Mengenang Jumatan ala Hasbi Ash Shiddieqy

408 views

Kita memasuki Jumat kedua sejak pemerintah mengeluarkan imbauan dan Majlis Ulama Indonesia (MUI) menerbitkan fatwa tentang Jumatan di tengah wabah Corona. Pada Jumat pertama, banyak ketegangan di mana-mana menyikapi imbauan dan fatwa tersebut. Meskipun telah semakin banyak masjid yang menutup pintu, namun pro-kontra atau perdebatannya masih tak berujung.

Misalnya, hoax mulai bermunculan: ini strategi golongan kafir, komunis, yang sengaja ingin menghancurkan Islam dengan melarang umat salat di masjid. Lihat saja, masjid-masjid sudah mulai sepi! Kosong! Pro-kontranya pun dibawa ke ranah keimanan seseorang yang, sesungguhnya, sungguh hanya urusan Tuhan. Seakan-akan, orang-orang yang kemudian mengikuti imbauan pemerintah dan fatwa MUI menjadi kurang beriman dibandingkan dengan mereka yang menentang dan tetap ngotot ingin Jumatan di masjid. Bukankah timbangan iman seseorang hanya Tuhan yang tahu?

Advertisements

Sosok Hasbi

Sesungguhnya, jika kita pernah mempelajari sejarah perkembangan Islam beserta hukum-hukum peribadatannya, pro-kontro terhadap munculnya suatu perkara hukum adalah hal yang lazim. Sudah seru sejak masa paling dini.

Di Indonesia pun, pernah muncul sosok ulama yang pendapat-pendapat hukumnya sering memicu kontroversi. Berkaitan dengan fatwa Jumatan (di tengah wabah Corona ini), sosok tersebut adalah Profesor TM Hasbi Ash Shiddieqy. Pada era 1970-an, ia pernah terlibat debat sengit dengan Profesor Buya Hamka. Di antara pendapatnya adalah ini: berjamaah bukan menjadi syarat sahnya salat Jumat; salat Jumat dapat dilakukan di rumah!

Agar tak salah paham, kita perlu mengingat kembali siapa sesungguhnya sosok Hasbi Ash Shiddieqy ini.  Hasbi adalah mufasir kelahiran Lhokseumawe, Aceh, 10 Maret 1904. Terlahir dengan nama lengkap Teungku Muhammad (TM) Hasbi Ash Shiddieqy, karya paling fenomenal lelaki yang wafat pada 9 Desember 1975 ini adalah Tafsir an-Nur, sebuah tafsir al-Quran 30 juz dalam bahasa Indonesia. Terbilang fenomenal karena tidak banyak ulama Indonesia yang mampu menghasilkan karya tafsir semacam itu.

Dari jalur ayah, nasab Hasbi bersambung hingga ke Abu Bakar ash-Shiddiq, sahabat terdekat Nabi Muhammad SAW. Karena itu, Hasbi menggunakan nama ash-Shiddieqy di belakang namanya. Ayahnya adalah Teuku Kadi Sri Maharaja Mangkubumi Husein bin Mas’ud. Sementara, ibunnya adalah Teuku Amrah binti Teuku Sri Maharaja Mangkubumi Abdul Aziz.

Sejak belia, Hasbi menempuh pendidikan di berbagai pondok pesantren. Ia mempelajari bahasa Arab dari gurunya yang bernama Syeikh Muhammad ibn Salim al-Kalali. Dari Syeikh al-Kalali, Hasbi juga belajar kitab-kitab kuning seperti nahu, saraf, mantik, tafsir, hadis, fikih, dan ilmu kalam. Pada 1926, Hasbi berangkat ke Surabaya untuk menempuh pendidikan di Madrasah al-Irsyad, lembaga pendidikan agama yang didirikan Syeikh Ahmad Soorkati. Di sinilah Habis mengenal pendidikan pemikiran Islam modern. Hasbi juga pernah belajar agama di Timur Tengah.

Hasbi kemudian terjun di dunia pendidikan. Ia pernah menjadi guru di HIS (Hollandsch Inlandshe School/setingkat SD) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs/setingkat SMP) Muhammadiyah. Menjelang kemerdekaan, pada 1940-1942 Habis tercatat menjadi direktur Darul Mu’allimin Muhammadiyah di Kutaraja dan juga membuka Akademi Bahasa Arab. Namun, setelah kemerdekaan, Hasbi pindah ke Yogyakarta. Atas permintaan Menteri Agama Wahid Hasyim saat itu, Hasbi kemudian mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Di lingkungan kampus inilah karier akademik Hasbi terus menanjak hingga memperloleh gelar profesor di bidang hukum Islam (syariah) dan pernah dipercaya menjadi Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga. Di masa-masa itulah Hasbi dikenal sebagai pemikir Islam yang sangat produktif.  Karya tulisnya mencapai 73 judul buku yang terdiri dari 142 jilid. Sebagian besar berkaitan dengan fikih atau hukum Islam. Namun, ada juga buku-bukunya yang berkaitan dengan tauhid dan lainnya. Tapi, ya itu tadi, yang paling fenomenal adalah Tafsir an-Nur.

Jumatan di Rumah

Pendapat hukum Hasbi soal salat Jumat setidaknya bisa dilihat dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Mengapa Saya Menyalahi Jumhur dan Mewajibkan Jum’at atas Orang yang Tidak ke Mesjid?” Artikel ini dimuat dalam Majalah Al-Jami’ah pada Nomor 7, Tahun XIII/1974 dari halaman 7 sampai 38. Salah satu bahasannya juga menyangkut isu yang diperdebatkan dengan Buya Hamka.

Ada tujuh pokok masalah yang dibahas Hasbi dalam artikelnya ini, yaitu Jumat dan Jamaahnya; Kedudukan Fatwa Shahabi, Tabi’i, dan Amalan Ulama Madinah; Nilai Riwayat Fatma Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud dalam Masalah Dhuhur di Hari Jumat; Masbuq yang Dipandang Mendapat Jamaah Jumat; Sembahyang yang Dipandang Pokok di Hari Jumat; Khutbah Jumat; dan Penempatan Kaidah Al Ijtihadi la Yunqadu bil Ijtihad.

Sebagai seorang akademisi, Hasbi membahas setiap pokok masalah secara runtut disertai dengan sumber-sumber referensi yang sahih, dalil yang kuat, dan argumen yang rasional. Dalam indeks artikel tersebut bertebaran kitab-kitab klasik karya-karya ulama terdahulu, juga nama-nama sarjana-sarjana muslim terdahulu yang sanadnya sampai ke para sahabat Nabi.

Dari kajiannya tersebut Hasbi akhirnya menarik satu kesimpulan bahwa salat Jumat hukumnya wajib, namun (ber)jamaah dan khutbah bukan merupakan syarat sahnya salat Jumat. Artinya, salat Jumat dapat dilakukan berjamaah atau sendiri-sendiri. Jika seseorang berhalangan ke masjid, atau ada suatu kondisi yang menghalangi orang pergi ke masjid, maka salat dapat dilakukan di rumah bersama keluarganya. Dan itulah yang dilakukan Hasbi.

Pendapat hukum Hasbi tentang Jumatan itulah, di masa itu, yang memicu perdebatan, termasuk dengan Profesor Buya Hamka. Atas kepentingan untuk syiar Islam, Buya Hamka tetap mewajibkan salat Jumat di masjid dan berjamaah.

Namun, seperti halnya perbedaan pendapat para ulama terdahulu, perdebatan di antara mereka selalu didasarkan pada ilmu dengan tujuan mencari kebenaran. Jika ada pendapat yang diyakini lebih benar, para ulama terdahulu akan saling menganjurkan untuk mengikutinya. Tidak ada yang saling mengkafirkan, takfiri, atau mendaku dirinya lebih beriman dibanding yang lain. Perbedaan pendapat di antara mereka juga tidak dibumbui dengan teori-teori konspirasi, dengan menuduh ada pihak-pihak lain yang ingin menghancurkan Islam dengan berbagai cara, termasuk dengan mengosongkan masjid di tengah pandemi.

Itulah indahnya perbedaan…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan