Sudah ratusan tahun semenjak Islam masuk ke wilayah Nusantara, Indonesia kini mempunyai ratusan ribu masjid yang berdiri di seluruh penjuru negeri. Menukil data dari laman resmi Kementerian Agama (Kemenag), 7 Maret 2024, Indonesia memiliki sebanyak 511.899 masjid dan musala yang berdiri. Perinciannya, 242.823 masjid dan 269.076 musala.
Jumlah tersebut sesuai dengan yang tercatat. Tentu masih banyak lagi masjid dan musala yang belum tercatat. Hal ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi umat Islam di Indonesia. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, sejauh mana masjid yang berdiri dengan jumlah yang fantastis itu terhadap kemajuan dan peradaban di Indonesia?
Menurut beberapa sumber, seperti detik.com dan disway.id, Indonesia menempati posisi pertama di dunia dengan jumlah masjid dan musala terbanyak. Posisi ini diikuti oleh India, Bangladesh, kemudian Pakistan.
Jika kita lihat lebih dalam lagi, negara-negara yang jumlah masjidnya terbanyak itu justru masih termasuk ke dalam kategori negara berkembang, tidak masuk ke dalam kategori negara maju. Mengapa ini bisa terjadi? Apakah dengan banyaknya masjid yang berdiri tidak mempengaruhi kemajuan? Hal ini merupakan bahan otokritik bagi umat Islam, terkhusus yang ada di Indonesia. Hal ini sekaligus menandakan adanya suatu masalah masalah yang terjadi.
Masjid seyogianya termasuk ke dalam institusi yang sangat penting bagi umat Islam. Pada zaman Rasulullah Saw, masjid merupakan jantung bagi kehidupan umat Islam. Karena pada saat itu, selain untuk ibadah, Rasulullah banyak berdiskusi dengan para sahabat tentang strategi-strategi berperang ataupun strategi politik di masjid. Masjid saat itu juga biasa dijadikan sebagai madrasah untuk menimba ilmu, tempat kegiatan sosial, sampai dengan tempat pengobatan.
Saking pentingnya masjid, di dalam sebuah hadis diceritakan bahwa ada seorang buta yang meminta keringanan untuk salat di rumah, namun Rasulullah pada akhirnya tetap menyuruh untuk pergi ke masjid:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَجِبْ
Artinya: “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu (diriwayatkan) ia berkata: “Seorang buta (tuna netra) pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berujar: Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid. Lalu ia meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah. Ketika sahabat itu berpaling, beliau kembali bertanya: Apakah engkau mendengar panggilan salat (azan)? Laki-laki itu menjawab: Benar. Beliau bersabda: Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah salat)”. (HR. Muslim no. 1044).
Sebagai bagian dari umat Islam, sudah sepatutnya kita menjaga spirit yang Rasulullah Saw ajarkan dengan adanya masjid. Memakmurkan masjid adalah tanggung jawab kita semua sebagai umat yang berbakti kepada Rasulullah Saw.
Namun, di sisi lain sudahkah kita memakmurkan masjid sesuai dengan spirit yang diinginkan oleh Allah Swt dan rasul-Nya? Allah Swt berfirman:
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا ٱللَّهَ ۖ فَعَسَىٰٓ أُو۟لَٰٓئِكَ أَن يَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُهْتَدِينَ
Artinya: “Sesungghnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (At-Taubah: 18)
Di dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ayat ini berkenaan dengan kisah Abdul Muthalib, seorang saudagar kaya raya sekaligus paman Rasul yang sangat terhormat dan terkenal akan kedermawanannya. Dia selalu memakmurkan dan mengurus Masjidil Haram dan memberikan minum secara cuma-cuma kepada segenap jamaah haji.
Kebiasaan ini kemudian dicontoh oleh anak keturunannya, yaitu Abbas ibnu Abdul Muthalib. Namun, kebiasaan positif memakmurkan masjid itu tidak diikuti dengan beriman kepada Allah Swt. Kemudian Allah mengkritik dengan ayat setelahnya:
أَجَعَلۡتُمۡ سِقَایَةَ ٱلۡحَاۤجِّ وَعِمَارَةَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ كَمَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡیَوۡمِ ٱلۡـَٔاخِرِ وَجَـٰهَدَ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِۚ لَا یَسۡتَوُۥنَ عِندَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ لَا یَهۡدِی ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّـٰلِمِینَ
Artinya: “Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang zalim.” (At-Taubah: 19).
Di dalam ayat ke 18 surat at-Taubah dijelaskan bahwa orang-orang yang pantas memakmurkan masjid adalah orang yang beriman kepada hari akhir, konsisten menjalankan salat, dan menunaikan zakat, serta tidak takut kepada apapun selain Allah Swt.
Dari ayat tersebut kita dapat mengambil sebuah pelajaran bahwa sebenarnya orang yang berhak memakmurkan masjid adalah orang yang memiliki kemandirian intelektual sehingga dengan ilmunya orang tersebut tetap konisisten menjaga iman dan salatnya, kemudian orang yang memiliki kekuatan finansial yang cukup bahkan lebih, sehingga tidak takut kepada siapapun dan dapat memberikan zakat.
Konsep ideal memakmurkan masjid kini telah banyak terdistorsi. Realita ini bisa kita temui ketika masjid sudah jarang sekali dipakai untuk kegiatan-kegiatan sebagaimana pada zaman Rasul, yaitu beridskusi masalah strategi, politik, pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya.
Masjid yang kini bangunannya jauh lebih megah dari zaman Rasul, justru memiliki fungsi yang semakin minim. Kehadiran masjid hampir-hampir hanya dipakai untuk tampat ritual, jarang sekali masjid yang benar-benar dimanfaatkan untuk membahas isu-isu kontemporer politik dan kenegaraan.
Hal ini bisa terjadi karena paradigma masyarakat secara perlahan terpengaruh oleh paham sekuler yang memisahkan antara agama dan politik. Padahal mestinya agama dan politik bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang. Umat Islam tidak akan bisa membangun peradaban tanpa kekuatan politik.
Senada dengan hal ini, orang-orang yang memakmurkan masjid antara zaman Rasul dengan zaman sekarang pun mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Orang yang bertanggung jawab atas masjid mestinya orang yang memiliki kapasitas intelektual dan finansial yang cukup bahkan di atas rata-rata, sesuai dangan surat at-Taubah ayat 18. Hal ini akan sejalan dengan tanggung jawabnya membimbing dan menuntun umatnya untuk membangun peradaban yang lebih maju.
Berbeda dengan zaman sekarang, orang yang paling banyak di masjid dan bertanggung jawab atas kemakmurannya disebut dengan istilah “marbot” yang justru digaji dari dana pemberian umat. Orang yang memegang otoritas di masjid mestinya yang memiliki marwah yang tinggi, sebagaimana Rasul yang menjadi pemimpin negara juga menjadi pemimpin salat.
Selayang pandang akan membangun peradaban, akan menjadi sebuah khayalan jika umat Islam tidak segera membuka pikiran. Ketertinggalan umat Islam saat ini dalam kemajuan, semestinya sudah cukup sebagai cambukan untuk menimbulkan pergolakan pikiran. Masjid yang dulunya menjadi jantung peradaban, kini lebih banyak digunakan hanya sebatas kegiatan ritual dan pemujaan.
Masalah inilah yang harus kita renungkan dan kita ubah dengan keseriusan. Kemajuan umat Islam akan berpangku di kaki kita sebagai generasi harapan. Oleh karena itu, marilah kita terus berpikir maju ke depan dalam rangka membangun peradaban dan mewujudkan spirit-spirit yang ada di dalam Al-Qur’an.
Wallahu a’lam bi al-shawab.