Mengembara dalam Labirin Peradaban

21 views

*Catatan Perjalanan Ki Ageng Ganjur ke Vatikan (10)

Dari situs Forum Romana, rombongan Ki Ageng Ganjur terus berjalan kaki menyusuri lorong dan gang-gang kecil. Meski gang-gang sempit tapi tidak semrawut, dan cukup nyaman dinikmati untuk berjalan kaki.

Advertisements

Di sepanjang jalan yang kami lalui terdapat toko-toko suvenir yang menjual cendera mata berjajar di kiri-kanan jalan. Di antara toko suvenir terdapat kedai dan toko kelontong yang menjual makanan dan minuman ringan serta barang-barang kebutuhan sehari-hari.

Kami bisa memasuki jalan kecil dan lorong sempit karena dipandu oleh Mbak Damairia Pakpahan, seorang mahasiswa program S2 Universitas Gregoriana, Roma. Mbak Damairia adalah mantan aktivis mahasiswa tahun 1990-an, teman seperjuangan Al-Zastrouw, pimpinan Ki Ageng Ganjur. Mereka sudah berpisah puluhan tahun. Ketika itu, Damai menjadi aktifis LSM tinggal di Yogya, sedangkan Zastrouw menjadi penggerak budaya tinggal di Depok. Meski tidak bertemu, namun mereka sering saling kontak di dunia maya.

Karena sama-sama sedang berada di Roma, maka terjadilah pertemuan antara keduanya. Beruntung bertemu dengan Damairia, karena bisa dijadikan pemandu dadakan untuk mendampingi Ki Ageng Ganjur menjelajahi objek wisata di Roma. Meski sebagai tour guide amatir dan dadakan, namun Mbak Damai cukup menguasai lokasi dan tempat wisata yang kami inginkan. Dan sebagai seorang antropolog, dia dapat menjelaskan secara detail berbagai situs yang kami kunjungi. Ini yang membuat kami merasa beruntung didampingi Mbak Damairia.

Setelah sekitar 10 menit berjalan dari situs Forum Romana, kami sampai di kampus Universitas Gregoriana, tempat kuliah Mbak Damai. Kampus ini didirikan atas inisiatif Paus Gregorius XIII (1572-1585), sedangkan peletak dasar lembaga pendidikan ini adalah Santo Ignatius dari Loyola, bekas serdadu Basque yang akhirnya memilih jadi Imam. Dia dikenal sebagai pendiri Serikat Jesuit, suatu ordo yang dikenal peduli pada pendidikan. Menurut Adolf Keuken, nama universitas ini diambil dari Gregorius XIII, sang inisiator.

Saat awal dibuka pada 23 Februari 1551, lembaga pendidikan ini memiliki 60 mahasiswa dengan 15 dosen yang terbagi dalam lima kelas (Philip Charaman, 1981; 6). Pada mulanya kampus ini adalah sekolah tata bahasa dan doktrin kemanusiaan Kristen yang disebut sebagai Collegio Romano (Kolese Roma). Pada tahun 1552, saat dipimpin Julius III, kampus ini mendapat lisensi untuk memberikan gelar akademik kepada para mahasiswa Jesuit.

Pada masa kepausan Paul IV dan Paul V, di lembaga ini dikembangkan studi filsafat dan teologi. Kemudian, pada era kepausan Gregorius XII, tahun 1584, lembaga pendidikan ini menjadi universitas dengan studi-studi penting terkait kekristenan. Pada masa kekuasaan Klemens XIV, sempat terjadi konflik antara pihak kampus yang dikelola para Jesuit dengan penguasa Roma, sehingga pada tahun 1773 Takhta Suci Vatikan menyerahkan pengelolaan kampus pada klerus keuskupan. Pengelolaan kembali diserahkan pada Ordo Jesuit tahun 1814, setelah Ordo Jesuit tidak lagi dimusuhi penguasa Roma, yaitu ketika era kekuasan Paus Leo XII.

Saat ini, di Universitas Gregoriana tersedia sekitar 900 ribu buku mencakup bidang teologi, filsafat, kebudayaan, dan sastra. Kami tidak masuk ke dalam kampus, sehingga tidak dapat melihat koleksi perpustakaan dan fasilitas belajar lainnya. Karena waktu terbatas, kami hanya keliling di halaman dan berfoto di depan papan nama kampus. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke objek wisata berikutnya, yaitu Fontana di Travi.

Fontana di Travi adalah air mancur yang dirancang oleh Nicola Salvi pada tahun 1732, kemudian dilanjutkan oleh Gieseppo Pannini hingga selesai tahun 1762. Tinggi air mancur ini 26,3 meter dengan lebar 19,15 meter. Merupakan air mancur bergaya barok terbesar di Roma. Di sekitar bangunan terdapat patung Neptunus dan Triton, Dewa Laut, dan berpuluh kuda laut yang mengitari air mancur.

Di sekitar kolam ada deretan bangku panjang yang asyik untuk duduk santai. Inilah yang membuat tempat ini selalu ramai dikunjungi orang meskipun lokasinya berada di gang sempit dan diapit oleh deretan gedung dan toko-toko suvenir serta kedai makanan.

Tidak hanya keindahan artistik bangunan yang membuat wisatawan datang di tempat ini, tetapi ada mitos yang menarik masyarakat dunia. Ada mitos yang diyakini masyarakat saat berada di Fontana di Travi ini, yaitu barang siapa melempar koin di air mancur Fontana di Travi, maka diyakini akan dapat kembali ke tempat ini lagi.

Saat kami tiba, sudah banyak pengunjung yang memadati tempat ini. Mereka asyik berfoto sambil berjalan di atas jembatan yang berada di atas kolam. Sayangnya, saat itu air mancur di Travi sedang direnovasi. Kolamnya kering dan air mancurnya tidak jalan, jadi kami tidak dapat melihat atraksi orang melempar koin.

Setelah puas berfoto dan mengambil video dengan HP, perjalanan diteruskan menuju Pantheon, suatu bangunan kuil kuno yang menjadi ekspresi dari kejayaan Roma. Bangunan kuno ini dibangun oleh Agrippa antara tahun 27 sampai 25 SM. Agrippa membangun kuil Pantheon setelah mengalahkan Marc Antony dan Cleopatra di Actium.

Setelah menang perang, Agrippa kembali ke Roma sebagai pahlawan dengan kekayaan melimpah. Pada saat itulah dia memulai proyek pembangunan berskala besar di tanah pribadinya. Ada tiga bangunan besar yang dibiayai secara pribadi, yaitu Pemandian Agrippa, Basilika Neptunus, dan Pantheon. Basilika dan Pantheon kemungkinan besar dibangun untuk kepentingan pribadi, yaitu untuk pemujaan Dua Belas Dewa dan Sovran.

Pantheon yang dibangun Agrippa diperkirakan musnah terbakar pada tahun 80 dan 110 M. Pada masa pemerintahan Kaisar Hadrian dibangun kembali di lokasi yang sama hingga berdiri bangunan baru pada tahun 125 M.

Selain Pantheon yang terbakar, Hadrian juga membangun tembok Hadrian yang menjadi pembatas Kekaisaran Romawi utara di Inggris. Atas jasanya mendanai pembangunan besar-besaran ini, Hadrian mendapat pujian dari rakyatnya. Bangunan yang masih terlihat saat ini diyakini sebagai hasil rekonstruksi yang dilakukan oleh Hadrian.

Pada tahun 608, Paus Bonifasius memerintahkan agar jenazah para martir yang berada di Katakombe Kristen dipindahkan ke Pantheon. Sejak saat itu kuil Pantheon yang dulunya menjadi simbol agama pagan Roma secara resmi diubah menjadi kuil Kristen dan diberi nama Saint Maria ad Martyres.

Meskipun kami sampai di Pantheon sudah menjelang senja, tapi masih banyak pengunjung yang datang di tempat ini. Antrean membeli tiket masuk masih terlihat panjang mengular. Kami tidak masuk ke dalam Pantheon, hanya foto-foto di luar sambil membaca beberapa teks yang menjelaskan sejarah Pantheon yang dipasang di papan informasi.

Setelah puas menikmati keindahan Pantheon yang unik dan eksotis, menjelang pukul 05.00 sore kami kembali ke KBRI. Meski badan terasa capek karena jalan kaki berkilo-kilo, namun batin terasa puas menjelajah kota tua dengan bangunan bersejarah yang inspiratif dan penuh dengan memori. Kami merasa misi kebudayaan kita semakin komplit karena tidak saja berhasil melakukan dialog antariman, tetapi juga dialog antarperadaban.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan