Mengenang Ayahnda Hasan Basri Lubis, Penyair Ulung dari Purba Baru

175 kali dibaca

Motor Sampagul
Tirip tu Pakan Baru
Malo ho margaul
Padao sifat camburu
Motor ALS
Tirip tu Padang
Jago deges-deges
musti doho sumbayang

parkir idola di Jembatan Merah
Tubati dosa-dosa, ate-ate martambah cerah
Motor Anatra dicarter tu Sigalangan
Marerap martaqwa, ulang di angan-angan

Advertisements

Demikian adalah sepenggal dari ratusan bahkan ribuan syair yang dibacakan oleh Ayahanda Hasan Basri Lubis ketika mengajar kami di Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, Mandailing Natal, Sumatera Utara (Pesantren Purba).

Ayah Hasan, begitulah kami akrab memanggilnya. Beliau adalah salah satu guru senior di Pesantren Purba dan mungkin merupakan guru terakhir yang sempat berjumpa dengan Syekh Musthafa Husein, sang pendiri pondok pesantren.

Ayah Hasan adalah orang Purba Baru asli. Rumahnya tidak jauh dari rumah Syekh Musthafa dan Masjid Raya Baitul Makmur (Masjid Jae). Ayah Hasan pernah bercerita sewaktu kecil ia sering mengambil buah-buahan di belakang rumah Syekh Musthafa.

“Meskipun tahu, beliau (Syekh Musthafa) tidak pernah menegur apalagi marah,” kenang Ayah Hasan ketika mengingat masa kecilnya.

Ayah Hasan menghabiskan masa mudanya dengan belajar di Mushtafawiyah sekitar dekade 1960-an. Setelah menyelesaikan studinya, ia sempat merantau Pekan Baru, Riau beberapa waktu sebelum kembali ke Purba Baru dan mengajar di Pesantren Purba.

Merdu Bersyair

Ada satu hal yang begitu menonjol dari Ayah Hasan, yaitu suaranya yang begitu merdu. Ayah Hasan begitu mahir melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan lantunan yang menenangkan hati. Suaranya yang begitu lembut namun tegas selalu saja membuat terkesima, betah berlama-lama mendengar mata pelajaran Mustholah Hadits yang diampunya.

Dalam mengajarkan Mustholah Hadits, Ayah Hasan kerap melantunkan dalil-dalil Al-Qur’an atau contoh hadis dengan lantunan yang indah. Terkadang ia melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis sambil menggoyangkan kepalanya, membuat kami tersenyum atau mengikutinya melantunkan apa yang sedang dibacanya.

Ayah Hasan memang pandai tilawah. Beliau adalah juri setiap kali kami MTQ dan menjadi pelatih para qari` yang akan dikirimkan ke MTQ tingkat kabupaten atau provinsi.

Selain pandai tilawah, beliau juga ahli dalam melantunkan syair dan pantun. Syair-syair indah dan lucu selalu menyertai setiap jam pelajaran yang diampunya. Apalagi jika sudah jam akhir pelajaran, sembilan puluh persen dapat dipastikan bahwa beliau akan menutup pelajaran dengan syair-syair yang indah dan terkadang juga lucu.

Syair-syair tersebut mengalir begitu saja dari mulutnya yang mulia itu, seolah-olah kata-kata adalah teman bermainnya setiap hari sehingga ia tidak perlu berpikir keras demi menciptakan syair. Syair-syair yang dilantunkannya sangat beragam. Terkadang ia bercanda dengan syairnya, terkadang ia menasihati kami dengan syairnya. Dulu, kami pernah diperlihatkan kumpulan syair yang ditulisnya. Tapi itu hanya sebagian kecil. Kebanyakan syairnya tidak tertulis karena dilantunkan secara spontan.

Khutba yang Lugas

Hal lain yang begitu saya ingat dari Ayah Hasan adalah khutbahnya yang singkat dan lugas. Ayah Hasan adalah guru favorit para santri ketika ia bertugas pada salat Jumat. Selain karena suaranya yang begitu merdu ketika mengimami, khutbahnya yang singkat begitu disukai oleh para santri.

Ayah Hasan tidak hanya menyampaikan khutbah secara singkat, tetapi, ia juga menyampaikan secara lugas dan tegas. Tidak banyak penyimpangan pembahasan di dalam khutbahnya. Jika membahas tipikal iman menurut Al Ghazali, maka ia hanya membahas iman menurut Al Ghazali saja, tidak berbelok ke yang lain atau pembahasan lain. Tidak neko-neko. Straight to the point.

Begitu Tawadu

Selain gemar bersyair, bersuara merdu, dan lugas serta tegas ketika khutbah Jumat, yang saya ingat dari Ayah Hasan adalah ketawaduannya yang patut dicontoh. Ayah Hasan merupakan guru yang hampir tidak pernah marah. Saya tidak mengingatnya apakah ia pernah memarahi kami atau tidak. Ia tidak marah jika ada santri yang bersikap kurang sopan kepadanya.

Ia mengajarkan kami bahwa seorang guru tidak sepatutnya mengharapkan penghormatan berlebih dari muridnya. Seorang guru harus jauh dari sifat sombong dan congkak agar menjadi contoh yang baik untuk santri.

Ayah Hasan tidak hanya menyampakan nasihat dengan kata-kata, tetapi juga dengan memberi contoh langsung kepada kami. Ia tidak gila hormat sehingga kami harus berlebihan dalam menghormatinya. Kalau berpapasan di seberang jalan, kami cukup dengan mengucapkan salam tanpa harus menghampiri dan mencium tangannya. Bahkan terkadang Ayah Hasan tidak sungkan berjalan di belakang santri yang tidak menyadari kehadirannya. Baginya hal tersebut adalah biasa. Katanya, “untuk melatih ketawaduan”.

Kemarin, tepat pada Rabu, 2 Oktober 2024 sekitar pukul 20.00 malam di rumahnya, di Purba Baru, Ayah Hasan Basri Lubis wafat pada usianya yang ke-75. Ketika saya mendengar kabar ini, seketika memori lama menyeruak kembali bersama air mata yang tidak terbendung membasahi mata.

Ayah Hasan adalah guru baik bagi kami. Saya berharap kepada Allah SWT dengan tulisan ini menjadi saksi pula atas kebaikannya selama mengajar kami di Purba Baru. Amin, ya Rabbal ‘Alamin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan