapak terus mengucap sumpah serapahnya, mengutuki anaknya sendiri. Ia bilang, aku adalah anak setan, babi, asu buntung, anak lonte.
Hal itulah yang membuat kenangan-kenangan buruk tentang bapak berubah menjadi sebuah gumpalan awan hitam, membentuk angin puting beliung di dadaku. Sampai kapan pun, peristiwa itu tidak bisa terhapus dari ingatanku.
Ketika bapak pulang ke rumah dalam kondisi mabuk, ia benar-benar seperti kerasukan setan. Ibu sering kali hampir terbunuh oleh kebengisan bapak. Minuman keras telah meracuni akal sehat bapak sehingga ia berani mencekik leher ibu. Untung ibu bisa melepaskan diri dari cengkeraman bapak dan berlindung di bahu nenek.
Sering kali, aku melihat ibu dan bapak bertengkar hebat. Puncaknya ketika tiga hari sebelum ibu meninggal, setelah bapak tidak pulang ke rumah selama dua hari.
Aku pun sebenarnya tidak mau mengingat-ingat lagi kejadian ibu dianiaya bapak, tetapi, ingatan itu selalu muncul di waktu-waktu tertentu. Aku ingat, bibir ibu berdarah akibat lemparan sepatu. Dan bapak berteriak-teriak, berkata kasar mengutuk Ibu.
“Perempuan tidak berguna. Dasar perempuan pincang!” teriak bapak.
Bapak selalu merundung ibu. Merundung istrinya sendiri, seorang perempuan yang menjadi ibu dari anak semata wayangnya. Dan hal itu di antara sikap bapak yang aku benci. Ia tidak hanya melukai fisik ibu, tetapi ia juga melukai hatinya.
Dua hari sebelum ibu meninggal, ibu sempat sakit. Vertigonya kumat. Ia sering mengeluhkan kepalanya sakit dan merasa seperti sedang berputar-putar. Tetapi ibu tidak mungkin mengakhiri hidupnya karena lelah dengan penyakitnya.
Aku sangat mengenal ibu. Ia perempuan yang taat, tidak pernah meninggalkan sembahyang kecuali ada uzur. Perangainya juga baik. Dengan mertuanya juga sangat baik. Tidak mungkin ibu melakukan tindakan pengecut seperti itu. Ia perempuan yang kuat. Menghadapi kelakuan bapak yang ugal-ugalan saja kuat, apalagi hanya karena penyakit vertigo.
Nasib ibu saja yang kurang beruntung memiliki suami yang buruk akhlaknya. Orang-orang dusun juga tahu jika bapak adalah orang yang tidak baik. Mereka juga tahu bahwa bapak sering berlaku kasar kepada ibu.
***
Aku ingat betul, jenazah ibu hampir tidak dirawat karena mati bunuh diri. Menurut orang-orang, kematian karena bunuh diri dianggap sebagai kematian yang hina, tidak pantas untuk dirawat dengan baik. Tidak perlu dimandikan, tidak perlu dikafani, tidak perlu disalati.
Untung ada Mbah Karim yang menyuruh orang-orang untuk tetap merawat jenazah ibu. Ia memaksa mereka untuk merawat jenazah ibu sebagaimana jenazah pada umumnya. Bahkan orang baik itu, menjanjikan upah untuk mereka yang bersedia.
Sebagian dari mereka juga meragukan kesaksian bapak. Tetapi mereka juga tidak bisa menyangkal karena adanya bukti bahwa di ranjangnya ada racun. Dari mulutnya mengeluarkan busa. Di samping tempat pembaringan, ada sebuah gelas berisikan air minum bercampur racun, diduga racun tikus.
Dari kesaksian bapak, ibu telah meminum racun karena ia sudah putus asa menghadapi penyakit vertigonya yang sering kambuh. Tetapi aku pun meragukannya, bahkan aku juga berprasangka buruk terhadap bapak, jangan-jangan bapaklah dalang dari kematian ibu yang sengaja membubuhkan racun di dalam minuman ibu.
***
Setelah kepergian ibu, bapak izin kepada nenek untuk merantau ke Kalimantan bersama tetangganya. Bapak juga berpamitan denganku. Selama hampir enam bulan, bapak sekalipun tak berkabar.
Sering kali nenek menanyakan kabar anaknya kepada tetangga. Namun mereka juga sudah kehilangan jejak karena sudah tidak satu mess.
Suatu hari, ketika bapak sudah meninggalkan rumah sepuluh bulan, ada kabar duka menimpa kami. Bapak dikabarkan meninggal karena penyakit AIDS. Jenazah bapak dikuburkan di sana.
Itu artinya aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi kecuali nenek. Tetapi dalam kurun seminggu sekali, seusai salat Jumat, aku mengunjungi makam ibu, membersihkannya, mendoakan ibu dan bapak, semoga diampuni dosa-dosanya. Setidaknya, jika aku merasa sendiri masih ada nenek dan nama Ibu di batu nisannya.
ilustrasi: wallhere.