Tidak dapat disangkal, sejak masa kenabian, kontribusi masjid terbukti sangat signifikan dalam membangun masyarakat berperadaban. Eksistensi masjid bukan hanya difungsikan sebagai tempat ibadah ritual semata, melainkan sebagai sentral aktivitas keumatan seperti pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Ketika memasuki zaman modern, peran vital masjid untuk mencerahkan umat seolah tersimplifikasi dan telah luntur. Masjid tidak lagi berjalan secara maksimal.
Saya kemudian melakukan riset mini menelusuri beberapa masjid di daerah tempat tinggal. Akumulasi riset juga ditunjang dari memori menyinggahi masjid-masjid ketika melakukan perjalanan (dalam kota maupun luar kota). Masih banyak masjid mengabaikan sarana prasarana tempat penghubung umat untuk saling berinteraksi, dialog perjumpaan, dan menjaga kohesi sosial. Masjid hanya menjadi tempat yang berdiri tunggal sebatas penyalur ibadah ritual.
Dari uraian riset mini tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa masjid telah mengalami pergeseran makna dan substansi. Masjid tidak lagi menjadi bagian integral antara dimensi spiritual, ekonomi, sosial, dan kultural. Padahal, ini merupakan suatu hal yang penting. Ketika masjid tidak hadir sebagai pengontrol moral umat di tengah keragaman masyarakat, konsekuensinya akan berakibat fatal pada umat itu sendiri.
Boleh jadi umat pada gilirannya cenderung menebalkan garis demarkasi dengan kelompok yang berbeda dengannya. Dalam aktivitas sosial penuh dengan kecurigaan, keraguan pergaulan, menipiskan rasa simpati hingga empati. Dan faktanya memang terjadi, umat sedang terjangkit dehumanisasi dan krisis moral bermasyarakat. Persoalan tersebut diakibatkan karena lemahnya literasi yang dimiliki umat.
Untuk mengatasinya, mainstreaming literasi pada umat niscaya digalakkan. Hal ini sebagaimana penjelasan Putri dan Lifia dalam jurnal “Pentingnya Penguasaan Literasi bagi Generasi Muda dalam Menghadapi MEA”. Mereka berargumen bahwa dengan kemampuan literasi akan mengentaskan umat dari berbagai permasalahan. Umat yang literat mendatangkan manfaat bagi masyarakat dan negara. Karena itu, saya mempunyai visi pembangunan serta pengembangan perpustakaan di masjid. Perpustakaan menjadi media ideal guna menumbuhkan literasi.
Perpustakaan di masjid dapat direalisasikan dengan baik ketika ada sinergi antara semua elemen masyarakat. Untuk perwujudannya, skema gagasan revitalisasi masjid bisa disampaikan terlebih dahulu kepada pemerintah setempat (kepala desa atau lainnya). Setelah ditinjau dan mendapat persetujuan, pemimpin tersebut dapat mengkoordinasi seluruh warga untuk kerja bakti bersama membangun perpustakaan di masjid. Kaum adam bisa diterjunkan ke lapangan, sedangkan kaum hawa menyiapkan hidangan.
Pelaku kerja bakti juga dapat melibatkan kalangan non-muslim di tempat tersebut. Ini bukanlah hal tabu, justru sebagai perekat sosial serta menghindarkan dari sikap eksklusivisme. Dengan begitu, kegiatan kerja bakti tersebut terjadi guyub rukun, damai dan terjalin interaksi positif tanpa didasarkan identitas tertentu. Mereka membentuk suatu ikatan nuansa kekerabatan, persaudaraan yang kental. Tindakan seperti ini menjadi gerbang awal dalam mengejawantahkan kembali nilai budaya adiluhung di ranah publik.
Setelah pembangunan terlaksana, rangkaian program pengembangan perpustakaan juga harus dipersiapkan. Seluruh program/rencana strategis perpustakaan seyogianya ditata secara sistematis. Dengan begitu, labeling bangunan nihil nilai tidak etis disematkan kepada perpustakaan baru tersebut. Ada beberapa langkah dalam mengoptimalisasikan perpustakaan masjid menuju kebermanfaatan.
Program awal bisa melakukan kerja sama dengan Perpusda (Perpustakaan Daerah) setempat. Perpustakaan masjid dapat mengajukan hibah buku jika dirasa masih kurang guna keperluan melengkapi koleksi buku. Naskah-naskah buku mutlak harus ramah bagi semua kalangan. Artinya, bahan bacaan mengakomodir anak-anak hingga orang tua. Selain itu, pihak Perpusda juga dapat dilibatkan ketika launching perpustakaan masjid. Rangkaian acara di dalamnya bisa meliputi pengenalan perpustakaan, workshop literasi dari pihak Perpusda, dan ditutup dengan slametan (tradisi lokal setempat).
Program selanjutnya, menciptakan semacam sunfure (sunday fun read: minggu baca santai). Supaya lebih menarik dan diminati, pihak perpustakaan dapat memberitahukan bahwa akan ada pemustaka terpilih yang memperoleh sebuah reward. Indikatornya dapat ditinjau dari keaktifan mengunjungi perpustakaan dan berlomba-lomba dalam membaca buku paling banyak. Program ini secara tidak langsung dapat menjadi alternatif solutif dalam menumbuhkan kembali minat baca pada umat.
Umat akan semakin memiliki rasa cinta terhadap perpustakaan tatkala mampu produktif menjadi percontohan. Misalnya, di perpustakaan terdapat buku “budi daya lele”. Dari situ, pihak perpustakaan muncul ide mengaplikasikan teori menjadi kenyataan. Sesuai arahan buku, pertama-tama membuat kolam ikan di sekitar masjid. Setelah itu, kolam tersebut diisi dengan bibit lele. Bibit lele tersebut dirawat secara konsisten hingga lambat laun berubah menjadi besar dan dapat terjual. Ini yang kemudian membuat ketertarikan umat supaya lebih giat ke perpustakaan. Mereka berpandangan bahwa dengan membaca buku dapat menghasilkan uang (literasi ekonomi). Perpustakaan menjadi role model merangsang umat lebih responsif serta peka dalam membaca kebutuhan/potensi lingkungan setempat.
Kehadiran perpustakaan di masjid semakin menemukan relevansinya ketika fenomena umat beragama saat ini jauh dari kesan ramah. Aktivitas tatanan sosial dipenuhi dengan dehumanisasi, sikap eksklusif, intoleran dan ujaran kebencian. Dalam hal ini, perpustakaan akan mengarahkan umat supaya kembali pada esensi ajaran agama dengan geliat literasi keberagamaan. Literasi keberagamaan menjadikan umat cakap dalam mengelola berbagai perbedaan di kehidupan masyarakat yang berwarna. Umat mampu membaca serta menganalisis titik temu antara agama dengan dimensi sosial, politik dan budaya. Tatanan kehidupannya tidak lagi pro-eksistensi melainkan ko-eksistensi.
Ketika perpustakaan masjid telah berdampak positif membuat umat lebih humanis, inklusif, dan responsif. Penting kiranya memopulerkan perpustakaan masjid tersebut supaya dikenal masyarakat luas dan diharapkan menjadi percontohan. Pemerintah setempat dapat dilibatkan memperkenalkan tatkala sedang mengadakan kunjungan kerja.
Caranya dengan mempresentasikan perpustakaan masjid –dari proses gotong royong saat pembangunan hingga dampak positif bagi umat– ke daerah lain. Disisi lain, alternatif memanfaatkan media sosial juga merupakan langkah tepat. Media sosial menjadi platform efektif sebagai penyebaran informasi karena prosesnya mudah, praktis dan menjangkau sasaran lebih luas. Cara menyebarkan perpustakaan masjid dapat melalui media sosial seperti Instagram, Twitter, hingga Whatsapp.
Inilah titik poin kehadiran perpustakaan di masjid. Citra masjid kembali pada kebermaknaan yang paripurna. Umat terkoneksi dan terintegrasi pada aspek penguatan literasi; literasi anak, literasi ekonomi dan literasi keberagamaan (dimensi sosial, politik, dan budaya). Hal tersebut menjadikan domain kognitif, afektif, dan psikomotorik berfungsi secara benar, tepat dan penuh kearifan. Perpustakaan masjid tidak hanya berkontribusi mencerdaskan umat. Namun juga menjadi tempat menyejahterakan, mendamaikan dan meningkatkan perekonomian umat.