Menimbang Dampak Ekologis Tambang: Perspektif Fikih

223 kali dibaca

Perdebatan tentang sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menerima konsesi tambang (dan kemudian diikuti Pengurus Pusat Muhammadiyah)  setidaknya memberikan sedikit gambaran kepada kita, bahwa pergulatan pemikiran yang terjadi di berbagai platform media tidak selalu menghasilkan suatu hal yang produktif.

Saya pribadi menyimak pertama kali huru-hara ini lewat postingan Facebook Kiai Ulil Abshar yang berjudul “Soal Tambang dan Fikih Lingkungan”. Dari risalah pendek ini, Kiai Ulil dikritik habis-habisan oleh berbagai pihak, baik lewat artikel maupun kolom komentar.

Advertisements

Alasan kenapa di awal saya mengatakan bahwa perdebatan itu tidak produktif, karena pendetakan yang dipakai, baik Kiai Ulil maupun kritikusnya, sama sekali berbeda. Kiai Ulil dengan pendekatan berfikihnya harus dilawan oleh beragam argumentasi yang lebih bercorak politis dan ekologis. Tentu ketiga hal ini berbeda, walaupun saling berkaitan.

Selain itu, perdebatan pasal ini juga jamak saya temui di beberapa forum Bahtsul Masail. Pernah saya mengikuti forum tersebut lingkup pesantren se-Jawa dan Madura di Cirebon. Kami membahas masalah yang hampir sama. Di situ, memang muncul banyak pro dan kontra, selazimnya musyawarah fikih. Dan ini tidak hanya sekali. Di beberapa forum lain kami sering membahas isu-isu ekologis yang beragam.

Lalu, kenapa harus sekarang ramainya?

Dan, walaupun perdebatan tentang tambang perlahan mulai menguap oleh isu besar lain, namun pembahasan tersebut dari pendekatan turats an-sich patut untuk disimak.

Fikih dan Konsesi Tambang

Alam dan isinya adalah bentuk karunia terbesar dari Allah kepada manusia. Sebagai kholifatu al-ardh, manusia dituntut untuk menjadi pengelola sekaligus penanggung terhadap yang yang terjadi pada lingkungan sekitar. Dan salah satu alam itu adalah tambang batu bara yang menjadi perbincangan kita ini.

Berbicara tentang konsesi tambang, ternyata bukanlah hal yang baru. Imam al-Bukhori meriwayatkan suatu hadis, bahwa Nabi pernah melakukan hal tersebut kepada sahabat Bilal bin Harits terhadap tambang daerah Qobaliyyah. Dari sini, Imam badruddin al-Aini menegaskan, bahwa imam memiliki wewenang luas untuk mengelola hasil kekayaan bumi kepada siapapun yang dipandang ahli. [Al-‘Aini, Badru ad-Din. Umdatu al-Qori bi Syarhi Shohihi al-Bukhori. Jilid 12. Hlm. 221. Beirut: Dar al-Fikr].

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan