Tepat, 17 Agustus 2022 lalu, jejaring duniasantri genap berusia tiga tahun. Beraneka kegiatan telah digelar sejak Senin, 22 Agustus 2022, seperti pameran seni rupa dan instalasi Rumah Sarung. Pameran seni rupa yang dimaksud adalah lukisan 13 tokoh pesantren yang dilukis oleh Kaisar Nuno.
Pertunjukan Monolog Negeri Sarung digelar sebagai puncak perhelatan hari jadi jejaring duniasantri. Acara yang diselenggarakan pada Sabtu, 27 Agustus 2022 ini, berlangsung di gedung Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI) Depok, Jawa Barat. Beberapa tokoh penting, seperti KH Said Aqil Siradj, Ibu Hj. Sinta Nuriyah Wahid, Wakil Ketua DPR RI (HC) Rachmat Gobel, dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen, ikut menghadiri acara yang dimulai pada pukul 11.00-14.00 WIB ini.
Sebelum acara dimulai, Atiqotul Fitriyah selaku pembawa acara membacakan tata tertib mengikuti acara pertunjukan. Pertama, para hadirin dan tamu undangan tidak diperkenankan membawa makanan dan minuman ke ruang pertunjukan. Kedua, selama pementasan berlangsung dilarang berbicara dengan rekan di sebelah kanan dan di sebelah kiri. Ketiga, hadirin diharapkan mematikan semua alat komunikasi, seperti handphone dan lain sebagainya.
Kemudian, keempat, jika hadirin ingin mendokumentasikan pementasan, maka diharapkan tidak menggunakan blitz kamera pada saat mendokumentasikan pementasan yang sedang berlangsung. Kelima, hadirin dilarang untuk memberikan apresiasi yang berlebihan saat pementasan berlangsung. Keenam, hadirin dan tamu undangan dilarang keluar masuk ruang pertunjukan pada waktu pertunjukan sedang berlangsung.
Pada sambutan pertama atas nama jejaring duniasantri, Halim Pohan mengucapkan terima kasih atas kehadiran para undangan yang telah turut memberikan dukungan pada acara yang merupakan awal pintu pembuka untuk melakukan gerakan bersama kaum santri ini.
Ia juga menyampaikan tiga hal yang menjadi titik tekan jejaring duniasantri.“Jejaring duniasantri menitikberatkan kepada tiga hal, yaitu pengembangan literasi, pengembangan keahlian baik soft maupun hard, dan pengembangan kemandirian ekonomi santri,” tuturnya.
Tidak lupa, ia juga berharap agar santri tidak merasa minder. Santri tidak merasa ketinggalan. Dan santri harus berperan.
Sementara itu, Mewakili Rektor Universitas Indonesia (UI), Direktur Kemahasiswaan UI Badrul Munir PhD memberi apresiasi secara khusus atas terselenggaranya acara Monolog Negeri Sarung.
“Sarung adalah sesuatu yang simpel, namun punya banyak makna. Makna atau fungsi yang utama adalah sebagai pakaian, kemudian lambang budaya dan simbol simplisitas kemudahan. Kita semua ingin menjadi seperti sarung yang universal, mudah dipakai oleh banyak kalangan,” ujarnya.
Makna sarung juga disinggung pula oleh Rachmat Gobel. Dalam sambutannya, Wakil Ketua DPR RI ini menambahkan, sarung sebagai makna kebersamaan dan persatuan. Ia berpesan agar kita meniru semangat sarung dalam membangun kebersamaan dan membangun persatuan.
Sementara, mantan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, yang juga hadir dalam Monolog Negeri Sarung, turut mengapresiasi Rachmat Gobel yang menghadiri acara ini dengan mengenakan sarung.
“Saya sendiri mohon maaf tidak pakai sarung, karena habis ini mau menghadiri acara pernikahan di Masjid Al Azhar, Kebayoran. Saya sadar, harusnya saya memakai sarung, sebab sarung merupakan kapital simbolik kita. Sarung adalah simbol masyarakat santri ketika berhadapan dengan para penjajah. Bahkan, ayah saya saat itu menghukumi haram pakai celana. Jadi, sarung sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah,” tegasnya.
Sedangkan, dalam Monolog Negeri Sarung, Inayah Wulandari Wahid mengkritik fungsi teknologi yang semula untuk mempermudah komunikasi dan mempererat hubungan, namun akhir-akhir ini teknologi malah digunakan untuk saling menghujat dan menebar kebencian.
Tidak hanya berbicara soal disfungsi teknologi kiwari ini, ia juga mengungkap fenomena kaum beragama yang sering menjual sesuatu atas nama agama.
“Saya ini kayaknya ditipu oleh sales aplikasi pencari untung. Tapi, ngomong mencari untung, sekarang semua orang di dunia ya mencari untung, termasuk saya. Tapi, saya tidak begitu-begitu juga. Sekarang semua orang mencari untung. Apa saja dijual, termasuk agama,” ucapnya sembari tergelak.
“Sarung… ayo, sarung. Kemarilah pelanggan-pelangganku. Anak-anak kecil berkopyah, yang berlari-lari di pinggir sawah. Mengejar zikir dari surau hingga madrasah. Sarung, ayo sarung. Kemarilah pelanggan-pelangganku. Para guru ngaji di seluruh pelosok negeri yang tak pernah berkecil hati, meski tak digaji. Karena dirinya tahu inilah bakti untuk menjaga budi pekerti. Sarung… ayo, sarung. Kemarilah pelanggan-pelangganku,” demikian petikan sajak yang dibacakan Inayah Wahid di detik-detik penutup monolognya.