Ketika membincang Ramadan sebagai bulan suci, tentu banyak aspek kesucian yang perlu dijaga. Selain kesucian bulan itu sendiri, ada dorongan untuk menyucikan diri melalui ibadah puasa. Karena sejatinya puasa menjadi inti dari bulan Ramadan itu sendiri, maka setiap muslim harus menjadikannya sebagai media untuk mengasah diri menjadi pribadi lebih baik.
Menanti bulan Ramadan merupakan satu keniscayaan bagi setiap muslim. Banyak yang ingin melatih diri menjadi lebih baik. Karenanya, Ramadan disebut sebagai bulan pendidikan. Tiap orang berkesempatan menambah kapasitas keilmuan baik secara intelektual maupun spiritual. Termasuk salah satunya, Ramadan dijadikan sebagai sarana melatih diri untuk selalu berpikir positif.
Berpikir dapat menjadi salah satu media berekspresi. Dengan bekal akal dan nafsu dalam diri, manusia selalu punya gejolak dan harapan atas apa yang telah dipikirkannya. Kombinasi akal dan nafsu dapat mendorong seseorang untuk mengolah pikiran dalam diri dalam rangka menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan. Boleh disebut bahwa pikiran sebagai titik sentral perilaku dan pencapaian seseorang.
Apabila seseorang ingin melakukan suatu kebaikan, tentu harus berawal dari pikiran yang baik. Di sinilah peran pikiran positif mendorong orang bertindak sesuai yang dipikirkan sebelumnya. Dengan menggantungkan tindakan pada pikiran positif, diyakini mampu mengubah pesimisme menjadi optimisme.
Contoh sederhana, saat menghitung tentang durasi waktu berpuasa boleh jadi akan terasa berat dan merasa bakal tidak kuat. Akan tetapi, jika dilandasi niat yang baik dan menyertakannya dengan pikiran positif, di luar dugaan puasa itu menjadi terasa ringan dan ternyata mudah.
Berbanding terbalik dengan fakta tersebut, bahwa pikiran juga berpotensi menjerumuskan orang pada kehancuran. Menyalahgunakan pikiran jadi salah satu sumbernya. Salah dalam berpikir juga menjadi bentuk lain dari pikiran negatif. Pikiran yang negatif akan selalu menghantui hidup dan perilaku seseorang. Rupanya pikiran negatif hanya akan menjebak seseorang untuk lupa diri dan tidak mudah menerima kenyataan. Karena pikiran negatif, orang menjadi terjebak pada kebenaran personal yang berlebihan dan tidak mudah menerima orang lain lebih baik.
Saat orang berpikir negatif, akan berdampak negatif pula bagi dirinya. Apa yang terlintas di pikirannya menjadikan semua hal menjadi negatif. Bentuknya boleh berupa kebiasaan menyalahkan orang lain, sifat dengki, mengadu domba, dan benci yang berlebihan. Itu semua merupakan penyakit hati yang harus diobati.
Jika ditilik teks agama, pikiran negatif ini menjadi bagian erat dari akhlak madzmumah (perilaku tercela) yang harus dihindari setiap muslim. Allah menyuruh kita sebagai orang beriman untuk menjauhi prasangka negatif. Karena sebagiannya itu dosa (QS. al-Hujurat [49]: 12).
Melalui Ibadah puasa diharapkan mampu memupuskan penyakit-penyakit hati yang bersumber dari pikiran negatif. Dikutip dari Imam al-Ghazali, bahwa tingkatan kedua dari pembagian puasa adalah puasa yang khusus (shaum al-khushush). Jika puasa awam hanya berkenaan dengan menahan diri dari lapar dan syahwat dalam sehari, puasa khusus memiliki makna menahan diri dari segala dosa. Puasa harus dimaknai sebagai amalan menahan diri yang mencakup seluruh anggota tubuh–baik telinga, mata, tangan, lidah, dan lainnya–dari perbuatan dosa. Termasuk dalam hal ini adalah dosa yang bersumber dari pikiran harus ditahan supaya pikiran selalu positif.
Pembiasaan Pikiran Positif
Pada saat ibadah puasa berlangsung, seseorang berkesempatan untuk mengasah diri melemahkan pikirannya. Pikirannya berstatus lemah di hadapan Dzat Yang Maha Kuasa. Kekuatan otaknya berkurang saat itu dan harus digunakan untuk membiasakan selalu berpikir positif. Dengan begitu, secara tidak langsung orang berpuasa juga menjadikan pikirannya selalu mengingat Allah di balik ibadah yang dijalankannya. Maka, ketika lulus ibadah puasa selama sebulan akan mahir dalam mengendalikan pikiran selalu positif.
Seseorang yang sedang berpuasa sudah semestinya mencari Allah dalam ibadahnya. Pada saat yang sama, seseorang benar-benar tengah meyakinkan diri dalam penghambaan kepada Allah semata. Berpuasa sama saja sedang melatih diri untuk berprasangka baik kepada Allah.
Karenanya, jelas bahwa Allah sangat mengapresiasi persangkaan baik hamba-Nya. Hal ini terekam jelas dalam hadis qudsi:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ –: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –، قَالَ: يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى : أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ، ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرنِي فِي مَلَأٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dari Abu Hurairah RA.: bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Allah berfirman: “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika Ia mengingat-Ku. Jika Ia mengingat-Ku saat sendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika Ia mengingat-Ku di suatu kelompok, Aku akan mengingatnya di kelompok yang lebih baik daripada mereka.” HR. Bukhari Muslim
Secara tersirat hadis tersebut mengajak kita untuk belajar berpikir positif. Keyakinan adanya Allah selalu bersama hamba-Nya, melahirkan pikiran positif dalam segala keadaan. Termasuk dalam segala urusan diajarkan untuk menggantungkan semuanya karena Allah. Karena Allah akan berbuat sesuai persangkaan hamba-Nya. Allah akan dekat bersama orang yang merasa dekat dengan-Nya. Juga sikap hamba yang menjauh dari Allah, akan menjauhkan Allah darinya. Sehingga, kembangkan pikiran positif agar perbuatan kita juga selalu bernilai positif.
Dalam aspek lain, lemahnya tubuh seseorang juga mendasari peningkatan spirit core ibadah puasa untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kondisi lapar saat berpuasa juga melemahkan syahwat yang terkadang menggebu-gebu. Terkadang juga syahwat berperan aktif mendukung munculnya pikiran-pikiran negatif yang tidak perlu.
Maka, berpuasa selain menjadi sarana ibadah juga mengajari aspek olah pikir seseorang menjadi lebih terkendali. Dengan adanya kendali pikiran tersebut, pikiran positif akan selalu menjadi prioritas untuk segala niat baik selanjutnya. Wallahu A’lam