Menimbang Pengelolaan Tambang dalam Timbangan Fikih

281 kali dibaca

Tulisan ini adalah murni hasil perenungan penulis pribadi, bukan untuk menanggapi siapa pun, dan semoga juga tidak terikat dengan fanatisme terhadap organisasi massa (ormas) apa pun.

Sebelum masuk lebih dalam, mari kita dudukkan dulu posisi pengelolaan tambang yang termasuk hal yang bersifat mu’amalat (public affairs), sehingga memiliki hukum asal mubah, kecuali jika ada dalil syar’i yang sudah jelas-jelas mengharamkannya, seperti riba dan masih banyak kasus lainnya.

Advertisements

Biasanya, seorang pakar fikih (faqih) mengharamkan sesuatu dengan melihat dua aspek. Pertama, li dzatihi  atau melihat pada objek yang akan dihukumi. Kedua, li ghoirihi atau karena ada hal tertentu, sesuatu yang mubah bisa menjadi haram. Dari sini kita tahu bahwa tambang, lebih spesifik tambang batubara, hukumnya adalah mubah li dzatihi, dan bisa menjadi haram apabila ada hal tertentu yang bisa mengubah hukum asalnya.

Dalam kasus seperti ini, kita tidak mungkin -atau minimal kesulitan- menemukan teks pakar fikih yang secara jelas spesifik menyebutkan problematika tambang batubara, sehingga jalan yang bisa kita tempuh sekurang-kurangnya ada dua metode.

Pertama, ilhaqul masa’il bi nadzairiha, yaitu metode menghukumi sesuatu dengan cara menyamakan masalah yang terjadi sekarang dengan masalah yang sudah disebutkan pakar fikih terdahulu karena adanya kemiripan pada keduanya. Dalam konteks metode ini, penulis belum menemukan teks kitab furu’ yang mirip dengan kasus tambang batubara ini.

Mungkin sebagian aktifis Bahtsul Masa’il mengira ada kemiripan antara masalah tambang dengan masalah amoniak yang disebutkan di beberapa kitab fikih, seperti Tuhfatul Muhtaj, Hasiyata Qolyubi Wa Umairoh, Hasiyah Bujairimi ala Manhaj, dan lain sebagainya. Namun, menurut penulis kedua kasus ini berbeda. Dalam kasus proses pemasakan cairan amoniak bahaya yang dihasilkan langsung bisa dirasakan seketika, tidak jangka panjang. Sedangkan, bahaya yang dihasilkan dari proses penambangan batubara ini bersifat jangka panjang. Tentu ini adalah dua hal yang jauh berbeda.

Kedua, memakai kaidah fikih (Fikih Manhaji), yaitu metode menghukumi sesuatu dengan cara menggunakan kaidah-kaidah umum yang telah ditetapkan ulama. Dalam konteks metode ini, penulis akan menggunakan satu kaidah pokok yang pada nantinya mempunyai beberapa kaidah cabang, yaitu kaidah al-dlarurat tubikhu al-makhdzurat (dalam situasi darurat, diperbolehkan menerjang keharaman).

Kenapa kaidah tersebut bisa dipakai dalam kasus ini? Sudah maklum bahwa energi listrik yang selama ini kita rasakan kemanfaatannya adalah bersumber dari batubara. Bisakah kita membayangkan hidup di era sekarang tanpa listrik? Pasti yang terjadi adalah kekacauan, kehidupan terganggu, bahkan bisa berakibat kematian. Dengan demikian, listrik bagi kehidupan kita sekarang ini adalah sebuah hal sekunder (dloruri) yang harus terpenuhi.

Namun, meskipun batubara mempunyai banyak kemanfaatan bagi manusia, di sisi lain juga mempunyai bahaya jangka panjang yang sangat besar, sudah ratusan bahkan ribuan tulisan yang membahas hal ini. Namun, untuk sementara ini, negara di seluruh dunia belum mampu menghentikan secara total konsumsi energi fosil yang salah satu sumbernya adalah batubara ini, tapi mereka sudah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca lain. Karena bahaya yang sedemikian besar inilah hukum menambang batubara bisa menjadi haram.

Kemudian, salah satu kaidah cabang dari kaidah dasar al-dlarurat tubikhu al-makhdzurat adalah kaidah ma jaaza li ‘udzrin baathola bizawaliha, yaitu apapun yang diperbolehkan karena uzur, ketika uzurnya hilang, kebolehannya juga hilang. Bagaimana cara penerapan kaidah ini? Dari keterangan di atas kita tahu bahwa penggunaan energi fosil -yang salah satu sumbernya adalah batubara- tidak bisa diberhentikan secara mendadak, dan untuk sementara belum ada gantinya, sehingga muncullah kesimpulan bahwa energi fosil yang sekarang kita nikmati adalah alternatif pengganti sementara (badil), tidak untuk selamanya.

Mengingat, energi fosil yang sekarang kita konsumsi itu mubah karena belum ada sumber energi lain yang memadai (ma jaaza li ‘udzrin), maka jika sudah ada tenaga lain yang memadai, wajib kita meninggalkan energi fosil yang lama menuju energi yang baru (bathola bi zawaliha).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan