Meneladan Dua Umar: Sosok Pemimpin Adil dan Asketis

858 kali dibaca

Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely– Lord Acton.

Lord Acton, sejarawan besar Inggris yang hidup pada abad ke-19 mendalilkan bahwa kekuasaan memiliki kecenderungan korup, dan kekuasaan mutlak sudah pasti korup.

Advertisements

Tapi, dalil Lord Acton tersebut tidak berlaku bagi dua tokoh pemimpin Islam yang diakui dan dikenang sebagai simbol keadilan dalam sejarah Islam berkat keberhasilan kepemimpinannya.

Dua tokoh tersebut sukses memberi teladan kepada para pemimpin dunia melalui tindakan dan kebijakan-kebijakannya yang nyata. Keduanya dikenal sebagai pemimpin negara yang sangat pro-rakyat. Kebetulan, nama dua tokoh tersebut sama-sama Umar. Yang pertama Umar bin Khattab dan yang terakhir Umar bin Abdul Aziz.

Umar bin Khathab

Umar bin Khattab merupakan khalifah kedua periode Khulafaurrasyidin setelah Abu Bakar. Kepemimpinannya dinilai paling sukses dan cemerlang sepanjang periode tersebut. Hal ini dapat dilihat, misalnya, dari perluasan wilayah Islam saat itu yang mencapai Romawi dan Persia.

Pada tahun 638 M, Kota Yerusalem takluk dan menjadi salah satu wilayah kekuasaan Islam. Sang khalifah datang untuk menandantangani secara langsung perjanjian damai dengan penduduk kota. Sebuah fenomena menarik terjadi, ketika Umar memasuki kota sambil menuntun unta yang dinaiki ajudannya. Sontak peristiwa ini membuat para penduduk kota terheran-heran dan tidak percaya. Bagaimana mungkin, seorang pemimpin tertinggi negara melakukan hal demikian.

Sebelumnya, sang khalifah dan ajudan sepakat untuk menaiki unta itu secara bergantian. Saat mendekati Yerusalem, tibalah bagian ajudan menaiki unta dan Umar yang berjalan kaki menuntunnya.

Karena merasa tidak enak hati dan demi menjaga kehormatan sang khalifah, ajudan menawarkan agar sang khalifah bersedia untuk tetap menaiki unta. Namun, tawaran tersebut ditolak dengan mengatakan,  “Kehormatan Islam sudah cukup bagi kita.” Ini merupakan suatu tindakan yang mencerminkan sosok pemimpin yang tidak gila hormat dan jabatan.

Tidak berhenti di situ. Sebuah peristiwa menarik lain pun terjadi. Ketika waktu salat tiba, sang uskup menawarkan kepada Umar untuk melaksanakan salat di dalam Katedral. Namun, dengan kebesaran hati dan tingginya rasa toleransi, Umar menolak dengan alasan tidak ingin memberikan legitimasi kepada siapapun untuk mengubah tempat peribadatan umat Nasrani tersebut menjadi masjid.

Kehidupan Umar sebagai pemimpin tergolong sangat sederhana. Kesederhanaan itu tampak, misalnya, ketika Umar terlambat datang untuk menyampaikan khutbah Jumat karena harus menjahit satu-satunya pakaian yang dimiliki. Bukan karena tidak memiliki cukup harta, sebagai seorang pemimpin bisa saja ia membeli pakaian mewah. Tetapi kezuhudan yang tertancap dalam hati, membuat Umar membenci terhadap kemewahan dunia.

Selama menjadi pemimpin, Umar pun tidak tinggal di istana layaknya seorang raja. Ia memilih tinggal di sebuah rumah yang jauh dari kata mewah di dekat masjid Nabawi. Bahkan, tak jarang ia tidur siang di emperan masjid di bawah pohon kurma.

Sebagai khalifah, Umar sangat peduli dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap kesejahteraan rakyatnya. Saat malam hari tiba, ia kerap kali berkeliling ke rumah-rumah warga untuk mengecek keadaan mereka.

Suatu malam, dari kejauhan Umar melihat ada nyala api. Setelah didekati, ia menemukan seorang janda yang sedang memasak sebongkah batu. Dari dalam rumah, terdengar suara tangisan anak kecil. Ternyata, karena tidak memiliki apapun, janda tersebut sedang pura-pura memasak sesuatu untuk menghibur anak-anaknya.

Peristiwa itu membuat sang khalifah merasa iba. Bagaimana mungkin sebagai pemimpin ia tega membiarkan rakyatnya dalam keadaan kelaparan dan menderita. Ia pun segera mengambil sekarung gandum dan bahan-bahan makanan dari baitul mal dengan memanggulnya seorang diri. Ketika seorang pelayan melihatnya dan menawarkan diri untuk membantu, Umar menolak dengan berkata: “Demi Allah apakah engkau mau mengangkat bebanku kelak di hari kiamat?”

Umar bin Abdul Aziz

Sosok Umar yang kedua adalah Umar bin Abdul Aziz. Ia seorang raja dari Dinasti Umayyah yang sangat dikagumi umat Islam seluruh dunia. Ia pun dijuluki sebagai “khalifah kelima yang mendapatkan petunjuk”.

Ia naik takhta pada tahun 717 M setelah ditunjuk oleh raja sebelumnya, Sulaiman, untuk menggantikan posisinya.Umar bin Abdul Aziz adalah figur pemimpin yang sangat asketis. Mungkin, ia mewarisi kesederhanaan Khalifah Umar bin Khattab yang secara genealogi masih terhitung sebagai kakeknya dari jalur ibu.

Meski menjabat sebagai penguasa tertinggi Dinasti Umayyah, hidupnya jauh dari hedonisme. Alih-alih tinggal di istana yang mewah nan megah, Umar justru memilih mendirikan tenda sebagai tempat tinggalnya.

Ia melawan tradisi keluarga kerajaan Umayah, di mana raja baru akan mengumpulkan harta penguasa sebelumnya untuk kemudian dibagi-bagikan kepada sanak famili kerajaan. Umar lebih memilih menyerahkan seluruh harta tersebut ke baitul mal yang difungsikan sebagai kas negara.

Secara radikal, ia mengoreksi dan mengubah semua kebijakan-kebijakan pendahulunya yang represif dan merugikan rakyat. Umar mengembalikan semua barang, properti, dan lahan yang diambil dari rakyat secara ilegal. Bahkan aset-aset para pejabat dan keluarga istana hasil kejahatan politik disita dan dikembalikan kepada rakyat. Praktis, tindakan politiknya menjadikan ia sebagai sosok yang populer dan sangat dicintai di kalangan rakyat, sekaligus menjadi sosok yang sangat dibenci di kalangan para pejabat dan para penghuni istana.

Umar bin Abdul Aziz juga dikenal sebagai pemimpin jujur yang sangat anti menggunakan fasilitas negara untuk keperluan pribadi maupun keluarganya. Bahkan, sebatang lilin di ruang kerja akan segera dipadamkan apabila sudah tidak ada tugas yang berkaitan dengan kepentingan negara.

Pernah, suatu ketika, Umar yang sedang bekerja, tiba-tiba mendengar suara ketukan pintu. Setelah mengetahui bahwa orang yang berada di balik pintu adalah anaknya, ia segera memadamkan lilin yang tengah dipakai. Seketika, ruangan menjadi gelap gulita. Setelah putranya mepertanyakan tindakannya, Umar beralasan lilin itu dibeli dengan kas negara, maka tidak sepatutnya digunakan untuk keperluan pribadi dan keluarga.

Masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz memang tidak berlangsung lama, hanya sekitar dua tahun. Meski tergolong singkat, namun sejarah mencatat namanya sebagai sosok pemimpin sejati yang patut diteladani uswahnya. Pemimpin yang rela berkorban dan memilih hidup sederhana demi kesejahteraan rakyatnya.

Pemimpin Hari Ini

Hari ini, melalui kemudahan informasi di internet, dengan mudahnya rakyat menyaksikan para pejabat publik yang hidup dalam kemewahan, pergi ke mana-mana menggunakan fasilitas negara. Bahkan, sekadar untuk bertamasya yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan negara sekalipun. Tanpa merasa malu dan simpati terhadap penderitaan rakyat, mereka memamerkan kemewahan tersebut di media massa.

Sudah saatnya para pejabat di negeri ini memperbaiki diri dengan menjadikan dua Umar ini sebagai sosok inspirasi dan teladan. Rakyat sekarang sungguh sangat merindukan kemunculan sosok pemimpin seperti dua Umar yang tegas, berani, adil, bijaksana, sederhana, dan pro-rakyat.

Ilustrasi: jurnalnews.com.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan