Meneladan Toleransi dari Nabi

167 views

Sejarah membuktikan bahwa masa kejayaan Islam adalah pada kepemimpinan Rasulullah SAW 14 abad silam. Rasul meraih kesuksesan ini bukan karena di wilayah Islam pada saat itu tidak ada kaum nonmuslim. Justru, yang membuat pencapaian Nabi bermakna lebih tinggi karena berhasil membangun tatanan masyarakat ideal pada momen di mana kaum muslim dan nonmuslim hidup bertetangga, berdampingan.

Kedatangan Nabi Muhammad bersama kaum muslimin Mekkah disambut penduduk Madinah dengan gembira dan penuh rasa persaudaraan. Di sisi lain, Nabi Muhammad dan kaum Muhajirin juga menghadapi kenyataan dan tantangan baru dengan hijrah ke Madinah, yakni kenyataan untuk hidup berdampingan bersama masyarakat suku bangsa Arab yang belum masuk Islam dan kaum Yahudi yang lebih dulu menjadi penduduk Madinah.

Advertisements

Puncak tasamuh (toleransi) yang dibangun Nabi terhadap nonmuslim serta penuhnya rasa kasih kepada mereka adalah pada peristiwa Fathu Makkah, pada hari pembebasan Mekkah dari orang-orang jahiliyah. Ketika itu, Rasulullah bertemu kembali dengan orang-orang kafir Quraisy yang begitu membencinya. Tapi kali ini keadaannya berbeda. Rasul dengan segala kekuatannya bisa menghancurkan mereka hanya dalam hitungan menit, namun sikap Nabi Muhammad pada hari ini ditulis dengan tinta emas dalam sejarah.

Nabi bertanya, “Wahai, orang-orang Quraisy, menurut pendapatmu, apa yang akan kuperbuat terhadapmu sekarang?”

Mereka menjawab, ”Yang baik-baik! Wahai, saudara kami yang pemurah, sepupu kami yang pemurah!”

Nabi kemudian bersabda, ”Pergilah kamu sekalian. Kalian semuanya sudah bebas.”

Demikianlah, suatu pengampunan dan jalan damai yang dipilih. Sikap ini menunjukkan kebesaran jiwa yang sangat indah.

Sejarah juga merekam bagai Nabi juga melindungi para sahabatnya dari orang-orang kafir Quraisy sehingga Rasul rela dilempari batu dan darah mengalir di sekujur tubuhnya, Malaikat Jibril yang menyaksikan kejadian tersebut memohon izin kepada Rasulullah SAW untuk menghancurkan orang-orang yang melemparinya dengan batu, akan tetapi apa jawabannya?

“Jangan! Aku berharap Allah memberikan kepada mereka keturunan yang akan menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun.”

Dengan ini Nabi telah menunjukkan sikap memaafkan serta mendoakan orang-orang yang telah berbuat jahat terhadapnya, bahkan terhadap orang-orang yang telah memusuhinya. Dengan tindakan itu, mereka berbalik menjadi pendukung Islam yang sangat tangguh!

Di masa itu, perjuangan Nabi Muhammad untuk membangun toleransi terasa lebih sulit, karena harus bertetangga dengan nonmuslim yang justru tidak paham toleransi. Misalnya, kisah seorang tetangga Yahudi yang terus berusaha mencelakainya, sampai tiba suatu malam yang sangat gelap, Yahudi ini dengan sengaja melemparkan kotoran dan duri ke pelantaran rumah Nabi. Ketika terbangun di pagi hari dan mendapati itu semua, Nabi  hanya tersenyum setelah mengetahui perbuatan tetangga Yahudinya itu. Bahkan, selepas itu Nabi  selalu memperlakukannya dengan baik selayaknya adab bertetangga dalam Islam.

Selain itu, Rasulullah juga mencontohkan sikap keadilan. Alkisah, suatu hari ada sebuah perselisihan antara orang Yahudi dan orang Muslim yang dipicu masalah tawar menawar. Lalu orang Muslim membalas dengan hal yang tidak disukai oleh orang Yahudi, lantas orang Yahudi tersebut mengucapkan sumpah serapah. Orang Muslim itu pun tidak terima dan menampar orang Yahudi tersebut. Kemudian, orang Yahudi melaporkan kejadian tersebut kepada Rasul. Bukannya membela orang Muslim yang berasal dari kaumnya sendiri, Rasul bahkan menentang sikap orang Muslim yang menampar orang Yahudi tersebut karena itu termasuk tindak kekerasan.

Begeitulah, Nabi tidak pernah membeda-bedakan seseorang baik dilihat dari agama maupun suku. Nabi hanya membela kebenaran.

Setelah mencontohkan kepada sahabat-sahabat bagaimana cara menghiasi keberagaman dengan toleransi, Nabi mulai mengadopsi akhlak terpuji ini menjadi asas yang berlaku di tengah masyarakat, Lantas, pada 622 Masehi atau tahun pertama hijriah, Nabi Muhammad membuat perjanjian dengan berbagai kalangan yang terdiri dari beragam suku, ras, dan agama di Yatsrib, yang dikenal dengan sebutan Piagam Madinah.

Piagam Madinah berisi pernyataan bahwa para warga muslim dan nonmuslim di Yatsrib (Madinah) adalah satu bangsa, dan orang Yahudi dan Nasrani, serta nonmuslim lainnya akan dilindungi dari segala bentuk penistaan dan gangguan. Dalam Piagam Madinah yang dideklarasikan Nabi Muhammad tersebut, terdapat 47 pasal yang mengatur sistem perpolitikan, keamanan, kebebasan beragama, serta kesetaraan di muka hukum, perdamaian, dan pertahanan.

Demikian kita mendapati betapa sejahteranya masyarakat pada masa itu. Hidup dengan perbedaan dan keberagaman, dan segala perbedaan tidak membuat mereka terpecah, justru menjadikan perbedaan itu sebuah keberagaman yang patut untuk dilestarikan.

Semoga tulisan ini lekas membuat kita lebih sadar, bahwa tasamuh penting kita hadirkan untuk menikmati manisnya keberagaman. Hal ini sesuai dengan isyarat Al-Quran: “La ikraha fiddin,” tidak boleh ada paksaan bagi manusia untuk memeluk agama tertentu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan