Menyoal Kurikulum Merdeka di SMK Berbasis Pesantren

181 views

Bulan Ramadan kemarin Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tempat saya mengajar kedatangan pengawas yang memang sengaja diundang oleh kepala sekolah. Pengawas itu memuji kepala sekolah atas undangannya itu. Menurutnya, kepala sekolah memiliki visi yang hebat untuk masa depan sekolahnya. Kepala sekolah saya dinilai memiliki pemikiran yang terbuka, sehingga muncul ide darinya untuk mengadakan seminar penerapan kurikulum merdeka belajar.

Tapi tunggu dulu. Merdeka belajar di SMK berbasis pesantren, apa bisa?

Advertisements

Kepala sekolah membuktikan minatnya terhadap perkembangan dunia pendidikan dengan mengikuti penjelasan materi oleh pengawas sekolah. Beberapa pertanyaan dilontarkan untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari pemateri. Pemateri pun juga dengan antusias menyambut pertanyaan-pertanyaan dari kepala sekolah.

Sebagai peserta seminar yang tergolong muda di antara dewan guru yang lain, tentu saya lebih memilih sikap sebagai pengamat. Saya lebih memosisikan diri sebagai guru muda yang sedang belajar. Alih-alih ikutan bertanya seperti kepala sekolah, saya lebih tertarik membayangkan berapa isi amplop usai seminar nanti.

Pada intro seminar, pemateri menjelaskan bahwa yang dimaksud merdeka belajar adalah kebebasan dalam memilih cara belajar. Baik guru ataupun siswa, bahkan sekolah, lebih diberikan keluasaan dalam mengatur pola atau cara belajar.

Kendati demikian, saya masih bisa merasakan klise. Sebebas apapun kurikulum merdeka belajar yang dielu-elu, toh pada akhirnya diatur juga. Kurikulum merdeka belajar membebaskan pola pengaturan jam belajar dan juga metode belajar, akan tetapi pembelajaran dituntut menghasilkan produk. Terlebih lagi, jika dikaitkan dengan lembaga pendidikan yang bernaung di bawah sebuah pesantren, maka akan muncul beberapa paradoks yang menarik dibahas.

Pertama, merdeka belajar di tempat yang serba dibatasi. Kita semua tahu bahwa banyak pesantren yang membatasi akses dan mobilitas santri yang bermukim di asrama—terlebih lagi bagi pesantren besar yang memiliki jumlah santri beribu-ribu. Selain dibatasi mobililtasnya (dikurung di lingkungan pesantren), para santri juga dibatasi dalam hal penggunaan gawai. Bahkan saya berani mengatakan bahwa tidak ada satupun pesantren di Indonesia yang membolehkan santrinya membawa handphone.

Hal itu tentu bertentangan dengan semangat kurikulum merdeka belajar yang menuntut keaktifan siswa dalam belajar. Tetap saja, guru yang akan berperan aktif. Siswa hanya akan menunggu bahan atau materi belajar dari guru.

Kendati demikian, bukan berarti saya setuju santri membawa HP dari rumah, namun untuk ide pembelajaran yang bebas sebagaimana dimaksud oleh kurikulum merdeka, maka perlu dipikirkan juga bagaimana santri dapat benar-benar merdeka mengakses sumber informasi. Sekilas saya jadi teringat larik-larik puisi dari Gus Mus, Kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya.

Sempat ada juga bantahan dari kepala saya sendiri mengenai hal ini. Misalnya saja, bagaimana dengan keberadaan laboratorium komputer atau perpustakaan? Bukankah itu juga merupakan sumber informasi yang dapat tersedia di lingkungan sekolah atau pesantren?

Jawabannya tentu harus ada pengondisian dengan adanya sebuah program yang memang dijalankan khusus untuk memerdekakan siswa atau santri dalam mengakses informasi. Misalnya saja, adanya penyewaan lab komputer pada jam-jam kosong dari kegiatan sekolah ataupun pesantren. Sebab, kita tahu bahwa jam operasional lab komputer dan perpustakaan kebanyakan sama dengan jam operasional sekolah. Mungkin beberapa pesantren memiliki perpustakaan di asrama, namun saya pesimis koleksinya menyangkut pembelajaran sekolah, justru kebanyakan koleksinya adalah literasi agama dan sejenisnya.

Kedua, pendidikan vokasi pada jenjang SMK tidak lagi cukup hanya dengan mengasah keterampilan dasar dalam bidang teknik, akan tetapi juga pada bidang teknologi informasi (TI) dan komputasi. Saya ambil contoh, teknik kendaraan ringan dan otomotif. Siswa jurusan TKRO tidak cukup dibekali dengan keterampilan bagaimana memperbaiki atau menyervis mesin mobil. Tapi, lebih dari itu, ia juga harus memiliki keterampilan mengolah data, sehingga nantinya siswa tidak berhenti sebagai tukang servis yang dalam pandangan saya, levelnya masih pekerja kasar. Bukan berarti saya meremehkan profesi tukang servis atau mekanik atau juga montir, akan tetapi, di masa depan, sepertinya profesi mekanik juga akan lebih banyak menggunakan perangkat canggih yang saya yakini ada proses pengolahan data di situ. Satu kata yang menarik untuk mewakili hal ini, yaitu Mekatronika (Mekanika, Elektronika, dan Informatika).

Sembari menyonsong revolusi industri 4.0 yang kabarnya juga sedang beranjak menuju versi 5.0, pendidikan vokasi harus lebih jeli lagi meneropong masa depan. Apa yang dilakukan kepala sekolah saya sebenarnya sudah benar, akan tetapi hal itu tidak cukup untuk mempersiapkan segalanya menghadapi tantangan global. Dengan semangat sampai kapan Indonesia tertinggal dari bangsa lain, maka pelaku dalam dunia pendidikan sudah harus memikirkan hal ini dari sekarang. Terlebih lagi SMK berbasis pesantren.

Semangat pendidikan vokasi di SMK berbasis pesantren untuk mencetak generasi yang terampil di bidang teknik sekaligus berakhlak mulia harus benar-benar seiring sejalan dengan penguasaan dan pemahaman terhadap perkembangan teknologi. Jangan sampai SMK berbasis pesantren hanya mencetak generasi yang serba nanggung. Nanggung di bidang teknik, dan lebih parahnya nanggung juga dalam pemahaman ajaran agama Islam. Tentu itu adalah sebuah kegagalan yang tidak main-main.

Tolok ukurnya sebenarnya sederhana, yaitu bagaimana siswa berhasil menjadi profesional di sebuah bidang tanpa meninggalkan ke-santri-annya.

Kesimpulannya, kurikulum merdeka belajar memang memiliki tujuan yang bagus. Namun, penerapannya di SMK berbasis pesantren agaknya memerlukan keberanian dalam merombak sistem pendidikan konvensional menuju pembelajaran yang fleksibel dan bermakna. Pembelajara dengan menekankan pada projek atau menghasilkan produk membutuhkan sinergi yang kuat antar-guru dan semua itu tidak akan terwujud tanpa adanya komando dari kepala sekolah yang visioner.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan