Tidak banyak yang mengenal nama Syeikh Baqir Al-Jogjawi. Justru, yang banyak terekam dalam ingatan masyarakat adalah Syeikh Subakir, yang merupakan seorang anggota Walisongo generasi pertama bersama Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gersik.
Syeikh Subakir dikenal sebagai seorang waliyullah yang memasang tumbal di tanah Jawa. Pasalnya sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, banyak makhluk halus dan bangsa dedemit (jin) yang menghuni tempat-tempat angker. Oleh sebab itu, Syeikh Subakir memasang tumbal yang tujuannya untuk mengusir bangsa jin dari tanah Jawa.
Beberapa sumber mengatakan, sebelum Syeikh Subakir datang ke Jawa, bayak ulama yang dikirim dari Mekkah untuk menaklukan tanah Jawa. Namun, tidak ada satupun yang kembali dengan selamat, kecuali Syaikh Subakir. Syeikh Subakir sendiri hidup sekitar abad ke-15 M, sementara Syeikh Baqir Al-Jogjawi lahir sekiar abad ke-19-20 M. Ia hidup di Yogyakarta yang kemudian menetap di Haramain, Mekkah.
Tidak banyak sumber data mengenai biografi Syeikh Baqir Al-Jogjawi ini, meskipun disebut meninggal sekitar tahun 1944 M. Sumber data yang sedikit ini disebabkan karena tidak banyak dari muridnya yang menulis manaqib tentang perjalanan hidupnya secara lengkap. Yang ada mungkin hanya biografi singkat.
Selain itu, karya tulis Syeikh Baqir Al-Jogjawi tidak tersebar secara luas sebagaimana karya-karya Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikk Mahfuz At-Tarmasi. Bila karya tulis Syeikh Baqir Al-Jogjawi ini tersebar luas di Nusantara, tentunya akan dikenal oleh banyak orang.
Syeikh Baqir lahir di Yogyakarta pada 1888 M dari pasangan KH Muhammad Nur dengan Nayi Lurah Nur. Nama lengkapnya Muhammad Baqir. Perlu kita ketahui bahwa tahun kelahiran Syeikh Baqir bertepatan dengan peristiwa Pemberontakkan Petani Banten terhadap Belanda. Pemberontakan ini mengakibatkan tentara Belanda banyak yang tewas, dan menyebabkan Belanda mengutus Snock Hurgoronje untuk menyelidiki kekuatan apa di balik pemerontakan Petani Banten ini. Sebab, sebelumnya mereka sudah terauma dengan Perang Diponegoro (Perang Jawa). Setelah diselidiki, usut punya usut, ternyata kekuatan utama mereka berasal dari ulama, baik yang ada di Nusantara maupun di Haramain.
Selisih satu tahun dari kelahiran Syeikh Baqir, yaitu sekitar tahun 1889 M, kakek Syeikh Baqir, yaitu Syeikh Muhammad Fadil menjalin hubungan keluarga dengan Kiai Abu Bakar dari Kauman. Mereka menikahkan KH Ahmad Dahlan bin KH Abu Bakar dengan Nyai Siti Walidah binti Syaikh Muhammad Fadhil.
Kiai Ahmad Dahlan sendiri merupakan adik dari Nyai Lurah Nur (Ibu Syeikh Baqir), sedangkan Siti Walidah adalah adik dari Kiai Muhammad Nur (Ayah Syaikh Baqir). Dengan demikian, Syeikh Baqir merupakan keponakan dari KH Ahmad Dahlan. Bisa dibilang bahwa pernikahan KH Ahmad Dahlan dengan Siti Walidah ini masih ada hubungan darah. Hal semacam ini sudah menjadi tradisi di Kampung Kauman Yogyakarta.
Syeih Baqir Al-Jogjawi terlahir dari keluarga trah bangsawan dan ulama. Tinggal di kampung santri Kauman, sejak kecil Syeih Baqir sudah mendapatkan pendidikan agama dari ulama-ulama sekitar kampung Kauman. Syeikh Baqir kecil banyak mendapatkan bimbingan membaca Al-Qur’an kemudian memahami kitab-kitab turats dengan baik. Selain itu, Syeih Baqir juga belajar nulis huruf Arab Pegon atau huruf Jawi, juga ilmu nahu saraf. Kepintaran Syeikh Baqir sudah tampak sejak kecil. Hal ini dibuktikan dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh ayah dan kedua kakeknya yang secara cepat diserap oleh Syeikh Baqir.
Tiga tahun setelah Syeikh Baqir Al-Jogjawi lahir, tepatnya tahun 1890 M, Kiai Muhammad Nur mengajaknya beribadah haji. Hal seperti ini lazim dilakukan oleh orang zaman dulu, salah satunya Kiai Mustofa Rembang yang mengajak haji istri dan anak-anaknya yang masih kecil. Setelah kembali ke kampung halaman, Syeikh Baqir semakin tampak keilmuan dan kealimannya.
Syeih Baqir dinilai lebih menonjol bila dibandungkan dengan teman-teman sebayanya. Hal ini dibuktikan ketika KH Ahmad Dahlan mengadakan musyawarah atau bahtsul masail tentang perbaikan arah kiblat masjid yang oleh KH Ahmad Dahlan yang tidak sesuai dengan ilmu falak yang ia pelajari dari gurunya, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syaikh Dahlan At-Termasi. Melihat kepintaran dari Syeikh Baqir yang waktu itu masih berusia 11 tahun menjadikan KH Ahmad Dahlan takjub dengan keponakkannya tersebut.
Setelah menginjak usia dewasa, Syeikh Baqir menutuskan untuk ibadah haji yang kedua kali sekaligus menimba ilmu di sana. Setelah bulan haji usai, Syeikh Baqir berkelana mencari guru yang dapat membimbingnya dalam ilmu spiritual dan ilmu agama. Akhirnya, Syeih Baqir berjumpa dengan Wali Zambil yang nantinya akan menjadi gurunya.
Wali Zambil merupakan seorang ulama besar pada zamanya, dan dikenal sebagai seorang waliyullah dan seorang mufti di Haramain yang keilmuan dan kealimanya tidak perlu diragukan lagi. Selain berguru pada Wali Zambil, Syeikh Baqir juga menimba ilmu dengan Syeikh Mahfudz At-Termasi dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minabgkabawi. Dari Syaih Mahfudz At-Termasi inilah Syeikh Baqir mendapatkan sanad hadis Sahih Bukhari.
Sebab kepakarannya dalam bidang hadis ini menjadikannya disegani oleh ulama Haramain dan banyak orang Indonesia yang menimba ilmu kepadanya. Salah satunya yang terkenal adalah Syeikh Yasin bin Isa Al-Fadani (Musnid Ad Dunya). Syaikh Yasin banyak menimba ilmu hadis pada Syeih Baqir. Bahkan, Syaikh Yasin juga menulis kitab sanad-sanad hadis Syeih Baqir.
ilustrasi: manuskrip karya syeikh baqir al-jogjawi.