Maluku Utara memiliki jejak sejarah yang melimpah. Selain rute jalur rempah yang menunjukkan kosmopolitannya bangsa Nusatara, jejak sejarah Maluku juga merekam perjalanan peradaban Isam di Nusantara. Jejak-jejak ini terlihat dalam keberadaan kesultanan Isam di Maluku, terutama Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore.
Kesultanan Ternate didirikan oleh Baab Mashur Malamo yang berkuasa pada 1257-1272. Dulunya bernama Kerajaan Gaapi dan belum bercorak Islam. Kerajaan Ternate baru bercorak Islam di era pemerintahan Raja Marhum (1465-1486). Setelah menjadi kerajaan Islam, barulah berubah menjadi kesultanan.
Pada era kejayaannya, cakupan wilayah Kesultanan Ternate ini meliputi Sulawesi, bagian selatan Filipina, Papua, hingga ke Kepulauan di Pasifik. Sampai dengan abad ke-17, Kesultanan Ternate menguasai wilayah Indonesia bagian timur dan menjadi kesultanan terbesar di sana.
Penemuan jalur rempah Ternate mulai marak ketika seorang petualang dari Italia bernama Ludovico di Verthema menemukan Ternate pada tahun 1506. Saat Ludovico menemukan Ternate, kesultanan dipimpin oleh Sultan Bayanullah yang berkuasa tahun 1500-1521.
Sejak ditemukannya jalur ke Ternate, banyak pedagang Eropa yang melakukan ekspedisi ke Ternate untuk mencari rempah-rempah. Enam tahun sejak Ludovico menemukan menemukan Ternate, tepatnya pada 1512, barulah bangsa Portugis masuk Ternate di bawah pimpinan Fransisco Serrao.
Sultan Baabullah.
Sejak saat itu Portugis mengusai perdagangan rempah di Ternate (Didik Heru Purnomo, dkk, 2012.). Sejak ditemukannya Ternate sebagai jalur rempah dari Eropa, wilayah timur Indonesia menjadi “medan pertempuran” bagi bangsa Eropa yang ingin menguasai rempah-rempah di Kepulauan Nusantara.
Setelah berlangsung selama 18 tahun, penguasaan perdagangan rempah Portugis di Ternate mulai merosot, karena terjadi konflik dengan Kesultanan Ternate pada tahun 1530. Pada saat itu terjadi peperangan antara Portugis dan Ternate setelah para pedagang dari Eropa merampas hasil cengkih milik Sultan Haerun hingga menewaskan Sultan Haerun di Benteng Santo Paulo, Ternate.
Sepeninggal Sultan Haerun, pertempuran dengan Portugis dilanjutkan oleh Sultan Haerun Jamil, pengganti Sultan Haerun, yang berkuasa pada 1535-1570. Untuk menghadapi Portugis, Kesultanan Ternate meminta bantuan ke Sulawesi, Makassar, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan membuka kembali hubungan dengan Aceh dan Demak (RZ. Leiressa, dkk., 1999). Pada 27 Februari 1570, Sultan Khairun Jamil wafat, terbunuh dalam pertempuran hebat melawan pasukan Portugis yang dipimpin oleh Gobernador Lopez de Mosquito.
Kekuasaan Spanyol di Ternate berakhir pada tahun 1575, ketika Sultan Baabullah berhasil mengusir tentara Portugis dari Ternate pada 15 Juli 1575. Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah, Ternate bangkit menjadi negara yang maju sehingga berhasil menguasai perdagangan rempah di kawasan Asia.
Di masa pemerintahan Sultan Baabullah, kekuasaan Ternate sampai ke Solor, Bima, Mindanao, Raja Ampat, Sangihe, dan sebagian Sulawesi. Kejayaan Kesultanan Ternate bertahan hingga akhir abad ke-16.
Selain Ternate, ada tiga kerajaan lagi di kawasan Maluku, yaitu Tidore, Makian, dan Moti. Keempat wilayah inilah yang disebut “Moloko Kie Raha” yang artinya “persatuan empat koloni (kerajaan)” (Komarudin Hidayat, 2006; 335). Pada abad ke-14, terjadi perjanjian Moti yang memindahkan Kerajaan Makian ke Bacan (Halmahera Selatan) dan Kerajaan Moti pindah ke Jailolo (Halmahera Barat) (Dharmawijaya, 2010; 116).
Kerajaan Tidore sudah ada sejak sebelum Islam masuk ke Maluku. Penguasa Tidore yang masuk Islam pertama kali adalah Ciriliyati, yang kemudian bergelar Sultan Jamaluddin (1495-1512). Sebagaimana Ternate, sejak dikuasai pemimpin Islam, Kerajaan Tidore berubah menjadi kesultanan. Sebelum Islam masuk, raja dan masyarakat Tidore menganut kepercayaan Symman, suatu kepercayaan yang memuja arwah para leluhur (Hamka, 1981; 14).
Pada periode awal berdirinya, Kesultanan Tidore membangun hubungan baik dengan Spanyol. Namun, Portugis berambisi merebut Tidore dari pengaruh Sanyol sebagai jalan untuk memonopoli perdagangan rempah. Sempat terjadi beberapa kali pertempuran antara Portugis dan Tidore (Darmawijaya, 2010:135).
Pertikaian antara Portugis dengan Tidore berakhir dengan perjanjian damai. Portugis bersedia menarik armadanya dari Tidore dengan syarat semua hasil rempah dari Tidore hanya boleh dijual kepada Portugis dengan harga yang sama dengan yang dibayarkan kepada Ternate.
Eksistensi Kesultanan Tidore berlangsung dari abad ke-16 sampai ke-18 M. Kekuatannya ditandai dengan luasnya wilayah kekuasaan. Pada saat itu, wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore meliputi sebagian besar Pulau Halmahera, Pulau Buru, Seram, hingga pulau-pulau di kawasan Papua Barat. Di bawah kekuasaan Sultan Saefuddin (1657-1689 M), Tidore mencapai masa keemasan sehingga Tidore menjadi kesultanan yang disegani oleh kerajaan-kerajaan lain yang ada di Kepulauan Maluku. Setelah itu, pengaruh Kesultanan Tidore mulai meredup.
Sultan Nuku.
Masa kejayaan Kesultanan Tidore mulai bangkit lagi pada awal abad ke-19 di era kepemimpinan Sultan Nuku. Pada era ini, wilayah Kesultanan Tidore berhasil diperluas sampai ke Papua Barat, Kepulauan Kei, Kepualauan Aru bahkan, sampai ke Kepualauan Pasifik. Selain itu, Sultan Nuku juga berhasil menyatukan Ternate dan Tidore untuk menghadapi pemerintah kolonial Belanda yang dibantu oleh Inggris. Keberhasilan mengusir bangsa asing membuat Kesultanan Tidore mencapai kemajuan yang pesat.
Selain kisah tentang jalur rempah dan perjuangan mempertahankan kekuasaan dari campur tangan bangsa Eropa, jejak sejarah Maluku juga menunjukkan adanya nilai-nilai moderasi dan toleransi beragama.
Tersebutlah dua pendeta asal Jerman; Carl William dan Goltlob Geisller (Ottow dan Geisller) yang akan melaksanakan misi zending di kawasan timur Nusantara. Pada 1854, kedua pendeta ini mendarat di Ternate untuk mendalami bahasa Melayu dan budaya masyarakat yang ada di sana. Atas kedatangan kedua misionaris ini, Sultan memberikan izin bagi mereka bahkan memberikan perintah kepada kepala suku untuk melindungi dan menolong mereka jika kekurangan makanan.
Kapal pengantar misionaris dari Tidore ke Papua.
Tak hanya itu, ketika kedua misionaris ini akan melaksanakan misi zending ke kawasan Papua, Sultan Tidore menyediakan kapal layar dan dua orang pengawal untuk mengantar mereka berlayar menuju Papua. Atas bantuan kapal dari Sultan Tidore, kedua misionaris ini berhasil mendarat di Pulau Mansinam, Manukwari (Tanah Papua) pada 5 Februari 1885. Sejak saat itu tanggal 5 Februari ditetapkan sebagai hari pekabaran Injil oleh masyarakat Kristiani Papua.
Jasa Sultan Tidore ini selalu diingat oleh umat Kristiani Papua. Frans Maniagasi (2017) pernah menyatakan: orang Papua tidak boleh lupa terhadap kontribusi Sultan Tidore yang telah memberikan kapal layarnya sebagai “alat” untuk kemajuan orang Papua dan peradabannya.
Dari kedua kesultanan ini terbangun nilai-nilai toleransi dan moderasi, spirit berjuang menjelajah alam, patriotisme, nasionalisme, dan membangun jiwa tangguh menebar kebaikan untuk mewujudkan Islam rahmatan lil’alamin. Keindahan alam, jejak sejarah, keragaman budaya adalah potensi yang dapat dijadikan modal membangun peradaban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Maluku Utara dan bangsa Indonesia.