I
Tulisan ini merupakan catatan lapangan sewaktu penulis mendampingi seorang kawan yang sedang melakukan penelitian tentang pendidikan Islam moderat di salah satu sekolah menengah pertama di Jepara.
Hal ini bermula ketika kawan penulis menyusun skripsi atas bimbingan seorang dosen. Dosen pembimbing meminta kepada kawan penulis untuk mempertajam teori tentang Islam moderat. Rupanya, dosen pembimbing itu dapat melihat seluk beluk luar-dalam Islam moderat di bunga rampai yang disunting oleh Noorhaidi Hasan, Najib Kailani, dan Munirul Ikhwan ―ilmuan-ilmuan mu’tabaroh soal isu keislaman dan keindonesiaan asal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Maka, dikutiplah buku itu oleh kawan penulis sebagai referensi utama tentang teori Islam moderat.
Bunga rampai itu pada intinya mengatakan bahwa, Islam moderat adalah tentang wawasan horizontal seorang muslim dalam bermasyarakat. Isinya meliputi aspek: penerimaan dan dukungan terhadap sistem sosial-politik yang mapan; penerimaan dan dukungan hak asasi terhadap kelompok yang berbeda identitas; toleransi kehidupan; menolak terhadap kekerasan; dan mengakui kewargaan terhadap mereka yang berbeda identitas.
Dengan demikian, Islam moderat, ditegaskan dalam bunga rampai itu, adalah salah satu dari beberapa spektrum, seperti progresif, inklusif, moderat, konservatif, ekslusif, radikal, dan ekstrem. Progresif dan inklusif sangat mendukung aspek-aspek tersebut. Moderat cenderung pasif (menerima) terhadap semua aspek tersebut.
Konservatif juga pasif terhadap beberapa aspek, namun menolak kewargaan identitas liyan. Ekslusif pasif terhadap sistem dan kekerasan, tapi menolak toleransi dan kewargaan liyan. Sedangkan, radikal dan ekstrem, keduanya sama-sama menolak sistem, menolak toleransi, dan menolak kewargaan liyan. Bedanya, radikal pasif terhadap kekerasan, sementara ekstrem prokekerasan.
Singkat cerita, setelah penajaman teori itu rampung, berangkatlah kami ke sekolah yang menjadi objek penelitian kawan penulis. Ia mewawancarai kepala sekolah, guru, wakil kepala bagian kurikulum, dan siswa. Kami terkejut, ternyata banyak jawaban dari petinggi sekolah yang merefleksikan imajinasi yang cukup berjarak dari konsep Islam moderat. Misalnya:
“Gurupun menghadapi kendala dalam upaya pembinaan akhlak anak. Sering terlihat beberapa guru yang merasa kecewa dengan perilaku-perilaku siswa yang tidak sesuai dengan ajaran Islam moderat, seperti saat belajar berlangsung ada siswa bermain HP, ribut, tidak mendengar apa yang dijelaskan oleh guru dan tidak sopan terhadap guru-guru dan sering membuat onar di sekolah seperti bolos sekolah, menganggu teman, tidak ikut sholat berjamaah” (Guru Agama).
“Penanaman nilai Islam moderat adalah pembelajaran yang mengedepankan hal-hal yang bernuansa demokratis, yaitu suasana pembelajaran yang saling menghargai adanya kebebasan berpendapat dan mengungkapkan gagasan, serta keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas.” (Kepala Sekolah).
Penulis melihat hal ini bukanlah karena perbedaan ideologi. Sebab, sekolah yang kami datangi adalah sekolah di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) dan berlokasi di lingkungan NU. Namun, penulis melihat bahwa hal ini lebih karena disebabkan adanya kesenjangan paham kemoderatan antar-sekolah atau bahkan institusi pendidikan.
II
Mengapa? Karena, pertama, walaupun NU memiliki gema kuat tentang Islam moderat di sana sini, namun formulasi Islam moderat yang rigit belum tentu terdistribusi secara merata di seluruh sekolah yang berafiliasi dengan NU. Di lain pihak, Kementerian Agama juga memang telah menerbitkan modul atau bahkan rumusan kurikulum soal pendidikan Islam moderat, namun lagi-lagi, hal ini juga belum tentu merata di tiap sekolah.
Kalaupun, missal, suatu sekolah telah menerima modul ataupun rumusan kurikulum itu, maka masalah berikutnya adalah soal komprehensi pemahaman tenaga pendidik tentang Islam moderat. Dengan kata lain, masalah ketidak-merataan tidak hanya tentang distribusi, tapi juga tentang ketidak-merataan komprehensi pemahaman.
Kedua, senjangnya jarak antara teori Islam moderat yang kawan penulis kutip di skripsinya dan jawaban petinggi sekolah yang ia wawancarai, menyiratkan bahwa sepertinya peran peguruan tinggi sebagai ujung tombak ilmu pengetahuan dan penelitian belum banyak tersinkronisasi dengan sekolah, khususnya menyangkut soal distribusi hasil ataupun rekomendasi penelitian.
Atau mungkin, boleh jadi hubungan keduanya terhambat karena masalah jarak. Sehingga distribusi informasi atau pengetahuan cenderung mapan bagi sekolah yang dekat kampus, sementara sekolah di daerah luar masih perlu bersabar lebih lama.
Ketiga, istilah-istilah seperti Islam moderat, Islam Nusantara, dan konsep ke-NU-an sejenis adalah istilah besar yang pastinya memiliki keberagaman spektrum ketika dihayati oleh beragam kalangan. Keterkejutan penulis dan kawan penulis mungkin disebabkan karena selama ini kami hidup dalam gelembung kampus yang tanpa kami sadari telah membiasakan kami dengan wajah akademik Islam moderat.
Padahal, di kehidupan sehari-hari di luar kampus, artikulasi Islam moderat dapat sangat beragam. Ada kalangan yang secara kultural dan laku hidup sejak kecil memang sudah moderat, namun ia tak tahu bagaimana membahasakan Islam moderat. Ada juga yang sebaliknya. Tapi juga ada yang secara kultural dan laku hidup memang sudah moderat, namun kesulitan untuk membahasakannya karena kompleksitas konsep, abstraksi, ataupun tuntutan birokrasi, sehingga ia terbawa pada rumusan yang mungkin tidak sefasih kalangan ‘menara gading’.
III
Membiarkan tiga hal itu dapat memperbesar risiko bahaya. Kasus SMP yang menjadi objek penelitian kawan penulis mengingatkan penulis pada almamater dulu sewaktu Aliyah (SMA), di mana ada seorang guru perempuan mata pelajaran umum yang selain sering mengunggah kegiatan sekolah yang notabene adalah kegiatan ala NU (ngaji kitab, marhabanan, dll), juga sering mengunggah konten-konten “hijrah” ataupun ustaz ternama seperti Felix Siauw dan Hanan Attaki.
Penulis dapat memahami mengapa Bu Guru dapat terpikat oleh konten tersebut. Di tulisannya Hew Wai Weng, The Art of Dakwah: Social Media, Visual Persuasion and the Islamist Propagation of Felix Siauw (2018), dikatakan bahwa perempuan memang menjadi target utama konten “hijrah” karena persuasi narasi jodoh, puitika visual yang syahdu, dan desain imut yang ditawarkannya.
Kasus Bu Guru di sekolah almamater penulis pada dasarnya menyiratkan bahwa, tidak semua tenaga pendidik di sekolah NU memiliki literasi yang cukup tentang spektrum gerakan Islam. Ini jelas menjadi celah. Karena, dalam kasus SMAN 04 Cirebon yang diceritakan oleh tulisannya Didin Nurul Rosidin, Muslim Fundamentalism in Educational Institution, dalam bunga rampai Islam in Indonesia: Contrasting Images and Interpretation (2013) yang disunting Jajat Burhanuddin dan Kees van Dijk, konservatisme merasuk ke sekolah melalui jejaring guru-guru atau tutor eskul.
Pemerataan pemahaman soal apa itu Islam moderat dan pembekalan peta gerakan Islam di sekolah, sepertinya adalah pekerjaan rumah yang perlu diprioritaskan, agar kesenjangan kesadaran antar-sekolah dapat segera teratasi, dan lembaga pendidikan NU tak perlu punya riwayat kecolongan (lagi).