Terkadang kita melihat sesuatu hanya sepintas dan dari kulit luarnya. Kita tidak benar-benar memahami dan mengerti terhadap suatu persoalan karena berbagai hal dan alasan. Umumnya disebabkan oleh kurangnya komunikasi atau tidak adanya sarana yang lebih jauh dan mendalam untuk memberikan informasi terkait suatu permasalahan. Padahal, mengetahui suatu persoalan dengan segala aspek bagiannya merupakan bentuk nilai kebaikan dalam kehidupan sosial.
Entitas Madura dengan stereotip suku yang keras, kasar, dan suka bertengkar (carok) adalah salah satu bukti bahwa pendekatan dan penelitian yang lebih jauh akan memberikan kejelasan. Sementara kita tidak akan tahu persis sikap dan karakter seseorang selama kita tidak langsung berhubungan dengan orang itu sendiri.
Maka, buku Madura dalam Pertaruhan Harga Diri ini adalah salah satu sarana untuk memperkenalkan jiwa kemaduraan yang sesungguhnya. Di sini kita akan disuguhkan nilai-nilai luhur terkait dengan suku Madura yang terkenal keras, ganas, dan kasar.
Madura dengan karakter kekerasannya semakin memuncak ketika terjadi seteru antara etnis Madura dengan etnis setempat di Sambas, Kalimantan Barat dan Sampit, Kalimantan Tengah. Konflik antar-etnis tersebut menyulut propaganda bahwa suku Madura merupakan masyarakat yang keras dan kasar.
Padahal, kalau ditelusuri lebih jauh, persoalan-persoalan individu seringkali menjadi latar atas timbulnya pergolakan seteru di antara satu etnis dengan etnis lainnya. Artinya, kasus tersebut tidak dapat digeneralisasi sebagai sebuah hakikat bahwa orang Madura itu kasar dan keras. Atau beringas.
Di dalam pengantar buku ini, Madura dalam Pertaruhan Harga Diri, Prof Dr Nur Syam M Si, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, menjelaskan bahwa harga diri orang Madura benar-benar melekat pada jiwa mereka. Mengutip pernyataan D Zawawi Imron, bahwa celurit bagi orang Madura adalah emas, sebab digunakan oleh orang Madura untuk menjaga marwah dan harga diri. Jika harga dirinya dirusak orang, maka sebagai cara untuk menyelesaikannya adalah melalui celurit tersebut (hal. viii). Jadi, celurit menjadi senjata ampuh yang akan menyelesaikan persoalan demi harga diri yang ternodai.
Achmad Barur Rozy, penulis buku yang ada di tangan pembaca ini, ingin merekam jiwa kemaduraan terkait dengan harga diri. Di masyarakat Madura, harga diri — dalam bahasa Madura rasa malu, malo— merupakan karakter diri dengan entitas kesempurnaan untuk harkat dan martabat kesukuan.
Ungkapan, “Lebbi bagus pote tolang katembang pote mata” (hal. vi dan diulang kembali pada hal. 5 dengan narasi sedikit berbeda serta halaman lainnya) artinya adalah lebih baik putih tulang daripada putih mata. Sebuah falsafah kedirian orang Madura, demi mempertahankan harga diri lebih memilih mati berkalang tanah daripada menanggung rasa malu karena harga diri yang dinodai.
Demi sebuah harga diri, atau dalam membangun benteng untuk mempertahankan konsep nilai marwah, harkat, dan martabat diperlukan sikap agresivitas yang tuntas. Artinya, penyelesaian persoalan harga diri terkadang harus dibangun di atas pertumpahan darah.
Carok adalah salah satu bentuk pertahanan diri dari nilai harga diri yang dinjak-injak oleh orang lain. Penyelesaian ini sebagai bentuk perlawanan terhadap pengebirian harga diri. Intinya, tidak akan terjadi carok jika tidak ada harga diri (self esteem) yang dinista.
Lebih jauh, Dr Achmad Bahrur Rozy menjelaskan tentang nilai dan budaya Madura. Salah satu ciri khas kemaduraan yang dibahas oleh penulis —yang juga menjadi dosen tetap di STITA Aqidah Usymuni, Sumenep, Madura serta alumni PP Annuqayah— ini adalah tradisi taneyan lanjhang. Sebuah konsep yang bernilai luhur karena bentuk taneyan lanjhang ini mengedepankan kekerabatan dan persaudaraan.
“Pemukiman tradisional Madura, khususnya rumah-rumah tempo dulu, yang dikenal dengan taneyan lanjhang, tidak sekadar bermakna sesuatu yang unik, tetapi juga merupakan ruang masyarakat yang memiliki makna, nilai, dan filosofi yang mencerminkan jari diri kemaduraan.” (hal. 82).
Buku yang diangkat dari tesis ini memberikan ruang yang cukup luas bagi para pembaca untuk memahami lebih jauh tentang kemaduraan. Tidak melulu soal harga diri, carok, celurit, taneyan lanjhang, dan lain sebagainya, akan tetapi pada puncak pembahasan buku ini juga diterakan problem dan tantangan masyarakat Madura ke depan.
Maka akan menjadi niscaya bahwa buku ini sangat cocok untuk dibaca dan ditelaah oleh orang Madura sendiri untuk menghadapi tantangan kehidupan yang lebih rumit. Sementara, bagi orang luar Madura, eksposisi ragam tradisi Madura beserta konsep harga dirinya akan memberikan pemikiran lain bahwa sebenarnya orang Madura memiliki konsep, jha’ nobi’an oreng mon etobi’ dhibi’ sake’, (jangan mencubit orang lain jika dicubit sebdiri merasa sakit) (hal. 82).
Ini artinya orang Madura mempunyai etika kepedulian terhadap orang lain untuk saling menjaga dan saling menghormati. Tidak akan melakukan suatu tindakan anarkhisme selama harga diri mereka tidak diinjak-injak.
Ragam bahasan buku ini begitu kompleks, dipaparkan dengan bahasa ilmiah cukup mudah untuk dipahami. Meski di beberapa penulisan terdapat typo, namun secara keseluruhan konsep yang diusung dalam buku ini akan memberikan pandangan positif bagi masyarakat luar Madura. Setidaknya mereka akan berpikir bahwa tradisi carok, celurit bicara, atokar, dan lain sebagainya merupakan sebuah nilai diri demi sebuah harga diri. Tidak akan terjadi persoalan jika tidak ada perselisihan. Tidak akan terjadi carok jika tidak ada pecundang terhadap martabat dan harga diri orang Madura. Wallau A’lam!
Spesifikasi Buku:
Judul : Madura dalam Pertaruhan Harga Diri
Penulis : Achmad Bahrur Rozi
Sampul Buku : Soft Cover 260grm
Ukuran : 15 x 23 cm
Halaman : 288+xii
Kertas : Bookpaper
ISBN : 978-623-96032-2-9
Tahun Terbit : 2021
Penerbit : Cakrawala Pustaka