Menjengang Lebaran kemarin, dunia perbiskuitan kita terguncang dengan munculnya salah satu varian produk biskuit dengan harga selangit. Biskuit Oreo yang bekerja sama dengan salah satu produk fashion asal negeri Paman Sam, Supreme, mengelurakan Produk Oreo seharga Rp 500 ribu untuk sebungkus yang berisi tiga keping biskuit! Bahkan, yang lebih gila, sebagaimana dilansir Kompas, satu bungkus Oreo Supreme sempat dibandrol hingga 18.000 dollar AS atau setara Rp 269 juta di situs jual beli online ebay! Edan kan!?
Sebenarnya tidak ada faktor tangible yang layak membuat Oreo ini berharga sebegitu mahalnya. Dari segi packaging, ataupun rasa, sebagaimana review yang dilakukan oleh beberapa youtuber, misalnya, Oreo Superme ini tidak begitu berbeda dengan Oreo jenis lainnya. Bedanya hanya tulisan Supreme dan warna merah mencolok dari produk ini, yang sebenarnya tidak spesial-spesial amat. Namun, di tengah ketidakspesialan tersebut, Oreo ini tetap saja laku di pasaran! Mengapa?
Hal ini melemparkan ingatan saya pada kuliah Teori Sastra beberapa waktu lalu. Dalam kuliah tersebut, terminologi “Mengonsumsi Konotasi” muncul. Ungkapan ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana manusia modern sering kali terjebak dalam paradigma konotasi, dengan memaksakan sesuatu pada diri mereka agar seolah-olah menjadi bagian dari sesuatu yang diada-adakan tersebut. Hehe, Mbulet?
Baik agar lebih gampang, sebelum mengupas tentang “Mengonsumsi Konotasi”, mari kita pahami dulu apa itu konotasi. Konotasi lahir dari rahim semiotika. Singkatnya, ada dua cara untuk memaknai sesuatu, yaitu pemaknaan denotasi dan pemaknaan konotasi. Denotasi merupakan pemaknaan “lugu” yang mengacu pada deskripsi literal atau kamus. Pemaknaan ini juga didasarkan pada tangkapan panca indera. Contohnya, kata “merah”.
Secara denotasi, “merah” merujuk pada salah satu warna sesuai dengan konvensi sosial di masyarakat. Contoh yang lain, kata “kopi” misalnya. Pemaknaan denotasi akan menghasilkan deskripsi tentang salah satu tanaman yang tumbuh pada ketinggian tertentu yang olahan biji buahnya biasa diseruput oleh sobat senja sambil menulis lirik-lirik cinta #halah.
Namun, bila dilihat dari kaca mata konotasi, dua kata tersebut, merah dan kopi, menyimpan makna berlapis. Pemaknaan konotasi bisa dikaitkan dengan aspek kultural, politik, sosial, hingga sejarah. Konotasi memberikan ruang bagi kita untuk lebih eksploratif dalam memaknai sesuatu. Singkatnya, konotasi adalah extended meaning. Dengan begitu, kita bisa memaknai kata “merah” sebagai simbol sifat berani, keberuntungan (dalam budaya masyarakat Tiongkok), gerakan politik, atau ideologi tertentu. Sementara itu, kopi bisa dimaknai dengan keakraban, kelas sosial, sejarah kolonialisme, kapitalisme, hingga eksklusivisme.
Baik, mari kembali ke perbincangan awal soal “Mengonsumsi Konotasi” tadi. Sebenarnya, hampir semua objek di masyarakat memiliki konotasinya sendiri. Konotasi sengaja dikonstruksi untuk berbagai fungsi. Agar lebih jelas, mari kita bahas tentang kopi lagi. Kopi, di kalangan grassroot biasa disuguhkan untuk menyambut tamu, perekat sosial dan penegas komunalitas. Namun, untuk kalangan tertentu, kopi tidak sesederhana itu. Kopi juga berarti eksklusivitas.
Di kafe-kafe tertentu yang disetting sedemikian rupa, yang dilengkapi dengan alunan musik jazz, lampu-lampu sendu, dan aroma ruangan yang memanjakan indra penciuman, kopi menjelma barang ekseklusif yang membuat kantung sobat “misqueen” menjerit. Kopi dengan nama-nama yang sulit diucapkan, bertransformasi dari sekadar minuman menjadi sebuah simbol penanda kelas.
Karena fungsinya yang sudah berubah, cara menikmati secangkir kopi pun ikut berubah. Misalnya, walaupun toh kita mempunyai uang yang cukup untuk membeli secangkir kopi di kedai-kedai ekseklusif tersebut, nyatanya, kita harus tetap mempersiapkan hal lain sebelum bisa meneguk kopi itu. Kita harus, misalnya, mengenakan pakaian yang “layak” untuk masuk kafe, laptop merek tertentu, hingga bahan obrolan atau bahasa standar yang seolah-olah menjadi prasyarat turunan untuk bisa menikmati secangkir kopi di tempat itu.
Tentu sah-sah saja semisal kita dengan cuek ingin mendobrak pakem-pakem tak tertulis tersebut. Misalnya, datang ke kafe-kafe itu dengan memakai sarung, kaus compang-camping, muka kumal, atau membayar dengan uang receh. Kita tetap saja bisa menikmati kopi di sana. Akan tetapi, kita akan merasa asing, merasa tidak setara dengan yang lain. Kita merasa termarginalkan karena tidak memenuhi prasarat turunan untuk menikmati kopi di sana. Pada gilirannya, kita mengalami apa yang disebut aleniasi.
Terkait tentang bagaimana makanan bertransformasi menjadi sebuah simbol kelas tertentu sebenarnya telah dibongkar oleh seorang antropolog Amerika. Sahlins, dalam tulisannya yang berjudul Food as Symbolic Code (1990), membongkar struktur tersembunyi yang ada di balik makanan steak.
Mulanya, ia mengklasifikasikan makanan di Amerika menjadi dua katagori, yaitu edible dan inedible. Kelompok hewan yang inedible adalah anjing, kucing, dan kuda. Masyarakat Amerika menganggap anjing sebagai kerabat mereka. Sementara itu, kuda adalah hewan tunggangan yang berjasa dan patut mendapatkan kasih sayang. Oleh karenanya, saat imbauan untuk makan daging kuda beredar (saat Amerika mengalami krisis daging sapi), gelombang protes merebak di seantero Amerika. Orang Amerika menganggap bahwa melahap daging kuda adalah perbuatan yang tabu.
Kategori kedua adalah daging-daging yang edible. Daging yang masuk di kategori ini, mostly adalah daging hewan ternak seperti ayam, babi, dan sapi. Di antara ketiga hewan tersebut, sapi menempati strata tertinggi dalam dunia perdagingan. Lebih jauh lagi, di dalam daging sapi, terdapat klasifikasi yang lebih njelimet. Bagian daging tertentu hanya diperuntukkan untuk kalangan kaya-Borjuis saja.
Sehingga, walaupun toh daging sapi melimpah, harga daging bagian tertentu tersebut tetap saja mahal. Padahal, apabila dilihat dari nilai nutrisi yang dikandung, daging tersebut tidak berbeda jauh dengan daging bagian lain. Namun, sekali lagi permainan makna simbolis membuat harga daging bagian tertentu tersebut mahal dan tidak bisa digapai orang-orang “kimsin”. Bagian tersebut sering kali dimasak menjadi steak. Sehingga steak secara konotasi bermakna kelas sosial dan eksklusivitas. Teruntuk orang-orang miskin, mereka hanya “berhak” memakan bagian lain yang lebih rendah dari sapi, seperti jeroan, isi perut, dan sejenisnya.
Dari penyelidikan tersebut, Sahlins menemukan fakta bahwa kaum-kaum borjuis berusaha memegang kendali atas aturan-aturan yang berlaku di masyarakat, termasuk dalam makanan. Ada struktur sosial yang ingin dipertahankan di sana. Ada kelas-kelas yang sengaja di-uri-uri agar tidak mati. Hal tersebut dilakukan dengan cara memasukkan makna dalam simbol makanan. Itulah mengapa harga steak selalu mahal. Itulah mengapa table manner harus dikuasai untuk makan steak. Itulah mengapa dengan mengonsumsi steak, secara ilusif membuat kita menjadi bagian orang ekseklusif.
***
Kasus-kasus seperti ini sebenarnya tersebar di banyak aspek kehidupan kita saat ini. Banyak sekali makanan, pakaian, aksesoris yang berharga “tidak normal”. Tas, sepatu, dan makanan yang berharga selangit, yang sebenarnya secara fungsi sama saja dengan yang berharga rendah; sengaja diciptakan untuk menegaskan perbedaan kelas. Barang tersebut diadakan sebagai pembeda antara si pemakai dan orang kebanyakan.
Sayangnya, seringkali kita terjebak hal semu semacam itu. Kita, demi memberi makan gengsi, rela membeli barang-barang mahal tersebut. Mengonsumsi sesuatu hanya karena ingin terlihat keren, dan mendapat social acceptance yang palsu. Kita bersusah payah mengenyangkan ilusi yang nyatanya tidak akan pernah kenyang. Singkatnya, kita sering kali terjebak dalam pola “konsumsi konotasi”.