Menimbang Dampak Ekologis Tambang: Perspektif Fikih

228 kali dibaca

Perdebatan tentang sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang menerima konsesi tambang (dan kemudian diikuti Pengurus Pusat Muhammadiyah)  setidaknya memberikan sedikit gambaran kepada kita, bahwa pergulatan pemikiran yang terjadi di berbagai platform media tidak selalu menghasilkan suatu hal yang produktif.

Saya pribadi menyimak pertama kali huru-hara ini lewat postingan Facebook Kiai Ulil Abshar yang berjudul “Soal Tambang dan Fikih Lingkungan”. Dari risalah pendek ini, Kiai Ulil dikritik habis-habisan oleh berbagai pihak, baik lewat artikel maupun kolom komentar.

Advertisements

Alasan kenapa di awal saya mengatakan bahwa perdebatan itu tidak produktif, karena pendetakan yang dipakai, baik Kiai Ulil maupun kritikusnya, sama sekali berbeda. Kiai Ulil dengan pendekatan berfikihnya harus dilawan oleh beragam argumentasi yang lebih bercorak politis dan ekologis. Tentu ketiga hal ini berbeda, walaupun saling berkaitan.

Selain itu, perdebatan pasal ini juga jamak saya temui di beberapa forum Bahtsul Masail. Pernah saya mengikuti forum tersebut lingkup pesantren se-Jawa dan Madura di Cirebon. Kami membahas masalah yang hampir sama. Di situ, memang muncul banyak pro dan kontra, selazimnya musyawarah fikih. Dan ini tidak hanya sekali. Di beberapa forum lain kami sering membahas isu-isu ekologis yang beragam.

Lalu, kenapa harus sekarang ramainya?

Dan, walaupun perdebatan tentang tambang perlahan mulai menguap oleh isu besar lain, namun pembahasan tersebut dari pendekatan turats an-sich patut untuk disimak.

Fikih dan Konsesi Tambang

Alam dan isinya adalah bentuk karunia terbesar dari Allah kepada manusia. Sebagai kholifatu al-ardh, manusia dituntut untuk menjadi pengelola sekaligus penanggung terhadap yang yang terjadi pada lingkungan sekitar. Dan salah satu alam itu adalah tambang batu bara yang menjadi perbincangan kita ini.

Berbicara tentang konsesi tambang, ternyata bukanlah hal yang baru. Imam al-Bukhori meriwayatkan suatu hadis, bahwa Nabi pernah melakukan hal tersebut kepada sahabat Bilal bin Harits terhadap tambang daerah Qobaliyyah. Dari sini, Imam badruddin al-Aini menegaskan, bahwa imam memiliki wewenang luas untuk mengelola hasil kekayaan bumi kepada siapapun yang dipandang ahli. [Al-‘Aini, Badru ad-Din. Umdatu al-Qori bi Syarhi Shohihi al-Bukhori. Jilid 12. Hlm. 221. Beirut: Dar al-Fikr].

Selain itu, dalam literatur fikih dikenal konsep haqqu at-tashorruf al-milki (hak kelola kepemilikan). Dalam hal ini, fikih tentu memberikan keluasan; barang yang telah sempurna dimiliki maka juga bebas untuk dialokasikan. Ini hukum dasarnya. Dan siapa pemilik yang dimaksud? Tentu pemerintah, dengan menunjuk PBNU sebagai pengelola.

Lalu, bagaimana jika ada timbul beragam dampak ekologis yang dikhawatirkan aktivis lingkungan?

Jujur saja, sebelum membahas ini, kita harus melepas bias-bias subjektivitas yang terkadang membelenggu pikiran kita. Sikap PBNU memang menimbulkan kecurigaan dan tafsir liar dari masyarakat. Namun ketika kita menggunakan fikih sebagai pendekatan, maka pedoman utama adalah literatur-literatur turats dengan “mempertimbangkan” data faktual lingkungan yang ada. Sekali lagi “mempertimbangkan”, bukan pedoman utama.

Dalam konsep yang sama, yaitu konsep haqqu at-tashorruf al-milki, ada beberapa kasus yang fikih cenderung memakai standar ketat; membolehkan, tapi ada syaratnya. Sebut saja hafru al-bi’ri; ada seseorang yang menggali sumur, dipakai untuk menampung air. Ketika air tersebut mengeluarkan bau menyengat, maka tidak masalah selagi tidak menimbulkan bahaya yang sampai pada taraf membolehkan tayammum. Taraf yang membolehkan tayammum di antaranya: kematian, kehilangan salah satu fungsi tubuh, hilangnya organ tubuh, atau sakit yang akut. Hal ini mempertimbangkan bahwa pemilik barang mempunyai kuasa untuk me-tasharrufkan harta miliknya. [Ba’lawi, Abdurrahman. 1994. Bughyatu al-Mustarsyidin.Hlm.283. Beirut: Dar al-Fikr].

Dalam kasus lain, Imam Romli pernah memberikan suatu gambaran, bahwa di Mesir pernah ada pengelolaan senyawa amonia yang menyebabkan dampak besar bagi anak-anak kecil, bahkan sebagian dari mereka ada yang merenggang nyawa karenanya. Dalam hal ini, Imam Romli secara tegas menyatakan bahwa bentuk pengelolaan semacam ini dilarang oleh syarak. Pemerintah bahkan boleh menghukum dan menutup paksa proyek tersebut, dengan bentuk uang ganti kepada korban. [Al-Romli, Syihabuddin Ahmad. 2011. Fatawa al-Romli. Jilid 3. Hlm. 340. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah].

Dari kedua sumber ini, bisa disimpulkan bahwa bahaya ekologis yang bisa membatasi hak kelola kepemilikan suatu barang harus ditakar secara fikih. Bukan ketika ada bahaya pasti berhukum haram. Takaran yang dimaksud adalah sekira ada dugaan kuat (gholabatu adz-dzan) adanya bahaya yang terjadi bisa menyebabkan hilangnya organ tubuh, kematian, sakit yang akut, seperti yang disampaikan oleh fukaha dengan istilah “mubihu at-tayammum”.

Lalu bagaimana kaitannya dengan keadaan faktual ini?

Saya masih kesulitan mencari alasan atas ketidakbolehan PBNU untuk mengelola tambang pemerintah. Bagi saya, dengan mengesampingkan motif politis, hal ini sah-sah saja. Dampak ekologis yang terjadi juga bukan sampai pada taraf yang telah disebutkan. Apalagi sampai pada skala yang jika tambang diadakan pasti ada dampak tersebut.

Seperti halnya rokok, bahayanya tidak sampai taraf “tahaqquq” (pasti terjadi secara langsung). Maka, banyak ulama yang lebih memilih untuk menghukumi makruh rokok, bukan sampai haram. Karena kendati pun ada bahaya, namun tidak dirasakan secara langsung.

Dan dalam fikih, ada dua cara dalam menjawab suatu persoalan; waqi’iy dan maudhu’iy. Cara yang pertama ketika persoalan telah benar-benar terjadi, dan detail-detail kecilnya telah teridentifikasi. Maka jawaban yang diajukan harus tegas, haram atau halal.

Berbeda ketika peristiwa yang dibahas belum terjadi, dan dampak negatif -jika ada- pada hal tersebut sifatnya masih asumtif dan fifty-fifty, maka jawaban hukum yang diajukan boleh atau tidak boleh, disertai syarat-syarat dan perincian-perincian, seperti pasal tambang ini.

Terlalu normatif memang. Namun, beginilah fikih yang sebenarnya. Normatif, di sisi lain juga mewajibkan pembacanya untuk selalu objektif dalam memandang sesuatu.

 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan