Mengungkap Relasi Kiai dan Blater di Madura

32 views

Sosio-kultural Madura menyimpan realitas yang cukup kompleks. Eksistensinya bukan hanya yang tampak di permukaan. Tentang Madura yang menjadi sarang premanisme, tradisi carok, kekerasan adalah bukan satu-satunya. Kekayaan etik-pesantren dan kemanusiaan juga mengakar kuat di pulau ini.

Selama ini, keberadaan bandit atau blater telah membentuk persepsi orang atas Madura. Kriminalitas yang dilakukan oleh para bandit ini tak hanya dilakukan di Madura, melainkan telah merambah ke wilayah luar, seperti Surabaya dan beberapa kota metropolitan lainnya. Realitas semacam ini yang mengakibatkan ingatan buruk orang lain akan Madura semakin mengakar.

Advertisements

Padahal, di sisi yang berbeda, kekuasaan kultural di Madura tak hanya dipegang oleh blater, melainkan pengaruh dominasi kiai juga sangat diperhitungkan. Karomah Kiai Kholil Bangkalan yang hingga saat ini makamnya ramai dikunjungi peziarah dari berbagai penjuru Nusantara menjadi indikasi, bahwa Madura memiliki kultur keagamaan dan kepesantrenan yang kental.

Terlebih, sebagaimana kalimat masyhur dan lekat di pulau ini adalah ‘Buppa’ Babbu’ Ghuru, Rato’. Istilah Guru dinisbatkan pada sosok kiai, yang menjadi entitas dimuliakan dan diperhitungkan. Tentang bagaimana para blater ini mendapatkan legitimasi masyarakat di Madura, melakukan upaya hegemoni, dan dinamika relasi dengan kiai telah dijelaskan dengan apik dalam buku ini.

Setidaknya ada dua poin utama yang bisa didapatkan pembaca (tanpa bermaksud membatasi gagasan di dalamnya), antara lain: bagaimana kiai dan blater mendapatkan legitimasi dan hegemoni dan bagaimana desain relasi keduanya terjalin.

Kiai dan blater di Madura memiliki upaya hegemoni yang berbeda dan bagaimana mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Sebagai guru moral, tentu legitimasi seorang kiai didapat dari kharismanya dalam hal keilmuan, utamanya ilmu agama.

Meskipun, ini bukan satu-satunya cara. Seorang kiai mendapat pengakuan dan glorifikasi yang lebih adalah ketika kepiawaiannya dalam agama diikuti dengan pengaruh lain, seperti garis keturunan. Sebut saja kiai dari trah bani Khalil yang mendapat pengakuan lebih dari masyarakat, terlepas dari yang bersangkutan menguasai ilmu agama atau tidak.

Kiai yang punya ikatan trah bani Kholil akan dengan mudah mendapatkan legitimasi demikian ketimbang mereka yang outliers (katakanlah: perintis dalam dunia usaha). Namun, tak dapat disangkal, luas atau sempit pengaruhnya, para kiai (guru moral) mendapatkan tempat khusus di masyarakat. Terlebih, bentuk sosial masyarakat Madura yang lebih bercorak kultur agama (lebih tepatnya pesantren).

Meskipun, kadang, dengan eksistensinya yang diakui itu, terdapat kecenderungan kiai untuk mempolitisasi kedudukannya demi kepentingan pribadi (baik politik dan ekonomi).

Di satu sisi, upaya melanggengkan hegemoni juga dilakukan oleh para blater dengan cara yang berbeda. Blater disebut layak mendapatkan legitimasi keblateran ketika telah malang-melintang dalam dunia kriminalitas atau dunia kelam. Melakukan tindakan di luar kebiasaan orang normal (seperti berjudi, bermain wanita, mencuri, carok dalam arti yang telah tergeser) adalah cara blater mendapatkan kehormatan dan pengakuan. Tradisi-tradisi keblateran, seperti acara remoh, juga ikut menjadi sumber pengaruhnya.

Para blater menjadi disegani. Namun, blater yang dimaksud dalam hal ini adalah yang saya sebutkan di atas; mereka yang punya banyak afiliasi dengan blater lain, memiliki track record keblateran yang mumpuni, dan lebih-lebih disokong oleh keadaan ekonomi di atas rata-rata. Sedangkan blater kecil, yang hanya aktif dalam dunia kelam namun tak memiliki privillage tersebut, hanya dianggap sebagai sampah masyarakat.

Seringkali, kiai dan blater berada dalam hubungan yang tegang sebab latar belakang mereka yang berbeda. Beberapa kiai bahkan secara tegas menolak dan mengharamkan tradisi-tradisi keblateran itu. Ketegangan kadang juga diperparah oleh keinginan keduanya dalam memperebutkan pengaruh di masyarakat.

Namun, ini salah satu yang menurut saya menarik dari penelitian dalam buku ini. Kiai dan blater tak jarang juga menjalin relasi. Relasi-relasi yang ada mungkin saja lebih kompleks, namun setidaknya ada dua pola relasi yang saya pahami setelah membaca buku ini.

Pertama, relasi kepentingan. Dua contoh telah dijelaskan dalam buku ini untuk menggambarkan bagaimana relasi tersebut terjalin. Dalam konteks politik, para kiai yang sedang berada dalam kontestasi (Pilkada misalkan) selalu melibatkan blater untuk melanggengkan kekuasaan dan memperoleh kemenangan. Ada semacam relasi patron-client. Para blater yang berada di kubu kiai dan mendukungnya adalah mereka yang telah mendapatkan irisan kue proyek dan sub-kekuasaan (jika terpilih).

Dengan pola yang sama (politik) namun dengan lingkup yang lebih kecil, buku ini juga menyuguhkan sebuah contoh di mana perebutan wilayah kekuasaan yang terjadi di madrasah; antarkiai juga melibatkan pengaruh blater di dalamnya.

Kedua, relasi etik. Ini adalah kabar baik, bahwa relasi yang terjalin antara kiai dan blater tak selalu berkonotasi negatif. Beberapa kiai, seperti Kiai Turmudzi yang dicontohkan di dalamnya, menjalin keakraban dengan blater untuk urusan kemanusiaan. Blater dirangkul agar tercapainya maslahah dalam bermasyarakat dan pergaulan, tanpa embel-embel kepentingan pribadi apalagi kekuasaan.

Ini seharusnya yang dikerjakan oleh kiai. Sebagai pengayom masyarakat, yang perlu menjadi prioritas adalah menanamkan moral dan pendidikan. Kenyataannya sekarang justru terbalik. Kiai-kiai bersikukuh melanggengkan kekuasaan, politik, dan ekonomi pribadi. Terlebih, menggunakan kekuatan blater untuk memuluskan kepentingannya.

Terakhir, buku ini sangat bagus dikonsumsi (dibaca) oleh semua kalangan. Tujuannya adalah agar persepsi tentang tradisi keblateran di Madura berikut kekerasannya tidak menjadi anggapan tunggal. Sebab, ada hegemoni atau pengaruh dominasi kiai yang juga besar.

Selain itu, agar kita lebih memahami bagaimana kiai dan blater mendapatkan posisi di masyarakat, bagaimana mereka mendapatkan legitimasi, lalu menjalin relasi. Wallahu a’lam…

Data Buku:

Penulis: Abdur Rozaki
Judul: Menabur Karisma Menuai Kuasa
Penerbit: IRCiSoD
Tahun Terbit: 2021
Tebal: 200 halaman
ISBN: 978-623-6166-56-7

Multi-Page

Tinggalkan Balasan