Di kancah jagad maya yang semakin membentang luas, manusia dibebaskan berselancar ke sana- kemari mengikuti arus informasi. Dalam perkembangan zaman, istilah masyarakat kini turut beralih menjadi warganet atau netizen. Dalam KBBI sendiri disebutkan bahwa warganet merupakan orang yang aktif menggunakan internet.
Berdasarkan data yang disajikan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95 persennya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Situs jejaring sosial yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter (kini X). Indonesia menempati peringkat keempat pengguna Facebook terbesar setelah Amerika Serikat, Brasil, dan India.
Dari sini kita tahu bahwa warganet Indonesia merupakan pengguna jejaring sosial sangat aktif berselancar di media sosial. Kemudahan dapat dirasakan semua warganet di era digital ini. Dunia kini telah beralih dalam satu genggaman, mulai dari belanja, pembayaran virtual, bekerja, berkomunikasi sosial, dan masih banyak lagi.
Namun, banyak juga tantangan dan celah yang harus diperbaiki dari adanya perkembangan teknologi ini. Salah satu sisi negatifnya, yaitu adanya degredasi moral, etika, spiritual, dan seterusnya dalam bersosial di media sosial. Di titik inilah yang sangat membahayakan, apabila manusia era digital dibiarkan dalam cara pandang yang hedonistik dan materialistik.
Secara tidak sadar, hal ini tentunya akan menjerumuskan warganet pada suatu konflik global. Cara pandang duniawi sebagai tujuan utama dan mengabaikan nilai-nilai sosial dan ukhrawi. Norma-norma yang telah ditanam bertahun-tahun terkadang luntur hanya karena ambisi keperluan konten. Sungguh ironi.
Gaya hidup yang hedonis dan berlebihan, terkadang membuat warganet dari kalangan menengah ke bawah yang beli paket data saja masih susah, menjadi pribadi yang pesimis karena merasa berstatus sosial rendah. Rasa minder yang datang tiba-tiba membuat warganet berstatus sosial kelas bawah merasa tidak layak bersosial dengan warganet yang glamour dan bergaya hidup mewah.
Jurang pemisah antara si kaya dan si miskin akan tampak semakin nyata apabila konflik global ini tidak dikikis. Mengingat, di negeri sendiri saja masih banyak kaum papa yang kelaparan di pinggir jalan, gelandangan, fakir miskin, yatim piatu, dan korban bencana, dan sebagainya. Mereka juga layak mendapatkan perhatian khusus dan layak mendapatkan akses sosial.
Daripada memuaskan diri dalam lingkaran hedonistik, alangkah baiknya sebagai makhluk sosial kembali menumbuhkan sikap kemanusiaannya untuk mengulurkan tangan sebagai makhluk sosial. Mengingat, manusia dan jin diciptakan untuk beribadah. Ibadah tersebut mencakup ibadah spesial kepada Tuhannya dan ibadah sosial.
Jika kita mau menyadari, sebenarnya perkembangan teknologi menawarkan berbagai kemudahan. Salah satu kemudahan dengan cara sederhana, yaitu dengan mentasarufkan sebagian harta kepada berbagai wadah resmi zakat, infak, dan sedekah hanya dengan berapa kali klik saja, beres.
Dengan begitu, kebiasaan hedonistik akan menyusut. Tentunya, hal ini diniatkan lurus untuk mencari rida Allah. Sebagai bentuk pengaplikasian tasawuf, yang murni dipusatkan pada Allah semata. Sejatinya, harta dan apapun yang dimiliki hanyalah titipan yang akan kembali pada pemiliknya. Dalam perspektif sosial, istilah pemerataan ekonomi juga sangat dianjurkan sebagai bentuk kepedulian sosial meski dalam bentuk digital semacam itu.
Sejatinya, dengan wadah resmi penyaluran dana zakat, infaq, dan sedekah, uang juga akan didistribusikan ke sasaran yang tepat. Dalam istilah tasawuf, juga terdapat istilah zuhud yang mana letaknya di dalam hati, mengosongkan hati dari perkara duniawi. Adapun harta kekayaan cukup diletakkan di tangan saja. Tangan itulah yang nantinya akan dengan ringannya menyalurkan pada siapa pun yang membutuhkan atas dasar perintah Allah untuk saling mengasihi dan bersosial yang baik.
Orang yang sudah di tahap itu, hatinya bersih dari sifat tamak dan hedonistik karena telah dipenuhi cinta pada Tuhannya. Perasaan ingin dipuji makhluk sudah bukan tujuan, karena sejatinya rida Allah yang dicari. Sedangkan, rida Allah dapat ditempuh dengan banyak cara, salah satunya punya jiwa kasih sayang terhadap semua makhluk Allah, terlebih pada makhluk yang berstatus sosial rendah, terzalimi.
Dalam kitab fenomenal al Hikam karya syaikh Ibnu ‘Athoillah Assakandari menyebutkan:
غيّبْ نَظَرَالخلقِ اِليْكَ بِنَظَرِاللهِ اِليْكَ، وَغِبْ عَنْ اِقْبالهِمْ عَلَيْكَ بِشُهودِ اِقْبالِهِ عَلَيْكَ
Artinya: “Hilangkan pandangan makhluk kepadamu, karena puas dengan penglihatan Allah kepadamu, dan hilangkan perhatian (menghadapnya) makhluk kepadamu, karena yakin bahwa Allah menghadapimu.”
Tasawuf sosial dapat diwujudkan dengan hal-hal sederhana dari memberi tanpa pamrih, mengingat semua yang dimiliki adalah titipan semata.
Dunia dan segala perkembangan zaman yang tidak diimbangi dengan dasar etika sosial, moral, dan tasawuf akan sangat mengerikan. Bayangkan segala kecanggihan teknologi yang berkembang pesat, jika memang tidak balance dengan akhlak tasawuf, dunia akan terasa hampa, gelap gulita karena tiada cahaya yang berpijar di hati subjek-subjek digital itu sendiri. Konflik Internasional degredasi moral menyelimuti jagad media.
Saling acuh tak acuh, saling menjatuhkan, saling menyindir, saling mengolok dan sebagainya akan menjadi adat yang mengekor berkelanjutan. Itulah pentingnya etika dan tasawuf sosial sebagai cahaya di hati para subjek digital menapaki media sosial yang sangat masif.
Selayaknya kita tersadar betapa masifnya dunia digital yang tidak diimbangi dengan tasawuf sosial mengakibatkan media sosial keruh dan semakin mengeruh. Berbagai tsunami cuitan, sindirian, saling menjatuhkan golongan satu sama lain meningkat pesat. Syukur, saat ini kembali menyusut.
Tasawuf sosial di era ini, seminimalnya menerapkan konsep ihsan dalam bermedia sosial. Setiap warganet paling tidak, perlu mengaktualkan kembali bahwa apapun yang dilakukan manusia tidak lepas dari penglihatan Allah. Niscaya, jika manusia seperti kita merasa belum melihat Allah, kita harus yakin bahwa Allah melihat kita.
Warganet saat ini masih sangat haus dan mengalami kegersangan spiritual sehingga sudah selayaknya kaum-kaum intelektual, cendekiawan, ulama, santri, dan seluruh jajaran terdidik yang mempelajari ilmu-ilmu agama, terlebih tasawuf untuk lebih mengeksplor dan mengaktualkan ilmu yang telah dipelajari ke dalam dunia modern, terkhusus media sosial.
Kita perlu menerapkan kembali konsep kehidupan yang hakiki. Dengan begitu, warganet juga merasa lebih berhati-hati dalam menuangkan kalimat setiap hurufnya, perkataannya di setiap konten video, dan berbagai visual lain dalam media sosial. Karena, setiap sendi manusia akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Tidak menutup kemungkinan setiap history dan rekam jejak digital warganet dalam bermedia sosial juga dihisab. Wallahu a’lam bis showab.