“Saya tidak memiliki darah Indonesia sama sekali. Saya sebenarnya (berdarah) campuran Jerman, Jepang, dan China. Saya hanya lahir di Indonesia.”
Itulah pernyataan artis bertalenta Agnez Mo yang mengundang kontroversi seputar sentimen nasionalisme. Pernyataan itu disampaikan Agnez Mo dalam sesi wawancara dengan BUILD Series dengan pembawa acara Kevan Kenney belum lama ini. Saya tak hendak berdiri di garis kontroversi itu. Saya hanya ingin menegaskan bahwa pernyataan Agnez Mo dengan hiruk-pikuk kontroversi yang menyertainya hanyalah potret dari “proses menjadi Indonesia” yang memang belum selesai —entah sampai kapan.
Siapa sesungguhnya di antara kita yang berdarah Indonesia? Atau paling berdarah Indonesia? Sudah pasti nihil. Saya orang yang berdarah Jawa. Anda mungkin berdarah Madura, Sunda, Arab, Batak, Dayak, Minang, Bajo, Aceh, Tionghoa, Sumba, Flores, dan seterusnya dengan daftar yang begitu panjang. Tapi setiap kita berhak mendaku sebagai orang Indonesia, dengan tetap mempertahankan kejawaan kita, kemaduraan kita, kesundaan kita, kearaban kita, kebatakan kita, kedayakan kita, keminangan kita, dan seterusnya. Pendeknya, untuk menjadi Indonesia, Anda tidak perlu menyetip suku dan ras Anda. Juga agama yang Anda anut.
Indonesia memang dibangun di atas fondasi kebhinekaan, sesuai dengan semboyannya: Bhineka Tunggal Eka. Begitu beragamnya suku, ras, agama dan kepercayaan, budaya dan tradisi, bahasa, dan adat istiadat masyarakat Indonesia. Tapi Indonesia bukan puzzle dari beragam anasir SARA itu. Masyarakat Indonesia bukanlah sekadar kerumunan dari orang-orang Jawa, Madura, Sunda, Arab, Batak, Dayak, Minang, Bajo, Aceh, Tionghoa, Sumba, Flores, dan seterusnya. Indonesia adalah kesatuan kohesif dari semuanya itu. Juga, masyarakat Indonesia adalah kesatuan kohesif dari semuanya itu.
Seperti halnya negara-bangsa (nasion state) yang muncul pada awal abad ke-20, lahirnya Indonesia juga seperti yang diteorikan Benedict Anderson: pada mulanya ia sebagai komunitas yang dibayangkan (imagined communities). Bangunan negara-bangsa modern tidak lagi didasarkan atas dominasi ras tertentu, suku tertentu, agama tertentu, atau keturunan tertentu. Karena itu Indonesia bukan negeri asal usul. Indonesia adalah negeri masa depan. Seluruh masyarakat Indonesia, dari berbagai ras, suku, dan agama dengan tradisi yang berbeda-beda, tanpa semua harus berinteraksi langsung satu sama lain, membayang suatu komunitas masa depan yang sama; Indonesia.
Berdarah Jawa dan menyandang status santri tak lantas membuat Anda lebih Indonesia dari yang lain. Berdarah Batak juga tak lantas membuat Anda lebih Indonesia dari yang lain. Pun, Anda yang berdarah Tionghoa atau Arab juga tak lantas kurang Indonesia dibandingkan dengan yang lain. Maka, ketika Agnez Mo merasa diri tak punya darah Indonesia karena keturunan campuran dari darah Jerman, Jepang, dan China, tak berarti ia kurang Indonesia dibandingkan dengan al-Zastrouw yang santri dan selalu berblangkon, misalnya.
Kita semua adalah anak-anak bangsa, yang sedang berproses menjadi Indonesia. Pernah ada masa, merayakan kebhinekaan dianggap sebuah aib. Jika kita tidak bisa menjaganya, hal yang sama bisa terulang kapan saja.