Menelaah Piagam Madinah sebagai Konstitusi Modern

25 views

Masih sering terjadi perdebatan apakah keberadaan suatu negara yang didasarkan pada konstitusi (paham konstitusionalisme) bertentangan atau tidak Al-Qur’an. Pada titik yang ekstrem, bahkan ada yang menyebut, jika secara legal-formal tidak didasarkan pada Al-Qur’an, bisa dianggap sebagai negara kafir (thogut). Benarkah demikian? Bagaimana Islam sendiri memberi panduan soal pengelolaan sebuah negara?

Maqashid Syari’yyah

Advertisements

Islam yang diajarkan dan dibawa oleh Nabi Muhammad SAW membawa berbagai aspek kehidupan yang inheren dengan kehidupan manusia. Aspek kehidupan yang diatur dalam ajaran Islam berorientasi pada maqashid syar’iyyah atau tujuan-tujuan dasar syariat. Di dalanya mengandung penjagaan terhadap lima hal pokok, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima hal pokok tersebut menjadi orientasi ajaran Islam karena eksistensi kehidupan manusia tidak akan berarti tanpa adanya kelima pilar tersebut.

Namun, disadari juga bahwa kelima pilar syariat tersebut tidak akan dapat tegak dengan sempurna tanpa adanya payung yang menaunginya, yaitu negara. Artinya, untuk menegakkan syariat dipersyaratkan adanya sebuah negara. Dan negara dengan pemerintahan yang kuat dapat menjaga tegaknya pilar-pilar maqashid ayar’iyyah tersebut. Kemudian, disintegrasi negara karena vakumnya pemerintahan dapat menjadi sebab tidak tegaknya syariat, sebagaimana yang terjadi pada permulaan Islam di bawah cengkeraman kaum kafir Quraisy Makkah.

Berkaitan dengan itu, fakta sejarah mencatat bahwa pada saat umat Muslim belum memiliki kedaulatan sendiri, berbagai gangguan represif dari luar harus mereka terima. Tidak sedikit umat Muslim yang bahkan sampai harus disiksa lantaran strata sosial menempatkan mereka pada posisi minoritas. Superioritas kekuasaan kaum kafir Quraisy terlihat sangat mendominasi, hingga akhirnya umat Muslim mendapatkan perintah ilahi untuk hijrah dari kota suci dan tanah kelahiran mereka tersebut.

Pasca hijrahnya umat Muslim ke Yatsrib, Rasulullah mengadakan perjanjian dengan penduduk asli kota tersebut dan mengubah nama kotanya menjadi Madinah. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara menjelaskan bahwa perjanjian yang kemudian disebut Piagam Madinah tersebut mengatur butir-butir kesepakatan mengenai pertahanan dan ketertiban kota. Di samping itu, diatur pula jaminan hak, kebebasan, dan persamaan hukum dalam piagam tersebut. Oleh karenanya, beberapa sarjana seperti Montgomery Watt dan Nicholson menyebutnya sebagai konstitusi dalam pengertian konstitusi modern dewasa ini (Asshiddiqie, 2022, pp. 84 – 85)).

 Anasir Paham Konstitusionalisme

Konstitusi sebagai dasar dikonstruksinya paham konstitusionalisme merupakan bentuk perasan dari kontrak sosial sebagai manifestasi kedaulatan rakyat. Teori Kontrak Sosial mewajibkan adanya kesepakatan masyarakat di suatu tempat untuk membentuk negara yang berdaulat.

Dalam bukunya, Konstitusi HAM, Kurnia menyebutkan bahwa kesepakatan tersebutlah yang mengatur perihal bentuk negara dan memberikan kekuasaan bagi berjalannya pemerintahan negara tersebut. Tanpa adanya konstitusi, maka kekuasaan negara menjadi tidak sah (Kurnia, 2014, p. 7).

Dalam pandangan konstitusionalisme modern, konstitusi dibentuk agar memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Konstitusi tidak lagi dibentuk hanya sebatas keperluan institusional belaka, namun mengarah kepada tujuan luhur dan substantif.

Paham ini muncul sebagai bentuk antitesis dari berlakunya hukum yang hanya mementingkan aspek formal dan institusionalnya. Sebagai contoh, pembantaian Nazi Jerman pada Perang Dunia II dilandasi formalisme hukum yang memberikan legitimasi setiap kebijakan pemerintah. Oleh karena itulah aliran formalisme hukum sudah mulai ditinggalkan karena tidak lagi berorientasi pada keadilan (Kurnia, 2014, pp. 39 – 41).

Di samping itu, paham konstitusionalisme modern juga menuntut adanya pembatasan kekuasaan agar tidak terciptanya kesewenang-wenangan pemerintah. Dalil aqli atau logis yang paling sering dijadikan argumen adalah “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Hakikat kekuasaan dapat memunculkan keserakahan sehingga sangat logis pembatasan kekuasaan harus dilakukan.

Oleh karena itu, konstitusi yang memberikan batasan kekuasaan kepada pemerintah, maka hanya konstitusi sendirilah yang dapat membatasinya. Suatu negara negara yang tidak menerapkan minimal dua prinsip tersebut, yaitu pembatasan kekuasaan dan jaminan HAM, maka tidak dapat disebut sebagai negara yang konstitusional.

Piagam Madinah vs Konstitusi

Piagam Madinah yang mengandung kesepakatan antara umat Muslim dengan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai penduduk asli kota tersebut terdiri dari 47 butir perjanjian. Butir-butir perjanjian tersebut jika ditelaah dan diklasifikasikan berdasarkan isinya, maka dapat dilihat nilai-nilai luhur seperti persatuan, persamaan, dan jaminan hak. Prinsip persatuan tercantum jelas pada Pasal 1. Prinsip persamaan dan jaminan hak ditegaskan pada Pasal 24 yang menyatakan bahwa tidak ada pembedaan antara umat Muslim dan lainya. Mereka memiliki hak beragama masing-masing yang harus dijaga dan dihormati (Asshiddiqie, 2022, p. 84). Sementara, Pasal 37, 38, dan 44 Piagam Madinah bahkan menegaskan bahwa mempertahankan kota Madinah merupakan kewajiban setiap pihak tanpa adanya pembedaan. Jaminan atas hidup yang termasuk HAM juga ditegaskan dalam Pasal 14.

Dengan menelaah prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam Madinah, maka adalah suatu hal yang logis bahwa beberapa sarjana bahkan termasuk sarjana Barat mengakui Piagam Madinah sebagai konstitusi modern pertama. Ide-ide mengenai jaminan hak dan persamaan yang menjadi orientasi utama paham konstitusionalisme menjelma ke dalam butir-butir piagam tersebut. Walaupun beberapa sarjana lainnya menolak mengatakan bahwa Piagam Madinah sebagai konstitusi modern pertama, tetapi piagam tersebut tetap dinilai sebagai inovasi bersejarah bagi perkembangan paham konstitusionalisme modern (Asshiddiqie, 2022, p. 87).

Dunia Islam pada hakikatnya tidak tertinggal dengan ide-ide yang diusung Barat oleh para pemikir dan sarjananya. Sejarah dunia Islam juga memiliki perkembangan peradaban pemikirannya sendiri, termasuk pula pemikiran ketatanegaraan. Ide-ide modern yang baru berkembang pasca Revolusi Perancis 1789 tersebut sudah didahului oleh inovasi dunia Islam. Sebelum Barat mengenal ide-ide persamaan, jaminan hak, dan persatuan, Islam telah mengenalnya terlebih dahulu. Dengan demikian, sejatinya paham konstitusionalisme yang secara kulitnya berasal dari Barat karena mengandung terminologi non-Arab sejalan dengan ajaran Islam sebagaimana yang tertuang dalam Piagam Madinah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan