Menggali Nilai Ekologi Ibadah Haji

250 kali dibaca

Ibadah haji sebagai rukun Islam wajib dilakukan oleh mereka yang telah memenuhi kriteria sebagaimana yang telah disyariatkan dalam Islam. Jika ditelaah secara mendalam, kewajiban haji ternyata memiliki banyak kaitan dengan visi Islam mengenai ekologi (ramah lingkungan hidup) dan relasinya dengan pembangunan ekonomi.

Haji merupakan ibadah yang mensyaratkan pelakunya kaya atau mampu (istitha’ah) secara ekonomi, selain harus aman di perjalanan. Paling tidak, orang yang berhaji harus mempunyai bekal materi atau uang untuk biaya transportasi, tinggal selama haji di Makkah dan Madinah, dan juga ongkos pulang yang kini biayanya makin naik. Termasuk, harus cukup meninggalkan nafkah untuk keluarga yang ditinggal.

Advertisements

Namun, haji yang pelakunya akan dibalas dengan surga (derajat haji mabrur), hanyalah mereka yang menggunakan harta halal untuk berhaji. Bukan harta haram, hasil dari menzalimi orang lain dan alam semesta.

Proses dalam mendapatkan harta yang tidak zalim terhadap sesama dan alam menentukan sah tidaknya haji. Sebab, ibadah haji bukan sekadar ibadah vertikal.  Namun, di balik itu secara esensialnya ibadah haji juga memiliki nilai horizontal yang harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam praktik ibadah haji, misalnya, ada larangan yang menjurus pada perusakan lingkungan hidup, termasuk dilarang membunuh hewan di tanah suci.

Salah satu larangan yang ada ialah diharamkannya membunuh hewan di Tanah Haram (Makkan dan Madinah) dan memakannya.

Hal ini seperti yang tertera dalam kitab Fathul Qarib: “(Haram pula membunuh hewan buruan) darat yang halal dimakan sesuatu yang aslinya dimakan binatang atau burung. Dilarang juga memburunya, menyentuhnya, atau mengambil bagian, rambut, atau bulunya.” (Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Syarh Matan At-Taqrib,], hal. 155).

Larangan tersebut merupakan hasil penafsiran ulama terhadap dua ayat yang secara eksplisit menyebutkannua dalam Al-Qur’an. Tepatnya pada surah Al-Maidah ayat 1 dan 96, berbunyi, “Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji! Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki.”

Perjalanan haji juga bertujuan untuk mencapai keamanan manusia, kehidupan yang bermakna, sebuah negara yang makmur, rezeki yang berlimpah, dan pembangunan yang berlimpah.

Ini terlihat dari permohonan Nabi Ibrahim AS, “Yaa Allah, jadikan kota ini aman.”

Keamanan dapat dicapai dengan mengerti korelasi antara lingkungan dan keamanan manusia, yaitu dengan mencapai terjaganya sumber air, energi, dan pangan.

Dapat disimpulkan, haji ramah lingkungan membutuhkan wawasan, mental, dan wacana lingkungan yang lebih hijau dalam segi agrikultur, transportasi, dan pembangunan, untuk menabur benih harapan untuk masa depan yang berkelanjutan.

Menariknya, menurut Muhammad Izharuddin (2024), tidak hanya dilarang membunuh hewan darat buruan, bahkan mereka pun juga dilarang merusak tanaman yang berada di sana. Siapapun yang melakukannya akan mendapatkan dosa dan wajib baginya membayar kaffarat atau fidyah.

Adapun, mengenai hewan laut memang terjadi perselisihan para ulama. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Ibrahim telah menjadikan Makkah suci, dan Aku menjadikan Madinah suci, semua tempat bebas dan tempat berteduhnya adalah suci Kecuali orang yang memberi petunjuk, dan tidak ada pohon yang boleh ditebang kecuali ada orang yang memberi makan untanya, dan tidak ada senjata yang boleh mengangkat senjata di sana untuk berperang.” (Imam Ahmad, Musnad Ahmad,).

Dua kota tersebut dikhususkan langsung oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad, kemudian dijuluki sebagai “Tanah Haram” yang berarti tanah yang disucikan. Sehingga tidak dibenarkan segala macam bentuk perbuatan yang dapat mengganggu dan menodai stabilitas keduanya.

Unsur-unsur kehidupan di dalamnya terlarang untuk dirusak kecuali ada syarat-syarat ketat yang memperbolehkannya. Syeikh Ali Jum’ah menyebutkan hadis tersebut dalam kitabnya, Bi’ah wal Hifazu ‘Alaiha min Manzhum Al-Islamiy.

Baginya, hadis tersebut sebagai dasar perintah bagi tiap orang untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Dari hadis ini pula dipahami sebagai bentuk upaya penjagaan lingkungan yang diterapkan Nabi di Makkah yang kemudian dikenal dengan sebutan konservasi lingkungan atau cagar alam di era kini. (Ali Jum’ah, Bi’ah wal Hifazu ‘Alaiha Min Manzhum Al-Islamiy, [Kairo: Wabil Ash-Shoib, 2009], Cet. I, hal. 119-120).

Konservasi yang diinginkan Islam bukan hanya sebatas menjaga manusia, hewan, dan tumbuhan dari kerusakan dan kematian. Lebih dari itu, termasuk juga membendung mereka dari ketakutan dan mampu menciptakan rasa aman bagi siapapun masuk yang masuk ke dalam Tanah Haram.

Sejarah juga memperlihatkan bahwa Nabi menetapkan daerah-daerah yang tidak boleh dilanggar untuk membatasi aliran-aliran air, fasilitas-fasilitas publik, dan kota-kota. Di dalam kawasan suci, fasilitas umum seperti sumur dilindungi dari kerusakan. Disediakan pula ruang untuk menjaga sumur, melindungi airnya dari polusi, dan menyediakan tempat istirahat bagi ternak dan ruang bagi fasilitas-fasilitas irigasi (Mangunjaya, Aspek Syariah: Jalan Keluar dari Krisis Ekologi, [Jurnal Ulumul Quran, 1998, No. 1/VII] hal1-11).

Terhadap lingkungan hidup pun demikian. Pesan ekologis saat berihram wajib menjaga kelestarian flora dan fauna. Jemaah dilarang memburu dan menganiaya atau membunuh binatang dengan cara apa pun, kecuali yang membahayakannya, dan memotong kayu-kayuan dan mencabut rumput.

Jelas sekali, Islam memiliki seperangkat ajaran yang mewajibkan pemeluknya senantiasa menjaga lingkungan hidup. Kita juga sangat berharap kepada jamaah haji untuk menjaga kebersihan lingkungan diperlukan sekali ketika pelaksanaan ibadah haji, terutama pada saat di ARMUZNA (Arafah, Muzdalifah dan Mina).

Menjaga kebersihan lingkungan ini adalah menunjukkan perilaku yang baik (akhlak yang baik terhadap lingkungan), maka ini harus dibiasakan. Ketika kita sudah terbiasa, maka di manapun kita berada, kita akan selalu menjaga kebersihan lingkungan.

Namun, ternyata kesadaran itu masih belum dimiliki oleh semua jamaah haji. Maka hal tersebut menjadi penting untuk disampaikan kepada semua jamaah haji sebelum berangkat haji, atau bisa disampaikan ketika pelaksanaan manasik haji, agar seluruh jamaah haji semuanya memiliki kesadaran untuk senantiasa tetap menjaga kebersihan lingkungan di manapun (peduli lingkungan). Salah satu arahnya dengan tidak membuang sampah sembarangan, agar membiasakan diri untuk selalu bisa membuang sampah pada tempatnya.

Dari paparan tersebut, pelaksanaan ibadah haji memiliki hikmah yang sangat besar bukan hanya meraih pahala juga esensi mabrur haji mampu diimplemntasikan dalam konteks hubungan horizontal dan ekologi. Ruh mabrurnya seorang yang telah menunaikan haji tidak bisa dinilai dengan angka ataupun materi. Namun setidaknya cerminan kepribadiaan yang tulus, serta pengorbanan tanpa pamrihnya sangat disegani dalam menjalani kehidupan sehari-harinya.

Seorang haji akan terus menjadi teladan yang perlu kita tiru dan diteladani termasuk implementasinya dalam menjaga dan melestarikan pesan ekologis sepulang dari Tanah Suci. Lantas jamaah haji mampukah mengimplementasikannya?

Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan