Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah (TMI) adalah lembaga pendidikan tingkat menengah paling tua di lingkungan Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura. Lembaga ini telah dirintis pendiriannya sejak pertengahan tahun 1959 oleh Kiai Djauhari Chotib dengan nama TMI Majalis. Beliau mengasuh lembaga ini selama kurang lebih 10 tahun sampai beliau wafat pada 1970 M.
Setelah Kiai Djauhari wafat, apa yang beliau rintis dilanjutkan oleh putra-putra dan santri-santri beliau. Beberapa langkah yang mereka lakukan dalam usaha melanjutkan rintisan itu antara lain, pertama, membuka lokasi baru seluas 6 ha yang berada 2 km sebelah barat lokasi lama. Tanah di lokasi itu merupakan amal jariyah dari santri-santri beliau.
Kedua, membentuk tim kecil beranggotakan 3 orang yang meliputi KH Muhammad Tidjani Djauhari, KH Muhammad Idris Djauhari, dan KH amaluddin Kafie. Tim kecil itu memiliki tugas untuk menyusun kurikulum TMI yang representatif.
Ketiga, mengadakan studi banding ke Pondok Modern Gontor dan pesantren besar lainnya di Jawa Timur. Studi banding itu juga bertujuan untuk memohon doa restu pada kiai-kiai sepuh saat itu, khususnya Kiai Ahmad Sahal dan Kiai Imam Zarkasyi di Gontor.
Setelah proses itu, KH Muhammad Idris Djauhari dengan dibantu KH Jamaluddin Kafie meresmikan pendirian TMI pada hari Jumat, 10 Syawal 1391 H (03 Desember 1971 M). Tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai tanggal berdirinya TMI Al-Amien Prenduan.
TMI mulai dikenal secara nasional sejak TMI menerima amanah calon santri baru sebanyak 3 bus dari Pondok Modern Darussalam Gontor pada tahun 1984. Pada tahun-tahun berikutnya, santri-santri baru semakin banyak berdatangan dari berbagai penjuru tanah air.
Beriring perkembangan ini, Tarbiyatul Mu’allimat Al-Islamiyah (TMal) diresmikan pada 10 Syawal 1405 H (29 Juni 1985 M) oleh Nyai Anisah Fatimah Zarkasyi. Saat itu, TMal berada di lokasi Pondok Putri I. Baru setahun kemudian, TMal menempati lokasi saat ini, dan kemudian dikenal dengan sebutan Al-Amien Putri II.
Bulan Januari 1989 M, KH Moh Tidjani Djauhari beserta keluarga tiba di Indonesia setelah kurang lebih 23 tahun lamanya bermukin di Tanah Suci Mekkah. Dari sini, babak baru perkembangan TMI secara khusus, dan Al-Amien secara umum dimulai.
Lalu pada tahun 1990 M, KH Maktum Djauhari kembali ke kampung halaman setelah menyelesaikan pendidikan magisternya di Mesir. Beliau ikut berperan aktif bersama kedua kakaknya dalam mengembangkan Al-Amien, termasuk di dalamnya TMI.
Pada awal berdirinya, TMI dan TMal merupakan lembaga terpisah. Hanya saja, pada tahun 1994, TMI dan TMal digabung dalam satu Idaroh dan KH Muhammad Idris Djauhari menjadi Mudir Ma’hadnya.
Dalam hal ijazah, TMI telah memperoleh muadalah (pengakuan) sejak 1982. Muadalah itu diperoleh dari Jami’ah Islamiyah Madinah dan Jami’ah Malik Abdul Aziz. Lalu berturut-turut pada tahun 1998 dan 2000, ijazah TMI mendapat pengakuan setara dan sederajat dengan ijazah Madrasah ‘Aliyah Negeri dari Departemen Agama RI, dan pengakuan setara dan sederajat dengan ijazah Sekolah Menengah Umum Negeri dari Departemen Pendidikan Nasional RI. Selain itu, ijazah TMI juga memperoleh muadalah dari International Islamic University (1988), Jami’ah Al-Azhar, Cairo (1997), dan Universitas Az-Zaytun (2005).
Tahun 2007, KH Muhammad Tidjani Djauhari wafat, setelahnya tahun 2013, KH Muhammad Idris Djauhari wafat. Tiga tahun kemudian, KH Maktum menyusul kedua kakaknya berpulang. Sepeninggal beliau, kepengasuhan TMI Al-Amien Prenduan berada di bawah tanggung jawab KH Moh Zainullah Rois, yang merupakan alumni perdana TMI sendiri. Awal tahun 2021, kiai yang kerap dijuluki “Balaghah Berjalan” itu mengembuskan napas terakhir.
Kini, TMI berada di bawah kepengasuhan KH Dr Ghozi Mubarok, putra dari Kiai Muhammad Idris Djauhari. Di bawah kepengasuhan beliau TMI terus berpacu seiring perkembangan zaman, sembari tetap menjaga sunnah-sunnah pondok yang sudah ada sejak para para pendahulu beliau.