Tantangan hidup di dunia saat ini makin kompleks. Termasuk, dalam pendidikan moral dan akhlak. Di antaranya ini dipicu dan dipengaruhi perkembangan teknologi yang semakin canggih. Selain memberi dampak positif, kemajuan dan kecanggihan teknologi juga dapat memberikan efek samping yang kurang baik bagi pendidikan moral dan akhlak. Karena itulah, salah tugas kita adalah meminimalisasi dampak buruknya bagi kehidupan kita.
Harus diakui, era digital ini dapat membuat semua terasa lebih mudah. Namun, sekali lagi, tanpa adanya kontrol dan pengawasan yang memadai, dampak dari kemajuan dan kecanggihan teknologi ini dapat menyebabkan kemerosotan moral dan akhlak. Karena itu, sejak dini kita harus berpegang teguh pada nilai-nilai yang diajarkan Islam untuk membendung dampak negatif dari kemajuan dan kecanggihan teknologi itu.
Dalam konteks ini, membangun karakter sesuai dengan yang diajarkan Islam adalah salah satu solusinya. Pertama, misalnya, setiap kita harus memiliki cita-cita yang tinggi, setinggi lagit, untuk digapai. Cita-cita tinggi itulah yang akan menjadi pemandu arah dan penyemangat, sehingga kita tidak menjadi pribadi yang lemah, yang gampang tergoda dan terbawa arus zaman.
Kedua, kita harus bisa menjauhi forum atau majlis atau sesuatu yang penuh kesia-siaan. Artinya, kita harus tetap fokus pada cita-cita, dan tidak tergoda pada hal-hal yang tak banyak manfaatnya. Ada ungkapan seperti ini: Janganlah kamu menjejakkan kakimu di atas permadani, di mana orang-orang membuat kemungkaran di atasnya, yang dapat merusak sendi-sendi moral, dan kamu berpura-pura tidak tahu akan hal itu. Dalam konteks kekinian, forum, majlis, atau permadani itu mewujud dalam bentuk medsos. Artinya, jangan sampai kita terbawa arus penyebaran berita bohong atau hoax melalui medsos, misalnya.
Ketiga, kita harus menjadi pribadi pemaaf. Dengan selalu memaafkan kesalahan orang lain, kita akan menjadi terhalang untuk menyebarkan aibnya. Seorang penyair pernah mengatakan, “Siapa orang yang bisa engkau terima semua sikap hidupnya? Cukuplah seseorang itu dikatakan mulia bila aibnya bisa dihitung.”
Ulama Ja’far ibn Muhammad pernah memberi nasihat kepada anaknya demikian: “Wahai anakku, siapa di antara teman-temanmu yang marah kepadamu sebanyak tiga kali, dan yang dikatakannya adalah sebuah kebaikan dan kebenaran, maka jadikanlah ia sebagai temanmu.”
Kemudian, al-Hasan ibn Wahab pernah berkata: “Di antara hak-hak mencintai adalah memberi maaf terhadap kesalahan teman, dan menutup mata atas kekurangannya.”
Jika nasihat-nasihat tersebut kita jadikan pegangan, kita akan terbebas dari perilaku buruk berupa penyebaran aib atau hoax melalui medsos.
Perlunya menjaga akhlak yang baik, seperti pernah diajarkan Abdurrahman an-Nahlawi, menjadi terasa sangat penting di era digital yang menyebabkan kehidupan begitu gaduh dengan masifnya ujaran kebencian. Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, penyemaian akhlak yang bisa dilakukan melalui dialog.
Ia memberi contoh, ketika seseorang bertanya kepada guru (orang lain), hendaklah dilakukan dengan perkataan yang baik. Jangan sampai menyinggung perasaan atau bahkan sampai menjatuhkan harga diri seorang guru (orang lain), atau mengadu domba pendapat satu orang dengan yang lain nya. Memaksakan pendapat harus dihindari.
Jika dalam suatu komunitas masyarakat terdapat perselisihan, cara terbaik untuk menemukan titik terang adalah dengan dialog atau musyawarah, bukan saling menafikan dan menebarkan kebencian.
Ini juga sesuai dengan anjuran Ibnu Qayyim. Jika ada suatu masalah, orang harus duduk bersama untuk mendapatkan pemahaman. Menurut Ibnu Qayyim, ilmu memiliki enam tingkatan, yaitu bertanya dengan baik, mendengar dengan baik, memahami dengan baik, menghafal dengan baik, mengajarkan dan berbagi kepada sesama, dan saling menjaga batasan-batasannya.
Dengan memahami dan mengambil pelajaran dari yang disampaikan para ulama tersebut, kita akan mampu membentengi diri dari dampak negatif kemajuan dan kecanggihan teknologi yang menghadirkan tantangan di dunia saat ini makin kompleks.