Mengenang Nyai Solichah, Istri dan Ibu Para Pejuang

406 views

 

29 Juli 1994, tepat 28 tahun silam, kita kehilangan sosok ibu yang sangat berperan besar terhadap perjalanan bangsa Indonesia ini. Beliau adalah Nyai Hj Sholichah Munawwaroh Wahid Hasyim atau sering kita sebut Nyai Solichah atau Ibu Wahid. Pada kesempatan kali ini, izinkan penulis mengenang beliau sebagai sosok istri dan ibu dari para pejuang.

Nyai Solichah lahir pada tanggal 11 Oktober 1922 di Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Beliau adalah anak kelima dari 10 bersaudara, dari pasangan KH Bisri Syansuri dengan Nyai Hj Nur Chadijah (adik dari KH Abdul Wahab Hasbullah).

Advertisements

Sejak kecil, Nyai Solichah dididik langsung oleh ayah beliau, Kiai Bisri. Beliau diberi pengajaran tentang ilmu agama dan Bahasa Arab. Sifat sebagai seorang pemimpin Nyai Solichah sudah terlihat sejak masih belia. Cara berpikir beliau luas dan maju, terutama setelah ikut beperan mengasuh pesantren putri asuhan ayah beliau, KH Bisri Syansuri.

Nyai Sholichah menikah dengan KH Wahid Hasyim pada tahun 1938 M, tepat hari Jumat, 10 Syawal 1356 H. Setelah menikah, mereka tinggal di Pesantren Denanyar selama 10 hari, kemudian pindah ke Pesantren Tebuireng sampai tahun 1942 dalam zaman pendudukan Jepang. Tidak berapa lama setelah Jepang mendarat, Tebuireng dibubarkan dan KH Hasyim Asyari dipenjarakan di Surabaya. Hal ini dilatarbelakangi ketakutan Jepang terhadap besarnya pengaruh Kiai Hasyim terhadap perjuangan dari laskar pejuang Islam.

Sesudah Tebuireng dibubarkan, Nyai Solichah dan anak-anaknya diungsikan ke Denanyar. Sementara suami beliau, Kiai Wahid pergi ke Jakarta dalam rangka negosiasi pembebasan ayahandanya. Setelah melakukan lobi dengan berbagai pembesar dan instansi yang penting, akhirya Kiai Hasyim dibebaskan pada 18 Agustus 2802 Showa. Selepas itu keadaan berubah dan Tebuireng diperbolehkan dibuka kembali, Nyai Solichah dan anak-anaknya pun kembali ke Tebuireng.

Pada 24 Oktober 1943, Kiai Wahid ditunjuk sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia. karena dengan berbagai pertimbangan, Akhirnya Nyai Solichah dan ketiga anaknya diboyong ke Jakarta pada 1944. Mereka tinggal di Jalan Showadari, sekarang Jalan Diponegoro No 42 Jakarta. Tapi enam bulan kemudian, dikarenakan suasana persiapan kemerdekaan Negara Indonesia semakin memanas, akhirnya memaksa Nyai Solichah kembali ke Jombang

Bersuamikan seorang pejuang, menjadikan Nyai Solichah memiliki jiwa nasionalis tinggi. Semasa perang mempertahankan Kemerdekaan, beliau mengambil peran sebagai kurir yang bertugas mengirimkan bahan makanan atau pesan-pesan ke garis depan di Mojokerto, Krian, dan Jombang. Beliau sangat lincah menyusup di kancah pertempuran yang berbahaya. Karakter gesitnya bahkan terbawa hingga ke masa tua ketika beliau melakukan berbagai aktivitas.

Pada 1950, keluarga Wahid Hasyim hijrah kembali ke Jakarta karena diangkat sebagai menteri agama. Mereka menempati rumah dinas Menteri Agama RI di Jalan Jawa Nomor 112, sekarang menjadi Jl HOS Cokroaminoto Menteng, Jakarta Pusat. Meskipun hidup di Jakarta, Nyai Solichah membiasakan anak-anaknya tetap menggunakan Bahasa Jawa. Beliau tidak menginginkan anak-anaknya melupakar akarnya sebagai orang Jawa.

Pada Oktober 1952, setelah Kiai Wahid tidak lagi menjabat sebagai Menteri Agama, keluarga Wahid Hasyim pindah dan menempati rumah di Taman Matraman Barat Nomor 8 yang kini menjadi kantor Wahid Institute. Sayang sekali, kehidupan keluarga yang bahagia dan harmonis di Jakarta hanya dirasakan dalam kurun waktu teramat singkat. Pada Sabtu, 18 April 1953, Kiai Wahid berpulang ke hadirat Allah SWT dikarenakan kecelakaan di daerah Cimindi, Jawa Barat. Kiai Wahid dimakamkan di area Pesantren Tebuireng. Setelah itu, tinggalah Nyai Solichah bersama kelima anaknya dengan kondisi hamil tiga bulan.

Kiai Wahid meninggalkan 6 putra, yaitu: Abdurrahman Wahid, Aisyah, Salahuddin Al-Ayyubi, Umar, Lily Khadijah, dan terakhir adalah Hasyim Wahid yang lahir setelah beberapa bulan ayahnya meninggal. Menjadi pejuang tunggal dalam keluarga dengan enam anak di usia tiga puluh tahun, bukanlah hal mudah. Keluarga besar di Jombang menyadari kondisi tersebut. Karenanya, mereka meminta agar anak-anak Nyai Solichah dibagi. Bahkan yang masih berada di dalam kandungan, sudah diminta oleh salah seorang pamannya. Bantuan yang ditawarkan justru menjadi cambuk bagi Nyai Solichah untuk berjuang lebih keras dalam mencari nafkah dan mendidik buah hati.

Untuk mencukupi kebutuhan materi, Nyai Solichah bekerja dengan keras dan cerdas. Untuk mengisi kecerdasan dan karakter anak-anaknya, Nyai Solichah berusaha dengan keras dan tegas. Aturan di rumah mereka penuh dengan kedisiplinan meski berbingkai kasih sayang. Selepas maghrib, seluruh anak-anaknya harus berkumpul untuk mengaji (membaca Al-Qur’an). Nyai Solichah sendiri yang akan mengecek benar tidaknya lafaz yang diucapkan.

Sekali waktu ketika Ramadan, Nyai Solichah mengirim anak-anak untuk nyantri ke Jombang. Mereka bisa memilih Denanyar atau Tebuireng sebagai tempat menimba ilmu agama ketika libur sekolah.

Sepeninggal Kiai Wahid, Nyai Solichah Solichah menjadi orang tua tunggal yang memimpin rumah tanggga. Mulai dari melerai pertengkaran, mengatur jadwal belajar dan ibadah, hingga kepala keluarga yang mencari nafkah. Rumah Matraman bisa dibilang menjadi rumah para yatim. Seorang single parents dengan sembilan putra-putri. Hebatnya Nyai Solichah, dengan segala ketegasan dan keterbatasan waktu yang dimiliki, beliau mampu membuat semua anak-anak merasa paling disayang dan spesial.

Nyai Solichah adalah wanita tangguh. Dibantu oleh Hamid Baidlowi, keponakan yang awalnya merangkap sebagai sekretaris pribadi Kiai Wahid, Nyai Solichah Solichah mencoba berbagai usaha. Menjadi rekanan Kementerian Agama untuk memasok kebutuhan pokok, juga menjadi rekanan pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok dengan memasok bahan bangunan seperti batu, kayu, dan berbagai material lain.

Keuletan Nyai Solichah Solichah, ditambah dengan kebiasaan manajemen kunonya membagi setiap pengeluaran dalam kotak pensil yang berbeda, membuat rumah itu tak pernah kekurangan. Tak hanya di rumah Matraman, anak-anak Nyai Solichah para yatim dhuafa juga mendapat kasih sayang dan bantuan dari beliau, hingga berdiri sebuah yayasan (Panti Asuhan Harapan Remaja) yang sampai sekarang masih berjalan.

Atas upaya dan kegigihan dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya, Nyai Solichah berhasil mengantarkan mereka menjadi pribadi pribadi yang luar biasa. Setiap putra-putri beliau mempunyai karakter khusus dan jalan perjuangan masing masing. Misalnya, Abdurahman Wahid, kelak dikenal sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia; Aisyah Wahid, pekerja sosial di kancah politik dan pernah diamanahi menjadi ketua PP Muslimat NU; Salahuddin Wahid, lulusan arsitektur ITB yang berhasil membuat transformasi pembangunan di Pesantren Tebuireng; Umar Wahid, dokter spesialis paru-paru yang mempunyai catatan prestasi sebagai direktur di beberapa Rumah Sakit; Lily Wahid, politisi yang selalu berani menjadi garda terdepan terhadap kemaslahatan masyarakat; dan Hasyim Wahid, sosok misterius yang sangat multitalenta secara intelektual dan spirirtual.

Nyai Solichah juga aktif diberbagai lembaga mulai dari Muslimat NU tingkat Gambir (1950 M), Matraman (1954 M), ketua Muslimat NU DKI Jakarta (1956 M), dan Ketua Muslimat NU (1959 M). Beliau juga pernah terlibat politik dengan menjadi legislator DKI Jakarta (1957 M), DPR Gotong Royong/MPRS (1960M), DPR/MPR (1971 M mewakili NU, 1978-1987 M mewakili PPP).

Sedangkan dalam bidang sosial, beliau aktif di Yayasan Dana Bantuan sejak 1958 M sampai akhir hayat. Bahkan beliau juga mendirikan beberapa lembaga seperti Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional, Panti Harapan Remaja, Yayasan Kesejahteraan Muslimat NU, Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU, Pengajian al-Islah, dan lain sebagainya.

Nyai Solichah juga berperan besar terhadap pendirian Yayasan Abdul Wahid Hasyim Ciganjur Jakarta, lembaga ini fokus terhadap bidang sosial dan pendidikan. Saat ini, Yayasan Abdul Wahid Hasyim menaungi lembaga pendidikan seperti SDI Tebuireng, madrasah diniyah, TPQ Al-Munawwaroh dan Pesantren Luhur Ciganjur.

Nyai Solichah meninggal dunia pada hari Jumat, 29 Juli 1994 sekitar pukul 23.00 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam usia 72 tahun, setelah menjalani rawat tinggal selama 17 hari akibat sakit jantung dan gula. Nyai Solichah sempat tidak sadarkan diri karena ada pembuluh darah yang pecah dan mengalami koma. Jenazahnya dimakamkan esok harinya sekitar pukul 17.00 di kompleks pemakaman Tebuireng Jombang. Nama beliau diabadikan menjadi nama Masjid Al-Munawwaroh dan Jalan Al-Munawwaroh di Ciganjur Jakarta.

Perjalanan panjang Nyai Solichah sangat penting untuk dijadikan suri teladan kita bersama. Dari sosok Nyai Solichah kita bisa belajar tentang ketabahan dan semangat untuk terus berjuang. Nyai Solichah akan tetap hidup sebagai nilai nilai yang telah beliau wariskan. Semoga kita semua dapat meneladani dan meneruskan perjuangan beliau, Amiin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan