Menyemai Toleransi Melalui Seni

119 views

TANGGAL 8 dan 9 November 2019 merupakan pelaksanaan Ritual Budaya “Upacara Kebo Ketan” ke-4 di Desa Sekaralas, Ngawi, Jawa Timur. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pagelaran yang diprakarsai seorang seniman kreatif-idealis asal Sekaralas, Bramantyo Prijosusilo, ini selalu menarik perhatian publik nasional maupun internasional.

Sejak pertama kali dilaksanakan, saya selalu datang mengikuti seluruh rangkaian pagelaran seni budaya berdampak ini. Sesuai dengan spirit (misi) yang ada dalam kegiatan budaya ini, yaitu menjadikan kesenian sebagai sarana membangun kesadaran transformatif masyarakat, sehingga memiliki dampak bagi masyarakat, secara pelan mulai dirasakan oleh masyarakat sekitar Sekaralas, tempat event ini berlangsung, bahkan secara umum oleh masyarakat Indonesia.

Advertisements

Dampak ini bisa dilihat pada munculnya sikap gotong-royong warga sekitar dalam menyelenggarakan kegiatan tersebut. Secara kultural juga bisa terlihat pada munculnya kesadaran masyarakat menjaga sumber mata air Sendang Margo di Alas Begal dan merawat hutan yang ada di sekitar mata air tersebut. Adanya pasukan semut yang membersihkan sampah juga bisa disebut sebagai dampak dari kegiatan ini.

Solidaritas Lintas Etnis

Selain itu, event ini juga memunculkan solidaritas dan persaudaraan warga bangsa Indonesia lintas etnis, agama, budaya, dan agama. Ini dibuktikan dengan partisipasi dan kehadiran berbagai kompok masyarakat dari berbagai daerah dengan latar belakang yang berbeda. Ada yang dari Bali, Sulawesi, Jawa Barat, Jateng, dan DIY dengan latar belakang agama yang berbeda; Islam, Nasrani, Hindu, Buddha, Kong Huchu, Sunda Wiwitan, Kejawen, dan lain-lain. Mereka datang atas biaya sendiri, hampir tidak ada yg dibayar oleh panitia. Kesadaran dan semangat gotong royong yang menggerakkan mereka datang di acara ini.

Yang menarik dari pagelaran ini, semua diberi ruang dan waktu untuk mengekspresikan spirit religiusitas, melakukan ritual sesuai keyakinannya dan menampilkan kreativitas seni budaya masing-masing. Saya merasakan saat itu seperti berada dalam taman sari yang indah dengan bunga-bunga aneka warna yang tumbuh berdampingan secara suka cita. Tak ada yang merasa lebih indah dan lebih tinggi dari yang lain. Masing-masing bebas berekspresi dan saling mengapresiasi.

Saya melihat, event ini merupakan medan perjumpaan antarwarga yang berbeda untuk melatih dan mengasah rasa agar tumbuh empati dan peduli pada sesama. Melalui pagelaran ini, kita bisa merasakan dan melihat adanya dunia yang berbeda, penuh warna dengan cakrawala luas, sehingga diperlukan sikap saling berbagi dan saling memahami. Di event ini, perbedaan menjadi begitu indah dan membahagiakan. Dunia begitu lapang karena tidak tersekat oleh ego, prasangka, tirani mayoritas, dan sindrom minoritas.

Malam itu semua pengunjung bisa merasakan getaran spiritual mantra dalam bahasa Bugis yang diucapkan oleh tokoh adat Bugis yang dipercaya melakukan pemotongan sang Maheso Nempuh, patung kerbau yang menjadi simbol pengorbanan. Pengunjung juga bisa hanyut dalam kidung mistis Terawangsa yang disenandungkan oleh teman-teman dari Sunda. Semua terhanyut dalam setiap sajian yang ada.

Apa yang terjadi menunjukkan bahwa seni bisa menjadi sarana efektif untuk menanamkan sikap toleransi atas berbagai macam perbedaan. Sebagaimana disebutkan Max Isaac Dimont, toleransi adalah pengakuan masyarakat yang majemuk yang mengakui perdamaian dan menunjukkan sikap atau perilaku yang tidak menyimpang dari aturan, serta menghargai atau menghormati setiap tindakan orang lain yang berbeda. Dengan kata lain, toleransi adalah sikap menghargai, memahami, dan menghormati orang atau kelompok lain yang berbeda.

Definisi ini menunjukkan, toleransi tidak sekadar pemahaman kognitif yang hanya berbentuk rumusan kata-kata. Lebih dari itu, toleransi adalah laku hidup sebagai perwujudan dari kata hati dan rasa yang tulus untuk menghormati, menghargai, dan memahami pihak lain yang berbeda sehingga bisa saling bekerja sama memadu rasa.

 

Instrumen Penanaman Toleransi

Artinya, toleransi sangat terkait dengan masalah hati dan rasa. Sikap ini tidak bisa muncul dan tumbuh secara spontan. Perlu proses dan waktu untuk membentuk dan mengasah agar toleransi bisa tumbuh dalam diri manusia. Di sini dibutuhkan instrumen dan momentum yang tepat dan kontinu. Dan, seni budaya.merupakan instrumen dan momentum yang tepat untuk menanamkan dan membentuk sikap toleran.

Paling tidak, ada dua alasan utama yang mendasari pemikiran ini. Pertama, karena seni budaya sangat terkait dengan hati dan rasa sehingga seni lebih mudah memyentuh rasa dan hati. Kedua, seni budaya bisa berdiri malampaui sekat-sekat yang ada. Apa pun golongan, etnis, agama, dan posisi sosial seseorang akan mudah tersentuh hati dan perasannya oleh keindahan seni. Sebagaimana yang terlihat dalam pagelaran “Uoacata Kebo Ketan” kali ini, siapa pun yang datang bisa merasakan damai, bahagia, dan senang bersama.

Saya membayangkan jika event seperti ini sering diadakan di berbagai tempat, maka akan lebih banyak ruang perjumpaan yang bisa menyatukan.perbedaan. Dan, ini artinya akan semakin banyak kesempatan bagi bangsa ini untuk menanamkan toleransi tanpa harus merasa terintimidasi karena dilakukan dengan cara yang indah dan menyenangkan, yaitu melalui seni.*

Multi-Page

Tinggalkan Balasan