Ajaran Islam sangat menganjurkan umatnya menjaga diri dari berbagai bentuk ancaman yang membahayakan jiwa manusia. Beberapa ayat al-Quran dan Hadits menyatakan hal ini. Misalnya, QS Al-Baqarah ayat 195: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Menurut para mufasir, ada lima tafsir dari kata “Janganlah kamu membinasakana dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” yang, salah satunya, adalah masuk (menyerang) ke dalam pasukan yang kita tidak mampu untuk menghadapinya (lih. Ibnu al-‘Arabi dalam Ahkaamu al-Qur’an, I; 116). Ini artinya, umat Islam tidak boleh nekad melakukan sesuatu yang bisa membahayakan dirinya sendiri, termasuk dalam hal berjuang dan beribadah.
Ayat ini diperkuat juga dengan salah satu Hadits Nabi yang menyatakan: la dharar wala dhirar (tidak boleh ada bahaya atau tindakan yang bisa membahayakan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain). Dalam hadits lain yang diriwayatkan Imam al Hakim dan Baihaqi juga disebutkan: Barangsiapa membahayakan orang lain, maka Allâh akan membalas bahaya kepadanya dan barangsiapa menyusahkan atau menyulitkan orang lain, maka Allâh akan menyulitkannya.”
Ayat dan teks ini secara tegas dan jelas menyebutkan bahwa umat Islam diperintahkan untuk menghindar dari bahaya atau melakukan tindakan berbahaya yang bisa mencelakai diri sendiri maupun orang lain.
Upaya menjaga keselamatan diri ini juga dianjurkan ketika menghadapi wabah penyakit sebagaimana dikatakan Nabi: “….Kalau kalian mendengar ada wabah thaun di suatu negeri, janganlah kalian memasuki negeri tersebut. Namun, bila wabah thaun itu menyebar di negeri kalian, janganlah kalian keluar dari negeri kalian menghindar dari penyakit itu.” (HR Bukhari-Muslim).
Dalam Hadits yang lain Nabi bersabda: Jika kalian mendengar wabah terjadi di suatu wilayah, janganlah kalian memasuki wilayah itu. Sebaliknya, jika wabah itu terjadi di tempat kalian tinggal, janganlah kalian meninggalkan tempat itu (HR al-Bukhari).
Berdasarkan hadits ini, Ibnul Qayyim al-Jauziy menyataan bahwa orang yang tetap memaksakan diri masuk ke daerah wabah, atau nekad melanggar aturan kesehatan, sama saja dengan membinasakan dirinya sendiri dan itu bertentangan dengan syariat Islam.
Contoh dari Nabi
Sikap menghindar dari bahaya yang bisa mengancam keselamatan diri maupun orang lain ini tidak hanya disebutkan dalam teks, tetapi juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Ada dua peristiwa monumental yang bisa dijadikan contoh mengenai hal ini. Pertama, peristiwa Hijrah sahabat Nabi ke Habasyah. Peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab tahun ke-5 kenabian, (Ibn. Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, 1:354). Disebutkan dalam sejarah, peristiwa ini terjadi sebagai upaya untuk menghindari bahaya akibat siksaan dan tekanan yang dilakukan oleh kaum jahiliyah Quraisy terhadap umat Islam pengikut Nabi.
Kedua, adalah peristiwa gagalnya Nabi melaksanakan ibadah umrah akibat dihadang oleh kaum jahilah Mekkah, sehingga berujung pada terjadinya perjanjian Hudaibiyah. Peristiwa ini terjadi pada bulan Dzulhijjah tahun 6 H (638 M). Sebagaimana dijelaskan Ibn Hisyam dalam Sirah an-Nabawiyah-nya, peristiwa ini bermula dari perjalanan Nabi dari Madinah ke Mekkah untuk melakukan umrah bersama dengan 1.400 sahabat lengkap dengan perlatan tempur dan logistik, termasuk 70 ekor unta.
Ketika rombongan tiba di Dzulhulaifah, mereka menjalankan shalat dan berihram untuk bersiap melaksanakan ibadah umrah, tiba-tiba terdengan kabar bahwa Suku Quraisy bertekad mengadang rombongan Nabi. Mereka akan menggagalkan Nabi dan rombongan masuk kota Mekkah meski harus dengan cara mengangkat senjata. Mendengar informasi ini, Nabi memerintahkan rombongan berhenti di dekat sebuah sumur di tempat yang disebut Hudaibiyah, di utara Mekkah. Di tempat ini, Nabi melakukan kosolidasi dan musyawarah dengan para sahabat.
Untuk menghindari konflik terbuka yang akan memakan korban jiwa, Nabi mengutus salah seorang sahabat melakukan negosiasi dan menjelaskan maksud kedatangananya yang hanya untuk umrah. Semula, Nabi mengutus Umar bin Khattab sebagai delegasi untuk melakukan negosiasi. Tapi, Umar menolak karena merasa kurang strategis dan membahayakan dirinya kalau dia harus bernegosiasi dengan kaum Quraisy Mekkah. Kemudian, Umar menyarankan agar mengutus Utsman bin Affan sebagai delegasi. Usul ini diterima, sehingga Utsmanlah yang akhirnya melakukan negosiasi dengan kaum jahiliyah Quraisy di Mekkah.
Hasil negosiasi ini melahirkan perjanjian Hudaibiyah yang sebenarnya sangat merugikan umat Islam. Namun, perjanjian itu tetap diterima oleh Nabi sebagai bentuk kesepakatan yang harus dijalankan. Bahkan, Nabi dan rombongan membatalkan umrahnya dan balik ke Madinah. Singkat cerita, Nabi tidak memaksakan diri beribadah umrah demi manjaga keselamatan jiwa umatnya. Padahal, jika saja terjadi pertempuran, sebenarnaya para sahabat sudah siap, dan Nabi datang ke Mekkah untuk beribadah. Tetapi, hal itu tetap dicegah oleh Nabi, demi mencapai kemaslahatan umat. Lebih baik membatalkan pelaksanaan ritual ibadah demi keselamatan bersama daripada ngotot melaksanakannya tetapi membahayakan jiwa umat Islam.
Beberapa teks dan sejarah Nabi ini cukup dijadikan bukti bagaimana Islam melindungi setiap jiwa manusia dari ancaman bahaya yang bisa membawa pada kerusakan. Beragama dan beribadah dalam Islam tidak harus dilakukan dengan menantang risiko atau melawan keadaan yang bisa membahayakan sehingga menimbulkan kesuitan bagi manusia. Sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Melindungi Jiwa itu Ibadah
Bahkan, Islam tidak menyuruh umatnya melakukan ibadah atau menjalankan syariah secara berlebihan sehingga melampuai kemempuan diri. Hal ini tercermin dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan dari dari Anas ra. Dalam hadits ini disebutkan adanya tiga orang sahabat yang menganggap amal ibadah Nabi sangat minimalis, hanya sedikit saja. Kemudian, mereka bertiga menghadap Nabi dan menceritakan tentang kehebatan amal ibadah masing-masing sehingga melampaui batas kemanusiaan.
Mengetahui hal ini, Rasul bersabda kepada mereka: “Kalian tadi berbicara begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah di antara kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur malam, aku juga mengawini perempuan. (Itulah sunah-sunahku) siapa saja yang benci terhadap sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR Bukhari dan Muslim). Hadits ini jelas mensyiratkan bahwa beribadah itu yang wajar saja, tidak boleh melampaui batasan kemanusiaan sehingga bisa membahayakan diri sendiri.
Dari beberapa ayat dan hadits Nabi inilah para ulama menyusun beberapa kaidah ushul sfiqh sebagai upaya penerapan syariah Islam yang tetap konsisten pada maqaasidnya (tujuannya), yaitu kemaslahatan umat (kebaikan ummat), bukan kerusakan atau membawa bahaya. Beberapa kaidah ushul fiqh yang terkait dengan hal ini, di antaranya adalah: “dar’ul mafaasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih” (mencegah kerusakan harus lebih didahulukan daripada mencari kebaikan), “addharuratu tunbihul mahdlurat” (keadaan darurat bisa berlaku hal yang dilarang/menyulitkan), dan sebagainya yang intinya menjaga manusia dari mara bahaya dan kerusakan harus diutamakan dalam penerapan syariat Islam.
Jika kaidah ini kita tarik dalam konteks sekarang, terkait dengan pelarangan shalat berjamah, jumatan, dan berbagai kegiatan peribadatan lain yang membahayakan karena rentan terhadap penyebaran virus Corona, maka akan memiliki makna yang signifikan. Misalnya, kaidah dar’ul mafaasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih”. Shalat berjamaah, jumatan, pengajian, dan sejenisnya yang mendatangkan kerumunan massa adalah tindakan yang membawa kebaikan karena bagian dari menjalankan syariah. Tapi, jika ternyata bisa memancing timbulnya kemadlaratan yang lebih besar dan bisa mengancam jiwa orang lain, maka hal itu harus ditiadakaan sementara demi mencegah terjadinya kerusakan yang membahayakan (mafaasid).
Dalam Islam mencegah terjangkitnya virus Corona yang membahayakan harus harus lebih didahulukan daripada mencari kebaikan melalui ritual ibadah. Demikian juga kaidah “addharuratu tunbihul mahdlurat”. Dalam suasana normal, umat Islam diperintahkan shalat Jumat, shalat jamah di masjid, istighatsah yang mendatangkan massa dan sejenisnya. Tetapi, jika dalam keadaan darurat, semua itu tidak harus dilakukan dan boleh ditinggalkan diganti dengan beribadah yang lain. Misalnya, shalat Jumat bisa diganti sholat dzuhur di rumah, berjamaah di masjid bisa diganti jamaah di rumah dengan jarak yang terkontrol. Bahkan, sesuatu yang haram sekalipun bisa dilakukan dan yang wajib/boleh dtinggalkan jika dalam keadaan darurat.
Bebebrapa data sejarah, teks ayat, dan hadits serta pemikiran ulama ini menunjukkan, bahwa beribadah dalam Islam itu tidak harus dilakukan dengan melawan bahaya atau berisiko mendatangkan bahaya. Percaya pada kekuasaan Alah tidak harus dibuktikan dengan melawan hukum alam yang dibuat oleh Allah. Nabi Muhammad saja tetap memerintahkan sahabatnya hijrah ke Habsyah demi menghindari ancaman yang membahayakan. Beliau juga tidak ngotot melaksanakan ibadah umrah ketika diadang oleh kaum Quraisy Mekkah. Bahkan, Nabi juga memerintahkan karantina demi menghindar dari wabah penyakit yang membahayakan dengan cara melarang orang luar mendatangi daerah wabah dan melarang keluar orang-orang yang tianggal di daerah wabah.
Apakah ini berarti Nabi tidak percaya pada kekuasaan Allah? Atau Nabi lebih takut pada wabah daripada terhadap Allah? Demikian juga ketika Sayyidina Umar menolak menjadi delegasi karena menganggap hal itu membahayakan dirinya, apakah ini berarti Sayyidina Umar ragu pada kekuasaan Allah yang akan menyelamatkan kaum muslimin?
Dengan merebaknya wabah Corona yang membahayakan karena mengancam jiwa manusia, maka selayaknya para agamawan bersikap bijak dengan meniru apa yang sudah dicontohkan Nabi, para sahabat, dan ulama. Sikap menolak prosedur kesehatan dan hukum sains dengan mengatasnamakan takdir dan kekuasaan Allah, atau menghadapkan bahaya wabah Corona dengan kekuasaan Allah, tidak saja membahayakan umat, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Islam dan apa yang sudah dicontohkan Nabi.
Oleh karenanya, sangat aneh jika ada ulama, ustadz, atau pemimpin agama yang tetap ngotot menjalankan ritual agama dengan risiko yang membahayakan umat dan mengancam jiwa manusia. Taka ada syariah dan hukum Islam yang dilanggar hanya karena tidak shalat Jumat, tidak shalat berjamah di masjid, atau menghadiri ibadah yang bisa membahayakan jiwa. Ikhtiar menjaga diri dari serangan wabah bukan berarti tidak percaya pada kekuasaan Allah. Justru, hal itu menjadi bagian dari yang disyariatkan Allah. Karena, dalam Islam, menjaga dan melindungi jiwa jauh lebih penting daripada menjalankan ritual agama.