Meneladan Gus Dur sebagai Akhul Mustad’afin

17 views

Bulan Desember dikenang sebagai bulan Gus Dur, lantaran tepat dengan peringatan haul Gus Dur. Dalam tradisi NU, haul seorang kyai biasanya diperingati pada bulan Qomariyah, namun tidak dengan haul Gus Dur. Beliau wafat pada tanggal 30 Desember 2009, itu artinya, bila dikonversikan ke dalam kalender hijriah beliau wafat pada 14 Muharram 1431H. Haul Gus Dur diperingati pada bulan Desember, sesuai dengan bulan wafatnya KH Abdurrahman Wahid, bapak pluralisme tersebut.

Pada peringatan Haul Gus Dur 2024 ini, tema yang diangkat adalah, “Menajamkan Nurani untuk Membela yang Lemah”. Tema ini dirasa tepat dengan kondisi masyarakat saat ini, di mana norma-norma kebenaran sering kurang tepat, dan kadang berbanding terbalik dengan norma hukum yang sebenarnya.

Advertisements

Peringatan haul Gus Dur dengan tema tersebut juga menjadi sebuah momentum untuk merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan pluralisme yang diwariskan oleh KH Abdurrahman Wahid, atau yang akrab dipanggil Gus Dur.

Dalam catatan kali ini, penulis tertarik untuk kembali mengangkat tentang bagaimana upaya Gus Dur dalam membela kaum lemah. Gus Dur, adalah ikon akhul mustad’afin, pembela kaum lemah, yang gagasannya melampaui batas.

Sebagai pemimpin, intelektual, dan ulama, beliau senantiasa membela hak-hak kemanusian mereka yang terpinggirkan, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Gus Dur menjadi sahabat kaum marjinal, masyarakat kelas bawah, atau juga kelompok minoritas di negeri ini. Gus Dur percaya bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan anugerah yang harus dirawat melalui toleransi dan keadilan.

Membela Minoritas dan Mustad’afin

Saat menjadi Presiden RI, Gus Dur mencabut larangan atas kebudayaan Tionghoa melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000. Ia mengembalikan hak-hak masyarakat Tionghoa untuk merayakan Imlek dan mempraktikkan tradisi leluhur mereka. Ini menjadi simbol keberpihakannya pada minoritas etnis yang selama puluhan tahun mengalami diskriminasi.

Tidak hanya itu, Gus Dur juga melindungi kelompok agama minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah. Baginya, negara harus hadir untuk memastikan bahwa semua warga negara, tanpa memandang keyakinan, mendapatkan perlindungan yang sama. Sikap ini sering membuatnya menjadi sasaran kritik, tetapi beliau tidak pernah mundur dari prinsip-prinsip kemanusiaannya.

Selain minoritas agama dan etnis, Gus Dur juga membela kaum mustad’afin —mereka yang lemah secara ekonomi dan sosial. Ia mendukung perjuangan petani Kendeng melawan pembangunan yang merusak lingkungan dan konsisten membela hak buruh untuk mendapatkan keadilan.

Pemikiran dan Tulisan Gus Dur

Pemikiran Gus Dur banyak dituangkan dalam tulisan-tulisannya, seperti dalam buku Prisma Pemikiran Gus Dur (1999). Beliau menekankan pentingnya kebebasan individu dan pluralisme, serta menghubungkan nilai-nilai Islam dengan prinsip demokrasi. Dalam pandangannya, toleransi adalah kewajiban spiritual yang berakar pada ajaran Islam, khususnya dalam konsep rahmatan lil ‘alamin.

Greg Barton, dalam The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid (2002), menyebut Gus Dur sebagai intelektual yang mampu menjembatani tradisi lokal dan gagasan modern. Dengan pemahaman mendalam tentang budaya pesantren dan filsafat Barat, Gus Dur melihat pluralisme sebagai jalan untuk memperkuat keadilan sosial dan harmoni antar umat beragama.

Warisan yang Tetap Hidup

Warisan Gus Dur tetap hidup melalui komunitas Gusdurian yang melanjutkan perjuangannya. Pada Haul ke-15 Gus Dur, tema “Menajamkan Nurani Membela yang Lemah” mengingatkan kita pada relevansi nilai-nilai perjuangannya. Alissa Wahid, putri Gus Dur, sering menegaskan bahwa ayahnya tidak hanya berbicara tentang toleransi, tetapi juga menunjukkan bagaimana nilai tersebut diterapkan dalam tindakan nyata.

Dalam kata-katanya yang terkenal, Gus Dur pernah berkata, “Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu.” Pesan ini mengajarkan bahwa membela kaum lemah bukan hanya tugas agama, melainkan juga tugas kemanusiaan.

Nilai-nilai yang diwariskan oleh Gus Dur terus menjadi inspirasi bagi generasi penerus untuk membangun Indonesia yang lebih adil, damai, dan inklusif. Ia adalah sosok yang menunjukkan bahwa keberanian dan ketulusan hati dapat membawa perubahan besar. Dalam kehidupan yang sering terpecah oleh konflik, warisan Gus Dur adalah pengingat bahwa pluralisme adalah kekuatan, dan membela yang lemah adalah panggilan kemanusiaan tertinggi.

Warisan Gus Dur adalah warisan kita semua: sebuah tugas untuk merawat toleransi, memperjuangkan keadilan, dan memperlakukan setiap individu dengan martabat yang setara.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan